Suara mesin jahit berdentum pelan dari rumah kontrakan mungil di kawasan Pondok Kelapa, Jakarta Timur. Di dalam, Murni Nurani Atmawati(38) sedang fokus menyelesaikan pesanan busana muslim untuk pelanggan setianya.
Siang itu, jemarinya yang terampil meluncur lembut di atas kain katun berwarna hijau daun, membentuk siluet gamis yang anggun.
Senyum tipis mengembang di wajahnya yang tenang. Sebuah pemandangan yang sulit ia bayangkan tiga tahun lalu, ketika pertama kali pindah dari Malang, Jawa Timur ke Jakarta.
"Dulu saya seperti zombie hidup. Bangun tidur sudah merasa lelah, makan tidak ada rasa, bicara dengan suami pun malas. Saya pikir itu hal biasa karena stres pindahan," kenang Murni sambil melipat kain hasil jahitannya.
Sejak tinggal di Malang tahun 2016, Murni mengaku mengidap gangguan bipolar (bipolar disorder) disertai episode depresi. Hari-harinya diwarnai kecemasan berlebih, emosi yang naik turun, dan pikiran kalut.
Kala itu, Murni menganggapnya sebagai kelelahan mental biasa yang akan hilang dan bisa pulih dengan sendirinya.
Puncaknya terjadi saat ia dan suaminya, Rizky Zakaria (41), pindah ke Jakarta pada pertengahan 2022 karena tuntutan pekerjaan.
Alih-alih sembuh, Murni justru makin terpuruk. Tiga bulan setelah menetap di ibu kota, gejala mentalnya kembali muncul dengan intensitas yang lebih tinggi.
Ia kesulitan tidur, mudah tersinggung, kehilangan minat pada hal-hal yang dulu ia sukai, dan mulai mengisolasi diri dari lingkungan sosial--termasuk dari keluarga.
"Suami saya sampai bingung. Saya yang biasanya cerewet tiba-tiba diam. Diajak ke mal atau jalan-jalan, saya tolak. Bahkan keluarga sendiri saya jauhi dan saya marahi," katanya lirih kepada IDN Times, Selasa (10/6/2025).
Sebagai ibu rumah tangga, tekanan emosi tersebut makin terasa berat. Keinginannya untuk berobat pun terbentur pada keterbatasan asuransi swasta yang dimilikinya tidak mengakomodasi layanan kesehatan mental.
Di sisi lain, ia menyimpan stigma terhadap layanan BPJS Kesehatan.
"Dulu saya pikir BPJS itu untuk orang miskin. Antrenya panjang, dokter seadanya, pelayanannya seadanya juga. Saya malu kalau harus pakai BPJS," tuturnya jujur.
Menjelang tutup tahun 2022, kondisi Murni mencapai titik nadir. Ia mengalami serangan kecemasan (anxiety disorder), gangguan panik (panic attack), dan gejala bipolar yang makin mengganggu. Bahkan, ia sempat memiliki dorongan untuk menyakiti diri sendiri.
Melihat istrinya makin terpuruk, Rizky tidak tinggal diam. Ia berusaha mencari tahu lebih jauh mengenai layanan BPJS Kesehatan untuk pengobatan penyakit mental. Tujuannya hanya satu, ingin istrinya, Murni sembuh.
"Saya browsing, tanya teman kantor. Ternyata banyak yang bilang BPJS Kesehatan sekarang bagus dan bisa untuk layanan kejiwaan. Untuk penyakit mental, klaimnya tidak dibatasi, bisa konsultasi ke psikiater, terapi, dan obat pun ditanggung," akunya yang bekerja sebagai abdi negara.
Rizky terus memotivasi istrinya untuk mencoba memanfaatkan BPJS Kesehatan. Murni pun mulai mempertimbangkan permintaan tersebut.
"Suami saya bilang, 'Kita bayar iuran tiap bulan, kenapa tidak dimanfaatkan? Kesehatan mental itu penting.' Dia terus meyakinkan saya, kalau sekarang layanan BPJS sudah menyeluruh," cerita Murni.
Dorongan cinta Rizky akhirnya meluluhkan hati Murni. Tepatnya pada 13 Desember 2022, dengan langkah ragu, ia mendatangi Puskesmas Pondok Kelapa, fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) yang terdaftar di BPJS Kesehatan.
Pengalaman pertama Murni tiba di puskesmas yang berlokasi di Duren Sawit itu langsung mengubah stigma yang melekat di pikiran dan sikap selama ini tentang layanan BPJS Kesehatan.
Dokter umum di puskesmas, dr Susi Salwati menyambut hangat Murni dengan penuh empati dan pemahaman terhadap kondisi gangguan mentalnya.
"Dokter bilang, 'Ibu tidak usah malu. Gangguan mental itu seperti penyakit fisik lainnya, bisa diobati dan disembuhkan. Yang penting Ibu mau berobat.' Kata-kata itu sangat menyentuh hati saya," aku perempuan asal Wonosobo, Jawa Tengah.
Proses administratif untuk mendapatkan rujukan pun jauh dari bayangannya. Ia hanya perlu menunjukkan kartu BPJS Kesehatan dan Kartu Tanda Penduduk (KTP), lalu menjelaskan gejala yang dirasakan.
Dalam waktu kurang dari 30 menit, surat rujukan sudah di tangan. Murni mendapatkan rujukan ke Rumah Sakit (RS) Jiwa Islam Klender, Jakarta Timur.