Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi membantu rekan kerja (pexels.com/Alena Darmel)
ilustrasi membantu rekan kerja (pexels.com/Alena Darmel)

Buat sebagian besar ENFJ, membantu orang lain rasanya seperti bagian alami dari hidup. Kepribadian ini terkenal punya empati tinggi, mudah bergaul, dan mampu membaca suasana hati orang dengan cepat. Sayangnya, sifat positif itu sering berbalik jadi jebakan ketika mereka terlalu memprioritaskan kebahagiaan orang lain dibanding diri sendiri. Akhirnya, tanpa sadar mereka masuk ke lingkaran people pleasing yang melelahkan secara mental dan emosional.

Fenomena ini bukan sekadar soal mau berbuat baik, tapi tentang kecenderungan mengorbankan kebutuhan pribadi demi menjaga hubungan tetap harmonis. ENFJ kerap merasa kalau menolak permintaan atau mengungkapkan ketidaksetujuan bisa merusak citra diri di mata orang lain. Padahal, selalu memuaskan semua orang justru dapat mengikis identitas pribadi dan membuat rasa lelah berkepanjangan. Berikut lima hal yang membuat ENFJ rentan terjebak dalam pola ini.

1. Terlalu mengutamakan perasaan orang lain

ilustrasi membantu rekan kerja (pexels.com/Alena Darmel)

ENFJ punya kepekaan luar biasa terhadap emosi orang lain. Mereka dapat merasakan perubahan suasana hati hanya dari bahasa tubuh atau nada bicara. Kepekaan ini memang memudahkan mereka membangun koneksi, tetapi juga membuat mereka selalu terdorong untuk menyesuaikan diri demi menghindari konflik. Lama-kelamaan, mereka terbiasa mengabaikan kebutuhan pribadi hanya demi menjaga suasana tetap nyaman.

Ketika fokus berlebihan pada perasaan orang lain, ENFJ sering kesulitan menarik batas yang sehat. Mereka takut dianggap egois kalau menolak atau mengungkapkan pendapat yang berbeda. Akhirnya, mereka memilih untuk menuruti permintaan orang lain, meski dalam hati merasa lelah atau keberatan. Pola ini membuat mereka terjebak dalam siklus memberi tanpa pernah benar-benar menerima.

2. Takut mengecewakan orang yang disayangi

ilustrasi membantu rekan kerja (pexels.com/Antoni Shkraba Studio)

Rasa takut mengecewakan jadi salah satu alasan utama ENFJ sulit berkata “Tidak”. Mereka punya ikatan emosional yang kuat dengan orang-orang terdekat, dan akan melakukan hampir apa saja untuk memastikan orang tersebut bahagia. Ketakutan ini sering membuat mereka menerima tugas atau tanggung jawab yang sebenarnya di luar kapasitas.

Masalahnya, dorongan ini sering memicu stres tersembunyi. ENFJ mungkin terlihat tenang di luar, tapi di dalam mereka merasa kewalahan. Mereka bahkan bisa memaksakan diri hanya demi mempertahankan citra sebagai sosok yang selalu dapat diandalkan. Perasaan bersalah yang muncul saat menolak membuat mereka memilih untuk terus mengorbankan waktu, tenaga, dan energi.

3. Mengaitkan nilai diri dengan penerimaan sosial

ilustrasi membantu rekan kerja (pexels.com/Mikhail Nilov)

Bagi banyak ENFJ, penerimaan sosial terasa seperti validasi terbesar. Saat orang lain menghargai bantuan yang mereka berikan, muncul rasa puas yang menegaskan nilai diri mereka. Hal ini membuat mereka secara tidak sadar bergantung pada opini luar untuk merasa berharga.

Sayangnya, pola pikir ini rawan membuat mereka kehilangan kendali atas batas pribadi. ENFJ bisa terus-menerus mencari cara untuk menyenangkan orang, bahkan ketika itu berarti mengorbankan kenyamanan sendiri. Mereka jadi sulit membedakan apakah tindakan yang dilakukan murni berasal dari keinginan pribadi atau hanya demi mendapatkan persetujuan dari orang lain.

4. Kesulitan mengungkapkan ketidaknyamanan

ilustrasi obrolan teman (pexels.com/Ivan Samkov)

ENFJ sering menghindari pembicaraan yang berpotensi memicu ketegangan. Mereka lebih memilih untuk menelan rasa tidak nyaman daripada menyampaikannya secara terbuka. Hal ini dilakukan demi menjaga hubungan tetap harmonis, meski pada akhirnya bisa menumpuk rasa frustasi di dalam diri.

Ketika kebiasaan ini terus berlangsung, mereka akan semakin terperangkap dalam peran sebagai penjaga kedamaian yang selalu siap menyesuaikan diri. Padahal, mengungkapkan ketidaknyamanan secara sehat adalah bagian penting dari hubungan yang setara. Sayangnya, rasa takut membuat orang lain tersinggung atau kecewa sering lebih dominan dibanding keinginan untuk jujur pada diri sendiri.

5. Terjebak dalam ekspektasi sosok sempurna

ilustrasi teman curhat (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)

Lingkungan sering melihat ENFJ sebagai figur yang penuh perhatian, selalu hadir, dan bisa diandalkan. Label ini menumbuhkan ekspektasi tinggi, baik dari orang lain maupun dari diri mereka sendiri. Demi mempertahankan reputasi tersebut, ENFJ kerap memaksakan diri untuk memenuhi semua harapan yang diarahkan pada mereka.

Masalahnya, citra “sosok sempurna” ini bisa jadi beban besar. ENFJ akan merasa gagal jika tidak mampu memenuhi ekspektasi, meski sebenarnya manusiawi untuk sesekali mengecewakan orang lain. Ketika terus berusaha menjaga kesan ideal, mereka semakin sulit mengakui kelemahan atau menetapkan batas yang sehat.

People pleasing memang bisa tampak seperti tanda kepedulian, tapi bagi ENFJ, ini sering jadi jebakan yang menguras energi. Sifat empati dan dorongan untuk membantu orang lain adalah kekuatan besar, namun tanpa batas yang jelas, hal itu justru bisa melukai diri sendiri. Belajar mengatakan “tidak” dan memprioritaskan kebutuhan pribadi bukan berarti egois, melainkan bentuk penghargaan terhadap diri sendiri.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team