Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi perempuan cemas (freepik.com/benzoix)
ilustrasi perempuan cemas (freepik.com/benzoix)

Pernah dapat undangan acara tapi malah pusing duluan sebelum berangkat? Bukannya senang, kamu justru merasa terbebani oleh bayangan interaksi yang menunggu. Kalau ini sering terjadi, bisa jadi kamu mengalami fear of being included atau FoBI.

FoBI bukan sekadar malas bersosialisasi, tapi kondisi saat seseorang merasa cemas atau tertekan ketika harus terlibat dalam kegiatan sosial. Dampaknya gak cuma membuatmu kehilangan momen, tapi juga bisa mempengaruhi kesehatan mental. Yuk simak lima tanda kamu mungkin sedang mengalaminya.

1. Merasa lega saat undangan dibatalkan

ilustrasi perempuan menggunakan handphone (freepik.com/freepik)

Bagi sebagian orang, kabar pembatalan acara bisa bikin kecewa. Tapi bagi kamu yang mengalami FoBI, justru rasa lega yang pertama kali muncul. Rasanya seperti beban di pundak tiba-tiba hilang begitu saja.

Kamu lebih memilih tetap di rumah tanpa harus bertemu banyak orang. Pikiran untuk bersosialisasi justru membuat energi terasa habis sebelum acara dimulai. Leganya bukan karena acara batal, tapi karena kamu terbebas dari tekanan interaksi sosial.


2. Menghabiskan waktu memikirkan alasan untuk menolak ajakan

ilustrasi perempuan berpikir (freepik.com/pressfoto)

Saat menerima undangan, hal pertama yang terpikir adalah mencari cara untuk menolaknya. Bahkan kamu bisa menghabiskan waktu berjam-jam memikirkan alasan yang masuk akal. Semakin banyak orang yang hadir, semakin besar pula keinginanmu untuk mundur.

Kecemasan sosial yang muncul membuat kamu merasa tidak siap. Bukan berarti kamu anti bersosialisasi, hanya saja situasi itu terasa terlalu menguras tenaga. Alasan yang dicari sering kali jadi tameng untuk melindungi diri dari rasa tidak nyaman.

3. Merasa tertekan oleh ekspektasi sosial

ilustrasi perempuan sedih (freepik.com/freepik)

Acara sosial sering kali datang dengan ekspektasi tertentu, entah harus tampil ceria, berbicara aktif, atau memberi kesan positif. Bagi orang dengan FoBI, tuntutan ini justru menambah beban mental. Setiap interaksi terasa seperti ujian yang harus dilewati dengan hati-hati.

Tekanan ini membuatmu memikirkan detail kecil, seperti bagaimana berpakaian atau topik apa yang harus dibicarakan. Akhirnya, alih-alih menantikan momen itu, kamu malah diliputi kekhawatiran. Rasa tertekan ini sering membuatmu memilih untuk tidak hadir sama sekali.

4. Lebih nyaman menghabiskan waktu sendiri

ilustrasi perempuan membaca (freepik.com/lifeforstock)

Banyak orang menemukan kebahagiaan dalam keramaian, tapi bagi kamu, ketenangan justru datang saat sendirian. Waktu sendiri memberimu ruang untuk bernapas tanpa takut dihakimi atau dinilai. Momen hening terasa lebih menenangkan dibanding suasana penuh interaksi.

Kamu bisa menghabiskan waktu membaca, menulis, atau sekadar menatap langit tanpa distraksi. Walau terdengar mirip sifat introvert, FoBI lebih berfokus pada rasa cemas terhadap ajakan atau keterlibatan sosial. Perbedaannya, ini bukan pilihan murni, melainkan reaksi untuk menghindari rasa tertekan yang muncul.

5. Butuh waktu lama untuk memulihkan energi setelah bersosialisasi

ilustrasi perempuan mendengarkan musik (freepik.com/freepik)

Bagi penderita FoBI, menghadiri acara sosial bisa sangat menguras tenaga. Setelahnya, kamu butuh waktu lama untuk memulihkan diri, bahkan hingga berhari-hari. Bukan hanya fisik yang lelah, tapi juga pikiran yang terus memutar ulang interaksi tadi.

Proses pemulihan ini membuat kamu semakin enggan menerima undangan berikutnya. Rasa cemas dan kelelahan bercampur menjadi satu, sehingga ide untuk terlibat kembali terasa berat. Akhirnya, kamu semakin sering memilih untuk absen demi menjaga energi mental dan emosimu tetap stabil.

FoBI bisa membuat hidup sosial terasa seperti medan yang penuh tekanan, bukan ruang untuk berkembang. Kalau kamu mulai melihat tanda-tanda ini pada dirimu, coba pahami bahwa menghindari interaksi bukan solusi jangka panjang. Yuk, mulai dari langkah kecil untuk mengatur ritme bersosialisasi, sambil tetap menjaga kesehatan mental dan memberi ruang aman bagi diri sendiri.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team