Banyak diantara kita yang tahu bahwa wanita yang sedang haid tidak boleh membaca Al-Qur’an. Ternyata menurut pendapat sebagian ulama wanita haid tetap boleh membaca Al-Qur’an lho dengan syarat tidak menyentuh mushafnya secara langsung.
Berdasarkan pendapat dari Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad mereka menyatakan bahwa “Bolehnya membaca Al-Qur’an bagi wanita haid dan nifas dengan berbagai syarat diantaranya tidak menyentuh mushaf Al-Qur’an secara langsung.”
Namun ada juga ulama yang berpendapat membaca Al Quran bagi wanita yang sedang hadi yakni diperbolehkan jika merupakan bagian dari doa.
Dikutip dari NU Online dalam artikel Hukum Murajaah Al-Qur’an bagi Wanita Haidh yang ditulis oleh Ustadz Sunnatullah, pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur, Syekh Ahmad Khatib asy-Syarbini dalam kitabnya, tidak melarang wanita haid untuk membaca Alquran. Ia memberikan solusi dengan cara membaca dalam hati. Ia mengatakan:
وَلِمَنْ بِهِ حَدَثٌ أَكْبَرُ إجْرَاءُ الْقُرْآنِ عَلَى قَلْبِهِ وَنَظَرٌ فِي الْمُصْحَفِ، وَقِرَاءَةُ مَا نُسِخَتْ تِلَاوَتُهُ وَتَحْرِيكُ لِسَانِهِ وَهَمْسُهُ بِحَيْثُ لَا يُسْمِعُ نَفْسَهُ؛ لِأَنَّهَا لَيْسَتْ بِقِرَاءَةِ قُرْآنٍ
Artinya, “Siapa saja yang sedang dalam keadaan hadats besar, maka boleh membaca Al-Qur’an dalam hati, melihat mushaf, membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang sudah dinasakh tulisannya, menggerakkan bibir, berbisik dan suaranya tidak terdengar oleh dirinya sendiri, karena hal ini tidaklah dianggap sebagai membaca Al-Qur’an.” (Khatib asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Alfadzil Minhaj, [Beirut, Darul Fikr: tt], juz I, halaman 72).
Sementara itu, pendapat yang kuat dalam mazhab Malikiyah memperbolehkan wanita haidh untuk membaca Al-Qur’an, baik khawatir lupa hafalan atau tidak. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Syekh Muhammad bin Ahmad bin Arafah ad-Dasuki al-Maliki, ia mengatakan:
الْمُعْتَمَدَ أَنَّهُ يَجُوزُ لها الْقِرَاءَةُ حَالَ اسْتِرْسَالِ الدَّمِ عليها كانت جُنُبًا أَمْ لَا خَافَتْ النِّسْيَانَ أَمْ لَا
Artinya, “Pendapat yang kuat (dalam mazhab Malikiyah), bahwa diperbolehkan bagi wanita haidh untuk membaca Al-Qur’an di masa-masa keluarnya darah, baik sedang junub atau pun tidak, khawatir lupa hafalan atau tidak.” (Imam ad-Dasuki, Hasiyah ad-Dasuki ‘ala Syarhil Kabir, [Beirut, Darul Fikr: tt], juz I, halaman 174).
Terkait para ulama yang berbeda pendapat perihal hukum muraja’ah Al-Qur’an bagi wanita haidh. Dalam mazhab Syafi’iyah, untuk menghindari perbedaan pendapat ulama, mereka meyakini mengikuti opsi yang ditawarkan oleh Imam Nawawi dan pendapat Syekh Khatib asy-Syarbini, yaitu cukup dengan membacanya dalam hati, atau membaca dengan bibir sekira suaranya tidak terdengar oleh telinga.
Sementara itu, dalam mazhab Malikiyah juga terjadi perbedaan pendapat, hanya saja pendapat yang lebih kuat dalam mazhab ini adalah yang memperbolehkan.