Potret Kebudayaan Daerah, Dibalik Kanvas Para Pelukis Banyumas

- Seruan sunyi pelukis Banyumas butuh dukungan serius dari pemerintah dan komunitas seni.
- Wajah-wajah seni terlupakan dari Banyumas dan Cilacap perlu perhatian lebih dalam mendapatkan ruang pameran.
- Seni rupa lokal sering terabaikan meski program ekonomi kreatif digaungkan, butuh dukungan infrastruktur yang nyata.
Banyumas, IDN Times - Sejumlah pelukis dari Kabupaten Banyumas dan Cilacap menggelar pameran seni rupa di Taman Literasi, Jalan Ahmad Yani, Purwokerto, sejak 12 hingga 17 Juli 2025. Kegiatan ini menampilkan berbagai karya lukis lintas aliran, mulai dari kontemporer, realis, impresionisme, hingga abstrak, yang diikuti oleh pelukis senior maupun pelukis muda.
Pameran bertajuk seri ke-4 itu tak hanya menampilkan lukisan dari berbagai aliran kontemporer, realis, impresionisme, hingga abstrak tetapi juga menjadi ruang berbagi semangat, diskusi budaya lintas generasi, hingga kolaborasi seni yang nyaris tanpa dukungan struktural dari pemerintah.
“Ini semua dari swadaya pelukis sendiri. Kami ingin tetap berkarya, meski dengan segala keterbatasan,” ujar pelukis wanita Yuli Wijowati kepada IDN Times, Kamis (17/7/2025).
1. Seruan sunyi pelukis Banyumas yang perlu dukungan serius

Komunitas Rumah Literasi, sebagai penyelenggara kegiatan ini, menyatakan bahwa pameran ini bukan sekadar acara seremonial. Menurut Andy Ismer, Ketua Komunitas Rumah Literasi, kegiatan ini adalah bentuk kepedulian terhadap para pelukis produktif yang sering kesulitan mendapat ruang untuk berpameran.
“Para pelukis ini punya semangat luar biasa, tapi sering tak punya tempat. Mereka butuh difasilitasi, bukan dibiarkan,” ujar Andy.
Ia menyoroti lemahnya peran Dewan Kesenian maupun Dinas Kebudayaan daerah dalam menjangkau pelukis lokal yang bukan bagian dari lingkaran elite seni. “Kalau kantong-kantong kebudayaan ini dihidupkan dengan sungguh-sungguh, dana APBD itu bisa diarahkan, bukan hanya untuk segelintir nama yang itu itu saja,” tegasnya.
2. Wajah wajah seni yang terlupakan

Pameran kali ini menampilkan pelukis dari Banyumas dan Cilacap. Nama-nama seperti Koen Hari Wibowo, Budiwibowo, Suhadi Gembot, Medi PS, Darminto, Jaenal, serta tiga pelukis wanita Kun Arifah, Yuli Wijowati, dan Anastasia yang turut memajang karya karyanya.
Salah satu karya yang menarik perhatian pengunjung adalah lukisan abstrak karya Anastasia, pelukis termuda berusia 19 tahun yang juga mahasiswi Institut Seni Indonesia jurusan Desain Interior. Ia hadir bukan hanya sebagai peserta, tetapi sebagai simbol harapan masa depan seni rupa daerah. “Saya bangga bisa ikut di pameran ini. Tapi saya juga sadar, tak mudah jadi pelukis di daerah jika tidak ada dukungan," katanya pelan.
Sementara itu, Setyo Kusnanto, pelukis senior asal Purwokerto, menggarisbawahi pentingnya peran pemerintah dalam menyokong para pelukis dari sisi promosi dan pemasaran karya. “Kami ini bagian dari industri kreatif, tapi selama ini kami jalan sendiri sendiri, kalau dilibatkan secara nyata dalam program pemerintah, tentu hasilnya bisa luar biasa,” ungkapnya.
3. Seni rupa lokal, aset yang sering terabaikan

Ironisnya, di tengah gembar gembor program ekonomi kreatif yang digaungkan pemerintah pusat maupun daerah, realitas para pelukis di tingkat lokal masih sangat jauh dari kata ideal. Minimnya dukungan infrastruktur, fasilitas pameran, hingga akses pasar menjadi tembok yang terus menghadang.
Pemerintah daerah sebenarnya memiliki instrumen seperti Dewan Kesenian Daerah (DKD), namun kehadiran lembaga ini di mata para pelukis dinilai belum benar benar menjangkau pelukis lokal. “Kalau DKD hanya bergerak saat festival besar, itu namanya bukan pembinaan,” kata Andy.
Ia berharap ke depan pemerintah tidak hanya hadir dalam bentuk simbolik, melainkan terlibat dalam membangun ekosistem seni rupa yang berkelanjutan. Termasuk membuat galeri daerah permanen, program pembinaan rutin, dan dukungan promosi untuk para perupa lokal.
4. Bentuk perlawanan senyap

Pameran seni rupa di Purwokerto tersebut tidak hanya karya visual yang dipajang, namun bentuk perlawanan senyap terhadap amnesia budaya. Di balik tiap lukisan yang terpajang, ada cerita tentang harapan yang bertahan di tengah keterbatasan, tentang warna yang terus hidup meski tak dilirik.
Kini, pilihan ada di tangan pemerintah dan masyarakat apakah akan membiarkan suara para pelukis itu terus menjadi gema sunyi, atau menjadikannya bagian dari wajah Banyumas yang kaya, berbudaya, dan bangga akan seniman daerahnya.
“Seni rupa tidak akan mati, tapi senimannya bisa kehabisan tenaga jika terus dibiarkan sendiri,” tutup Andy Ismer.