Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi perbankan. (IDN Times/Aditya Pratama)
Ilustrasi perbankan. (IDN Times/Aditya Pratama)

Intinya sih...

  • Transisi energi menuju sumber bersih dan rendah karbon adalah agenda strategis nasional di Indonesia.

  • Bank swasta, seperti CIMB Niaga, memainkan peran vital dalam mengatasi hambatan finansial dengan skema pembiayaan inovatif untuk proyek hijau.

  • Pembiayaan berkelanjutan dari bank syariah sejalan dengan prinsip Islam dan regulasi OJK, mendorong investasi pada proyek-proyek berkelanjutan.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Transisi energi merupakan pergeseran fundamental dari sistem energi yang didominasi bahan bakar fosil menuju sumber energi yang lebih bersih, berkelanjutan, dan rendah karbon. Pergeseran tersebut didorong oleh kebutuhan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK), yang menjadi penyebab utama krisis iklim.

Di Indonesia, transisi energi telah ditetapkan sebagai agenda strategis nasional. Pemerintah melalui Rencana Umum Energi Nasional (RUEN)—yang diatur Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017, menargetkan kontribusi Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 23 persen pada 2025 dan 31 persen pada 2050, sebuah upaya menuju target net zero emission (NZE) di tahun 2060.

Meski demikian, perjalanan menuju target ambisius tersebut tidaklah mudah. Diperlukan sinergi lintas sektor—antara pemerintah, swasta, dan masyarakat—agar transisi energi dapat berjalan efektif. Salah satu hambatan terbesar yang menghadang adalah ketersediaan pembiayaan.

Chief Executive Officer (CEO) Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengamini kondisi tersebut. Ia menjelaskan, pembangunan infrastruktur EBT, mulai dari pembangkit listrik tenaga surya dan angin hingga teknologi penyimpanan energi, membutuhkan investasi yang besar. Menurutnya, tanpa dukungan pembiayaan, mustahil proyek-proyek tersebut bisa terwujud dan berjalan optimal.

“Pemerintah memang dapat mengandalkan dana publik, tetapi itu tidak akan pernah cukup tanpa keterlibatan sektor swasta. Di sinilah bank memegang peran vital, dengan menghadirkan skema pembiayaan yang inovatif,” kata Fabby dalam acara Beyond Emissions: Energy Transition for Indonesia’s Growth di Jakarta, Kamis (21/8/2025).

Fabby menambahkan, pembiayaan berkelanjutan menjadi kunci untuk memacu pertumbuhan industri hijau, yang ia sebut sebagai motor penggerak transisi energi di dalam negeri. Ia meyakini, transisi energi tidak hanya membuka pintu, tetapi ikut menciptakan peluang bagi industri hijau untuk berkembang secara bertanggung jawab.

Adapun, kehadiran bank swasta—dengan instrumen keuangan inovatif seperti green financing—menjadi krusial untuk mengakselerasi langkah tersebut. 

“Investasi di energi terbarukan justru akan menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi nasional. Selain menciptakan lapangan kerja baru, proyek-proyek ini juga mampu menyerap tenaga kerja lokal, sekaligus menekan angka pengangguran. Maka, tidak hanya memberikan dampak positif bagi lingkungan, tetapi juga menggerakkan roda ekonomi nasional,” jelas Fabby.

Mengatasi Hambatan Finansial

The Park Mall Semarang. (Dok. IDN Times/bt)

Dalam transisi energi, bank swasta memegang kendali sebagai penentu aliran modal. Dengan instrumen keuangan yang tepat, mereka mempunyai kekuatan untuk mengakselerasi terciptanya proyek ramah lingkungan, termasuk bangunan ramah lingkungan (green building).

Inisiatif itu penting mengingat sektor bangunan dan konstruksi—meskipun berperan dalam pembangunan ekonomi—juga menjadi salah satu penyumbang utama emisi GRK. Laporan Climate Policy Initiative (CPI) yang berjudul Financing Green Buildings in Indonesia menyebutkan, sektor bangunan, termasuk bangunan komersil pusat perbelanjaan, menyumbang 23 persen konsumsi energi nasional pada tahun 2021 dan diproyeksikan melonjak hingga 40 persen pada 2030.

Sebagai contoh, PT Bank CIMB Niaga Tbk (CIMB Niaga) melalui unit usaha syariahnya, menyalurkan pembiayaan Sustainability-Linked Financing (SLF) senilai Rp300 miliar untuk The Park Mall Semarang. Pusat perbelanjaan yang dikelola PT Nirvana Wastu Jaya Pratama (NWJP)—anak perusahaan NWP Property--itu menjadi bukti nyata peran perbankan dalam mendorong inisiatif hijau.

Kerja sama tersebut menggunakan skema akad Musyarakah Mutanaqisah (MMQ), di mana pembiayaan tidak hanya berfokus pada keuntungan finansial, tetapi juga mengikat debitur pada target kinerja keberlanjutan (sustainability performance target atau SPT).

