Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi anak yang sedang emosi (pexels.co./Keira Burton)

Anak yang keras kepala memang susah diatur, terkadang kita belajar sabar namun ada kalanya kita ikut bersitegang dengan mereka. Banyak hal yang membuat kita naik darah, mulai dari cekcok memilih baju yang akan dikenakan, drama di dalam kamar mandi, ataupun yang lainnya.

Namun yang mesti kamu ketahui, anak yang keras kepala itu hanya butuh didengarkan, mau dipahami, dan orang tua harus bersikap tenang namun tegas. Berikut adalah cara bijak untuk mengobrol dengan anak yang keras kepala.

1. Tunggu emosinya reda dahulu

ilustrasi ayah dan anak (pexels.com/August de Richelieu)

Ini harus benar-benar diperhatikan untuk orang tua. Jika anak yang sedang naik pitam, jangan langsung menasihati atau diperintah. Itu akan membuat mereka semakin geram dan membangkang.

Karena saat anak marah, otak yang yang mengatur emosi (amygdala) lebih dominan, akibatnya mereka tak bisa mendengar nasihat dengan baik, dan bahkan melawan lebih keras jika dipaksa saat itu juga. Bersikap tenang, dan beri ruang tapi bukan mengabaikan. Misalnya, “gak apa-apa kamu marah, ibu di sini nungguin kamu.” Setelah dirasa tenang, barulah ajak bicara.

2. Gunakan pertanyaan pilihan bukan perintah

ilustrasi dua anak dan ayahnya di meja makan (pexels.com/Tima Miroshnichenko)

Anak yang keras kepala, biasanya merasa punya kendali. Maka dari itu, berikan pilihan supaya mereka tetap merasa punya kuasa. Contohnya biar gak drama saat pakai baju, ajukan pertanyaan pilihan, “mau pakai baju yang mana? Yang warna ini atau yang itu?”

Cara ini cukup ampuh, karena anak merasa dihargai dan tetap merasa punya kontrol. Selain situasi jadi lebih damai, anak pun secara tak langsung belajar mengambil keputusan.

3. Dengarkan, sebelum menanggapi

ilustrasi anak menyentuh wajah ayahnya (pexels.com/Biova Nakou)

Terkadang, anak yang keras kepala itu karena kurang didengarkan oleh orang tua. Orang tua terbiasa menyuruh, daripada mendengar pendapat si anak. Ini salah satu penyebab anak-anak jadi melawan.

Jika ada masalah, sebagai orang tua bukan langsung menyelesaikannya tetapi dengarkan dulu pendapat anak sehingga mereka merasa dimengerti terlebih dahulu. Hindari berkata seperti, “udahlah, jangan nangis terus”, “gitu aja marah”. Anak yang merasa didengarkan akan lebih mudah percaya terhadap orang tua.

4. Alihkan fokusnya, bukan balas membentak atau suara tinggi

alihkan fokus mereka (pexels.com/Josh Willink)

Saat anak bersikeras, alihkan perhatian mereka ke hal lain bukan malah melawan sikap kerasnya secara frontal. Contoh saat anak marah karena tidak dibolehkan bermain ponsel, alihkan perhatiannya ke hal seru, misalnya mengajaknya jalan-jalan di sekitar pemukiman atau melakukan hal yang menyenangkan.

Cara ini cukup berhasil, karena anak kecil belum punya kendali emosi yang matang. Sewaktu mereka ngotot dengan suatu hal dan orang tua mengalihkan perhatian ke hal lain, justru lebih efektif daripada menasihati panjang lebar. Ingat untuk selalu tenang, bukan dengan suara tinggi, ya!

5. Tegas tapi lembut

ilustrasi ibu dan anaknya (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Berikan batasan yang jelas, tapi dengan cara yang tidak mengintimidasi. Contoh, “ibu tahu kamu marah, tapi gak boleh mukul, ya.” Gunakan nada tenang dan tegas. Alih-alih marah, orang tua sepatutnya bersikap lembut.

Karena anak kecil belum punya keterampilan mengatur emosi, di sini orang tua hadir sebagai contoh yang baik, bukan malah menghukum atau balik bersitegang. Alhasil, anak tetap belajar mengekspresikan emosinya, namun mereka juga tahu batasan yang tidak boleh dilewati.

Hukuman fisik tidak efektif dalam mengatasi dan mendisiplinkan anak yang keras kepala. Mungkin dalam waktu sesaat mereka patuh dan takut, namun dalam jangka panjang, hal ini memiliki banyak konsekuensi negatif. Seperti, bisa saja menjadi pelaku kekerasan jika anak dididik dengan kekerasan.

Saat anak dalam kondisi emosi yang tak stabil, orang tua hadir sebagai penenang. Mendidik anak dengan kesabaran memang sulit, karena sebagai manusia pastinya memiliki emosi. Tapi supaya diketahui, pola pengasuhan yang lembut membuat anak merasa diakui, dihormati, sekaligus membangun ikatan yang aman dengan orang tua.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team