4 Dampak Buruk Toxic Masculinity ke Kesehatan Mental Pria

Intinya sih...
Sulit mengekspresikan emosi
Cenderung memendam stres sendirian
Merasa harus selalu jadi 'tulang punggung'
Pria itu gak boleh nangis. Pria itu harus kuat. Pria sejati harus tahan banting, gak boleh curhat, apalagi minta bantuan. Pernah dengar kalimat-kalimat kayak gitu? Sayangnya, banyak pria tumbuh besar dengan kalimat-kalimat semacam itu, dan gak sadar kalau itu bagian dari toxic masculinity.
Toxic masculinity sendiri adalah pola pikir atau ekspektasi sosial yang menekan pria untuk selalu tampil dominan, tegar, dan gak menunjukkan emosi. Padahal, setiap manusia, termasuk pria, punya hak untuk merasa lelah, sedih, bahkan rapuh. Sayangnya, tuntutan buat jadi “laki-laki banget” ini diam-diam bisa berdampak buruk ke kesehatan mental pria. Nah, ini dia beberapa dampak toxic masculinity yang sering luput padahal nyakitin banget.
1. Sulit mengekspresikan emosi
Salah satu dampak paling nyata dari toxic masculinity adalah pria jadi susah banget buat mengekspresikan perasaan mereka sendiri. Ketika sedih, mereka memilih diam. Saat stres, mereka pura-pura kuat. Semuanya dipendam karena takut dianggap lemah atau cengeng. Padahal, memendam emosi dalam waktu lama bisa bikin batin makin sesak dan meledak suatu saat nanti.
Ketidakmampuan mengekspresikan emosi ini juga bikin pria jadi jarang banget cari pertolongan. Bahkan, mereka bisa merasa malu kalau harus cerita ke teman atau profesional. Ini yang bikin banyak pria merasa terjebak dalam tekanan sendiri. Padahal, mengakui perasaan itu bukan tanda kelemahan, tapi keberanian karena berani jujur sama diri sendiri.
2. Cenderung memendam stres sendirian
Karena terbiasa menahan emosi, banyak pria juga akhirnya terbiasa memendam stres sendirian. Mereka mungkin terlihat baik-baik aja di luar, tapi dalam hati berantakan. Sayangnya, karena gak terbiasa cerita atau minta bantuan, stres itu lama-lama numpuk dan bisa berubah jadi masalah yang lebih serius, kayak gangguan kecemasan atau depresi.
Toxic masculinity bikin pria percaya kalau menunjukkan stres itu memalukan. Mereka lebih memilih ngurung diri, sibuk kerja terus, atau malah lari ke hal negatif kayak alkohol atau rokok. Padahal, kalau sejak awal bisa terbuka dan cari bantuan, mungkin stres itu bisa lebih cepat teratasi. Gak semua hal harus dihadapi sendirian, dan gak apa-apa kok buat mengakui kalau lagi capek.
3. Merasa harus selalu jadi 'tulang punggung'
Banyak pria tumbuh dengan ekspektasi harus jadi pemimpin, pencari nafkah utama, dan penanggung jawab segala hal. Meskipun gak salah buat punya tanggung jawab, tapi tekanan buat selalu jadi yang paling kuat ini bisa bikin mental kelelahan. Ada beban yang gak kelihatan, tapi beratnya luar biasa.
Apalagi kalau di satu sisi pria juga gak dikasih ruang buat mengeluh atau terlihat lemah. Jadinya, mereka berusaha keras memenuhi ekspektasi orang sekitar, tapi lupa memperhatikan kebutuhan diri sendiri. Ini bisa memicu perasaan gagal, minder, atau bahkan rasa tidak berguna kalau mereka gak bisa memenuhi standar yang ditentukan oleh lingkungan. Padahal jelas, setiap orang punya batas.
4. Menurunnya kualitas hubungan sosial
Toxic masculinity juga bisa merusak kualitas hubungan sosial seorang pria. Karena dibiasakan untuk 'kuat' dan 'mandiri', banyak pria akhirnya jadi enggan membuka diri atau membangun hubungan yang dalam dengan orang lain. Mereka jadi tertutup, cenderung kaku, dan bahkan menghindari percakapan emosional dengan orang terdekat, termasuk pasangan atau keluarga sendiri.
Padahal, salah satu kunci kesehatan mental yang baik adalah punya support system. Tapi kalau pria selalu menjaga jarak dan menyembunyikan isi hati, mereka bisa merasa makin kesepian dan terisolasi. Bahkan dalam hubungan romantis, pria yang terjebak toxic masculinity bisa kesulitan membangun kedekatan emosional, yang akhirnya berdampak pada hubungan yang renggang dan komunikasi yang gak nyambung.
Toxic masculinity itu bukan cuma sekadar pola pikir yang salah arah, tapi juga ancaman nyata buat kesehatan mental pria. Jadi pria gak harus selalu kuat, gak harus selalu jadi pahlawan, dan yang paling penting: gak harus selalu memendam semuanya sendirian. Mulai sekarang, yuk sama-sama bangun budaya yang lebih sehat dan terbuka, di mana pria juga punya ruang untuk jujur, nangis, dan cerita.