Sanim Permana (40) melakukan perawatan panel surya di area Pembangkit Listrik Tenaga Hibrida (PLTH) E-Mas Bayu di Dusun Bondan, Desa Ujungalang, Kecamatan Kampung Laut, Cilacap, Jawa Tengah (IDN Times/Dhana Kencana)
Sektor energi menjadi kontributor terbesar urutan pertama penghasil emisi karbon di Indonesia. Jumlahnya meningkat dari tahun ke tahun.
Indonesia berkomitmen untuk bertransisi energi sebagai upaya mengurangi emisi karbon tersebut. Hal itu juga telah disepakati pada ajang Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali tahun 2022.
Dalam peta jalan (roadmap) transisi energi sebagaimana telah ditetapkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) PP Nomor 79 Tahun 2014 dan Kebijakan Energi Nasional (KEN) Perpres Nomor 22 Tahun 2017, target pengurangan emisi tersebut hingga tahun 2025 sebesar 231,2 juta ton CO2. Sedangkan di tahun 2030, pengurangan emisi CO2 mencapai 327,9 juta ton.
Pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan menjadi salah satu implementasi kunci dari transisi energi.
Situasi tersebut membuka banyak kesempatan green jobs. Pasalnya, peningkatan jumlah pembangkitan listrik dari energi terbarukan harus diimbangi dengan pertumbuhan tenaga kerja yang kompeten di bidangnya.
Peneliti Sosial dan Ekonomi dari Institute for Essential Services Reform (IESR), Martha Jesica Solomasi Mendrofa mengatakan, terbukanya peluang tersebut dikarenakan adanya kebutuhan dan permintaan dari industri energi terbarukan yang saat ini masih belum termanfaatkan dengan baik, dari sisi kapasitas dan instalasinya.
Melansir laporan Capaian Kinerja Kementerian ESDM, bauran energi terbarukan untuk pembangkitan listrik hingga tahun 2022 mencapai 14,11 persen dengan kapasitas terpasang sebanyak 12,542 Gigawatt (GW).
Masih mengacu roadmap transisi energi, bauran energi primer dari energi terbarukan ikut ditargetkan mencapai 23 persen pada tahun 2025 dengan kapasitas terpasang 45,2 GW dan 31 persen dengan kapasitas terpasang 167,7 GW pada tahun 2050.
ilustrasi lowongan kerja (IDN Times/Nathan Manaloe)
Upaya untuk mengejar target tersebut membuka jalan penciptaan lapangan kerja yang lebih luas.
Martha menambahkan, jika skenario transisi energi melalui pemanfaatan energi terbarukan untuk pembangkit listrik mencapai 100 persen, maka pada tahun 2040 akan tercipta green jobs sebanyak 3,2 lapangan kerja.
"Pertumbuhan industri energi terbarukan berpotensi membuka banyak peluang green jobs. Dominasi terbanyak (green jobs) ada di bidang bioenergi dan teknologi surya. Tingginya permintaan green jobs akan menggeser permintaan lapangan kerja (konvensional) ke aktivitas di sektor energi bersih," katanya dilansir keterangan resmi laman IESR, Jumat (22/7/2023).
Komitmen bertransisi energi membutuhkan dukungan ketersediaan tenaga kerja (human capital) yang memadai secara kapabilitas dan kompetensi. Seiring berkembangnya industri energi terbarukan, penyiapan tenaga kerja yang terampil menjadi sebuah tuntutan.
Martha menyatakan, untuk menutupi kesenjangan tersebut, memerlukan kebijakan pasar tenaga kerja, program pendidikan, dan pelatihan berwawasan modern sebagai bagian dari kesiapan tenaga kerja.