Dalam khasanah kebudayaan Jawa boneka arwah dijadikan media untuk mengetahui hal-hal gaib yang berada di luar kemampuan kesadaran manusia.
Misalnya, dalam permainan Jalangkung, arwah yang datang bisa ditanya siapa namanya, kapan meninggalnya, dan memberikan informasi terhadap sesuatu yang akan terjadi.
Bahkan, boneka arwah disebut Tundjung bisa digunakan untuk menyakiti orang. Dalam praktik santet dan teluh, bagian tubuh boneka arwah bisa direkayasa untuk menyakiti orang yang dijadikan target.
"Misalnya, dengan ditusuk bagian jantungnya boneka itu kemudian jantungnya orang yang jadi sasaran korban juga akan tersakiti. Tetapi, tidak sedikit yang menggunakan media boneka arwah seperti Jalangkung itu untuk iseng permainan di kala bulan purnama," imbuhnya.
Lebih lanjut, Tundjung yang juga dosen di Program Studi (Prodi) S-1 Ilmu Sejarah FIB UBS menerangkan, boneka arwah dalam kebudayaan Jawa divisualisasikan sebagai manusia.
Oleh karenanya, boneka arwah memiliki bagian-bagian tubuh layaknya manusia, seperti kepala yang terbuat dari bathok (tempurung kelapa) atau dari irus (pengaduk sayur).
Kemudian, untuk bagian tangan boneka arwah biasanya dibuat dari kayu yang disilangkan dan diberikan kain untuk bajunya.
"Hanya, permainannya dengan menggunakan isyarat tulisan dan tidak dapat dialog secara audiovisual dalam berkomunikasi antara arwah dengan pembuat atau pemiliknya," ujarnya.
Ia menerangkan, jika boneka arwah seperti Jalangkung ingin dimainkan maka pemainnya harus lebih dari satu orang.
Nantinya, salah satu pemain akan bertugas sebagai pemanggil atau orang yang menghantarkan kehadiran arwah. Sementara pemain lainnya bertugas memegangi boneka arwah agar tetap berdiri.
"Ada kepercayaan bahwa orang-orang tertentu yang hanya bisa memainkan boneka arwah itu sesuai pemahaman dan kepercayaan masyarakat lingkungannya karena mungkin terbiasa saja bermain boneka arwah seperti Jalangkung itu," pungkasnya.