Ketua KNKT, Soerjanto Tjahjono. (IDN Times/Muhammad Iqbal)
Adapun hak angkutan penyeberangan juga belum terpenuhi dari sisi fasilitas pelabuhan. Seperti minimnya jumlah infrastruktur dermaga sehingga kapal-kapal hanya bisa beroperasi 30 persen per bulan, kondisi dermaga tidak layak, bahkan masih ada dermaga LCM yang sebenarnya tidak layak untuk operasional kapal penyeberangan.
Selain itu, kondisi terminal pelabuhan tidak dilengkapi dengan timbangan, sehingga pihak kapal tidak mengetahui berat sebenarnya dari kendaraan yang akan dimuat. Tidak ada portal yang menyaring kendaraan over dimension over loading (ODOL), dan juga tidak tersedia alat untuk mendeteksi barang bawaan pelanggan seperti di bandara.
“Stakeholder keselamatan yang berpengaruh terhadap keselamatan pelayaran ada empat, yaitu regulator, operator, fasilitator, dan konsumen. Jadi tidak hanya dari sisi operator saja. Kebijakan dari pemerintah, fasilitator (kepelabuhanan), dan perilaku konsumen sangat menentukan keselamatan pelayaran. Dari keempat unsur tersebut, yang paling berperan adalah regulator. Sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang," ujarnya.
Oleh karena itu, keselamatan harus dilihat dari berbagai aspek. Termasuk pelaksana undang-undang, pengawas, dan pembuat regulasi.
“Jadi, pernyataan Wakil Ketua Komisi V DPR RI sangat prematur dan tidak berdasar. Kami siap berdiskusi dengan Komisi V untuk lebih memperjelas situasi pengusahaan angkutan feri di Indonesia yang saat ini iklim usahanya kurang kondusif. Jangan asal berkomentar, karena transportasi berkaitan dengan keselamatan publik, harus cermat dan berbasis data. Biarkan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) beserta Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang bekerja," kata Rahmatika.