Sore itu, Kamis (14/8/2025), di kawasan Tambakrejo, Kelurahan Tanjung Mas, Kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang, deretan pohon mangrove bergoyang pelan mengikuti hembusan angin kencang. Di tengah rimbunnya hutan bakau, sebuah jembatan bambu dan kayu sepanjang 240 meter membentang membelah hijaunya pepohonan mangrove yang tumbuh rapat.
Anak-anak tampak berlarian kecil menyusuri jalur jogging track. Sementara para wisatawan sibuk mengabadikan momen dengan latar matahari yang perlahan tenggelam di ufuk barat. Suara daun mangrove yang berdesir terdengar lirih, seolah sedang berzikir, sebagaimana diyakini Juraimi—nelayan setempat yang kini menjadi penjaga ekosistem pesisir.
“Mangrove yang bergoyang itu bukan hanya karena angin. Mereka sedang berdoa untuk siapa saja yang merawatnya,” katanya kepada IDN Times.
Ucapan Juraimi bukan metafora semata. Sejak tahun 2010, pria berusia 52 tahun itu telah mendedikasikan diri untuk mengonservasi mangrove di pesisir utara Semarang.
Ia pun menjadi saksi bagaimana doa-doa sederhananya bisa berbuah perubahan besar saat ini. Tidak hanya mencegah abrasi, tetapi juga mengangkat kesejahteraan para nelayan, menghidupkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), serta menjadikan Tambakrejo sebagai destinasi wisata baru yang membanggakan.
Seperti diketahui, pesisir utara Kota Semarang sejak lama dikenal sebagai wilayah yang rawan abrasi. Gelombang dan arus laut perlahan mengikis daratan di daerah tersebut. Kondisi itu mengubah bentuk pesisir, yang semula menjadi ruang hidup warga kini malah makin menyempit.
Penelitian tiga akademisi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) University—Febrianti Amalia, Zairion, dan Agus Saleh Atmadipoera—mengamini hal tersebut. Mereka mengungkapkan fakta yang mencemaskan.
Selama dua dekade terakhir, tepatnya sejak 2001—2021, garis pantai di Kota Semarang terus berubah. Malah, setiap tahun, daratan yang hilang akibat abrasi di Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah itu mencapai 2–3 hektare (ha), dengan rata-rata pengikisan sejauh 10,31 meter per tahun. Tambakrejo pun menjadi salah satu desa yang terdampak abrasi.
Akibatnya, selain menggerus tanah, abrasi ikut menenggelamkan rumah-rumah warga. Oleh karenanya, laut yang semestinya menjadi sumber kehidupan warga setempat–yang sebagian besar adalah nelayan–justru berubah menjadi ancaman yang merenggut tempat tinggal dan mata pencaharian mereka.
Jika kondisi tersebut dibiarkan, bukan tidak mungkin daerah yang berdiri sejak 1973 itu akan rusak atau bahkan tergenang permanen.
Dari kondisi riil itu, lahirlah kesadaran bahwa pantai perlu dijaga. Salah satu caranya adalah dengan penanaman mangrove sebagai bagian dari konservasi pesisir. Upaya itu menjadi strategi adaptasi penting untuk mengurangi risiko abrasi sekaligus menyelamatkan masa depan pesisir utara Semarang.