Seorang anak laki-laki membeli layangan khas Semarang di Toko Maganol. (IDN Times/Fariz Fardianto)
Ketika ditemui IDN Times pada Jumat (25/6/2021), Vany berkata dirinya merupakan generasi kedua pewaris Toko layangan Maganol. Sejak tahun 1970 silam, ayah dan ibunya yang bernama Than Djon Eng dan Tjon Ling Yung yang pertama kali merintis bisnis layangan.
Semula Than dan Tjon Ling giat bekerja sebagai guru sekolah Mandarin di kawasan Stadion Diponegoro Semarang pada tahun 1950 silam. Namun, prahara politik di tahun 1965 membuat kehidupan warga peranakan Thionghoa berbalik 180 derajat. Tak terkecuali dialami oleh kedua pasangan suami istri (pasutri) tersebut.
Than dan Tjon Ling akhirnya kehilangan pekerjaan. Sekolahannya yang terkena imbas tragedi berdarah tahun 1965 terpaksa ditutup untuk selamanya.
Untuk menyambung hidup, keduanya memilih banting setir membuka usaha. Di rumahnya yang terletak di tepi Jalan MT Haryono Nomor 530, keduanya memutuskan berjualan tembakau kecil-kecilan.
Lambat laun, Than kemudian beralih usaha lagi dengan berjualan benang dan peralatan mesin jahit. Pilihannya yang kedua ini terbilang sukses. Asap dapurnya tetap mengepul walaupun kehilangan pekerjaan sebagai guru.
"Dari awalnya jualan tembakau, bapak saya terus jualan benang jahit, ya pokoknya alat-alat jahit. Itu kira-kira tahun 1960'an. Kemudian lama-lama juga jualan layang-layang. Bisnisnya layang-layang itu bertahan sampai sekarang. Saya jadi generasi kedua yang meneruskan usaha bapak saya," aku Veny.