Beton tetrapod yang terbuat dari FABA yang terpasang di kawasan pesisir Semarang, Kamis (24/7/2024). (IDN Times/Dhana Kencana)
Dosen Teknik Lingkungan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Nita Citrasari, menjelaskan, pemanfaatan FABA sebagai bahan baku atau substitusi material konstruksi merupakan implementasi nyata dari konsep waste to material. Pendekatan tersebut bertujuan untuk mengubah limbah atau material sisa menjadi bahan baku baru yang memiliki nilai guna.
“Pendekatan waste to material adalah salah satu metode pengelolaan limbah yang efektif untuk mengurangi pembuangan dan memaksimalkan pemanfaatan material yang awalnya dianggap tidak berguna. Tahapan pengolahan FABA disesuaikan dengan jenis produk yang dihasilkan. Setelah produk jadi, dilakukan uji standar untuk memastikan kelayakannya. Misalnya, paving block (bata beton) harus memenuhi SNI 03-0691-1996 agar layak digunakan,” katanya dalam keterangan resmi yang disampaikan melalui laman Universitas Airlangga, Rabu (23/10/2024).
Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, menyatakan bahwa pemanfaatan FABA sejalan dengan komitmen PLN terhadap prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG). Menurutnya, ESG dan ekonomi sirkular saling mendukung dalam membangun bisnis yang bertanggung jawab, berkelanjutan, dan berdampak positif bagi lingkungan serta masyarakat.
“Kami bertekad mengubah sesuatu yang dulu dianggap limbah menjadi sumber daya berharga bagi masyarakat. Ini adalah bentuk komitmen kami di PLN untuk menjaga wilayah pesisir Pantura agar tetap aman dari ancaman abrasi dan banjir rob. Di PLN, kami tidak hanya berfokus pada produksi listrik, tetapi juga berkomitmen menjadi katalis perubahan positif bagi masyarakat dan lingkungan,” ujarnya.
Keberadaan tetrapod bagi masyarakat pesisir seperti Sugeng ibarat oase di tengah padang pasir yang gersang. Bertahun-tahun mereka hidup di bawah bayang-bayang ancaman banjir rob dan abrasi yang makin menggerus daratan.
"Dulu, setiap musim hujan tiba, kami selalu diliputi rasa was-was. Terlebih lagi jika badai melanda, kami hanya bisa berpasrah dan berharap yang terbaik," aku Ningsih, seorang ibu berusia 56 tahun, warga setempat yang sehari-hari berdagang ikan di Pasar Mangkang. "Sekarang? Ya, masih ada kekhawatiran, tapi tidak separah dulu. Setidaknya, sekarang ada tetrapod-tetrapod itu yang melindungi kami," tambahnya.
Pemasangan tetrapod sebagai alat pemecah ombak di kawasan pesisir Semarang memberikan dampak positif bagi ekosistem laut. Berdasarkan penelitian Dosen Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang (Unnes), Gilang Wahyu Rahmadhani, ditemukan 23 jenis Makrozoobentos dari empat kelas berbeda di sekitar area tetrapod: Gastropoda, Bivalvia, Crustacea, dan Polychaeta. Indeks keanekaragaman jenisnya mencapai 1,81–2,24, yang termasuk kategori sedang.
Makrozoobentos menjadi indikator biologis kualitas perairan karena sifatnya yang relatif menetap dan sensitif terhadap perubahan lingkungan. Keberadaan dan keanekaragaman mereka mencerminkan kondisi ekosistem perairan tempat mereka hidup.
Data itu menunjukkan bahwa meskipun terdapat intervensi manusia, ekosistem setempat masih mampu mempertahankan keseimbangannya. Singkatnya, keberadaan tetrapod mendukung kelangsungan kehidupan laut.
Penggunaan tetrapod yang memanfaatkan FABA di pesisir Semarang—termasuk di Mangkang—berpotensi memengaruhi siklus karbon di kawasan tersebut. Struktur tetrapod melindungi vegetasi pesisir seperti hutan bakau, yang dikenal sebagai penyerap karbon alami yang efisien. Hutan bakau menciptakan ruang hidup bagi organisme laut, termasuk moluska dan krustasea, yang berkontribusi pada siklus karbon melalui proses biologis mereka.