Menurut Head of Corporate Banking CIMB Niaga, Miranty Supardi, skema SLF sengaja dirancang untuk mendorong debitur menerapkan praktik terbaik di bidang keberlanjutan. Pencapaian SPT—seperti penurunan intensitas energi dan perolehan sertifikasi bangunan hijau—menjadi dasar untuk penyesuaian imbal hasil (margin) pembiayaan.

Dengan kata lain, pembiayaan SLF CIMB Niaga untuk mal yang resmi beroperasi pada 16 Maret 2023 di Kota Semarang itu bertujuan tidak sekadar untuk dukungan operasional, tetapi juga menargetkan penurunan konsumsi energi dan pengurangan emisi karbon (berdasarkan Greenhouse Gas Protocol, Scope 1 dan Scope 2) yang telah disepakati bersama dalam SPT.

Oleh karena itu, ketika efisiensi energi dan standar hijau ditetapkan sebagai prasyarat pembiayaan, dampak penghematannya pun meluas: dari tagihan listrik yang lebih rendah, emisi karbon yang menurun, hingga nilai aset yang lebih tangguh di masa depan.

“Bank akan memberikan penyesuaian suku bunga sesuai dengan pencapaian SPT tersebut. Praktik keberlanjutan yang ingin kami dorong pada pembiayaan ini antara lain efisiensi energi dan sertifikasi bangunan hijau untuk The Park Mall,” ujar Miranty saat penandatanganan kerja sama di Jakarta, Senin (3/6/2024).

Pihak pengembang pun menyambut baik inisiatif tersebut. Chief Financial Officer (CFO) NWP Property, Nikolaus Dharmawan menjelaskan, kerja sama pembiayaan SLF memperkuat komitmen perusahaannya terhadap ESG.

“Pembiayaan syariah berbasis SLF dari CIMB Niaga tidak hanya membantu kami dari sisi pendanaan, tetapi juga menumbuhkan komitmen jangka panjang pada keberlanjutan,” akunya.

Harmoni antara Syariah, Regulasi, dan Ekonomi Hijau

ilustrasi perbankan syariah (pexels.com/Pavel Danilyuk)

Secara mendasar, perbankan syariah melarang praktik riba dan investasi pada kegiatan yang tidak etis atau merusak lingkungan. Prinsip tersebut secara alami sejalan dengan kaidah Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (Environmental, Social, and Governance/ESG), yang mana alur dana diarahkan pada proyek-proyek yang memberikan manfaat sosial dan lingkungan.

Doktor Pengkajian Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Aspiyah Kasdini mengatakan, prinsip-prinsip Islam secara inheren mendorong pelestarian lingkungan, keadilan sosial, dan pengelolaan sumber daya alam yang bertanggung jawab. Maka daru itu, sejatinya keuangan syariah melarang investasi pada industri yang merusak lingkungan, dan sebaliknya mendorong investasi pada proyek-proyek berkelanjutan.

“Investasi hijau, termasuk pembiayaan hijau dari perbankan syaariah untuk transisi energi sangat selaras dengan pedoman Islam, dan itu dipandang penting untuk melestarikan kehidupan dan kekayaan manusia, yang merupakan tujuan inti syariah itu sendiri, yakni Maqasid al-Shariah,” katanya saat dihubungi IDN Times, Minggu (31/8/2025).

Evolusi tersebut sejalan dengan kerangka regulasi Otoritas Jasa Keuangan. Dalam Taksonomi untuk Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI) versi 2, OJK memberi acuan bagi bank—termasuk perbankan syariah—untuk menentukan aktivitas ekonomi mana yang dianggap hijau, transisi, atau tidak berkelanjutan. Pembiayaan CIMB Niaga untuk The Park Mall Semarang merupakan contoh konkret implementasi TKBI di sektor Construction & Real Estate, sekaligus menjadi bukti bahwa perbankan syariah pun bisa menyalurkan pembiayaan hijau sesuai dengan standar OJK.

Dengan demikian, bank tidak lagi semata menyalurkan kredit, melainkan menjadi arsitek yang mendorong perubahan perilaku melalui insentif berbasis kinerja. Saat target efisiensi tercapai, biaya modal dapat turun, proyek makin bankable, dan pasar mendapatkan sinyal kuat bahwa investasi hijau menguntungkan. Hal tersebut pada akhirnya dapat mengakselerasi transisi menuju ekonomi rendah karbon.

“Dalam konteks pembiayaan SLF, akad MMQ memunculkan skema bagi hasil yang adil dan struktur kepemilikan yang menurun seiring pembayaran, sembari tetap mengukur kinerja lingkungan melalui SPT,” imbuh Kasdini.

Kedua konteks tersebut—prinsip syariah dan regulasi—menjadikan pembiayaan CIMB Niaga untuk The Park Mall Semarang relevan. Proyek pembiayaan itu membuktikan jika pelaku usaha bisa memenuhi target lingkungan sambil mendapat akses pembiayaan yang lebih baik, sehingga iklim dan bisnis tidak lagi saling berseberangan.

Editorial Team