Semarang, IDN Times – Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) menjadi teknologi energi terbarukan paling realistis untuk dikembangkan di Jawa Tengah karena berbiaya investasi awal yang murah dibandingkan teknologi lainnya. Sementara itu, Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) masih memerlukan kajian mendalam sebelum dapat diimplementasikan secara luas.
IESR: PLTS Harusnya Prioritas di Jateng, PLTSa Butuh Kajian Mendalam

Intinya sih...
PLTS menjadi teknologi energi terbarukan paling realistis di Jawa Tengah karena biaya investasi awal yang murah.
PLTSa memerlukan kajian mendalam dan investasi tinggi, serta bergantung pada suplai sampah untuk operasionalnya.
Tiga teknologi prioritas dalam RUPTL Jawa Tengah adalah PLTS, PLTB, dan PLTM dengan potensi energi terbarukan yang belum dimanfaatkan sepenuhnya.
1. PLTSa membutuhkan investasi tinggi
Analis Sistem Informasi Geografis Institute for Essential Services Reform (IESR), Sodi Zakiy M mengatakan, penerapan Waste to Energy (WtE) yang paling implementatif adalah pembangunan PLTSa dari energi sampah. Meski demikian, pembangunan PLTSa membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
"Untuk pembangunan itu sendiri sebenarnya memang membutuhkan biaya yang tidak cukup sedikit ya karena PLTSa itu merupakan salah satu teknologi energi terbarukan yang memang butuh biaya initial investment-nya itu cukup tinggi untuk pengolahannya," katanya, Rabu (26/11/2025).
Meski Jawa Tengah memiliki persoalan timbulan sampah yang cukup tinggi dan memerlukan penanganan serius, penerapan PLTSa tidak bisa diimplementasikan dengan mudah.
"Tidak serta-merta untuk penerapan Waste to Energy itu bisa langsung diimplementasi karena memang untuk biaya inisial untuk pengembangan teknologinya sendiri itu mungkin cukup mahal dan memang kajian yang diperlukan itu juga cukup mendalam karena implementasi WtE di Indonesia itu masih belum masif juga. Belum banyak sebenarnya penerapan WtE ini yang ada di sekitar kita," ungkapnya.
2. Tantangan operasional PLTSa
Sodi menambahkan, ketergantungan utama PLTSa adalah pada suplai sampah. Ia menilai, suplai sampah untuk WtE juga memerlukan pengolahan bertahap.
"Tidak juga serta-merta sampah yang ada itu langsung bisa dijadikan energi. Jadi, perlu pengolahan bertahap seperti itu dan pengolahan bertahap ini yang membutuhkan proses juga, investasi juga, dan sebenarnya proses-proses inilah yang menjadi kunci untuk PLTSa ini bisa beroperasi secara efisien," ungkapnya.
Ketika ditanya mengenai proyek PLTSa yang sudah beroperasi di Indonesia, ia menyebutkan beberapa contoh yang sudah berjalan.
"Sebenarnya sudah ada beberapa proyek WtE sendiri yang sudah disebutkan tadi mungkin di Surabaya itu di PLTSa di Surabaya yang sudah mungkin komersial tahun 2021 kalau tidak salah. Kalau tidak salah di Bandung juga sudah ada. Beberapa proyek juga masih sedang dikembangkan tapi mungkin salah satu yang sudah beroperasional itu kalau enggak salah di Surabaya dan Bandung," ungkap narasumber.
Sodi mengaku, di Surabaya sempat terjadi kendala terkait pencemaran udara dan stabilitas kelistrikan. Hal tersebut menunjukkan bahwa operasional PLTSa memerlukan dukungan tidak hanya infrasruktur namun juga manajemen yang baik.
"Kalau misalnya di Surabaya sendiri itu memang mungkin ada kesepakatan pengelolaan atau dari suplai sampah sendiri sehingga dia bisa beroperasi secara stabil. Tapi memang kembali lagi bahwa kajian itu perlu dilakukan terlebih dahulu untuk implementasi teknologi ini," kata narasumber.
3. Tiga teknologi prioritas dalam RUPTL
Ihwal rekomendasi teknologi energi terbarukan yang sebaiknya didorong untuk meningkatkan bauran energi di Jawa Tengah, Sodi menyebut PLTS menjadi pilihan paling realistis.
Menurutnya, ke depannya PLTS bisa menjadi salah satu dorongan paling besar dalam bauran teknologi energi terbarukan.
"Untuk teknologi-teknologi yang lebih fleksibel seperti PLTS itu sebenarnya memang saat ini memiliki biaya yang paling murah dibanding dengan teknologi lainnya. Jadi memang untuk yang reachable yang memang kita coba kaji lebih mendalam itu juga seperti PLTS itu bahwa memang teknologi itu termasuk biaya inisiasi untuk investasinya di awal sendiri itu merupakan salah satu yang paling murah," jelasnya.
Lebih lanjut, ia megungkapkan, merujuk pada data Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang menunjukkan tiga teknologi utama yang akan dikembangkan di Jawa Tengah. Ketiga teknologi tersebut--PLTS (Photovoltaic), PLTB (Bayu/angin), dan PLTM (Mikrohidro)--dipilih karena lebih mudah dikembangkan, memiliki biaya investasi yang lebih terjangkau, dan teknologinya sudah lebih matang.
"Kita lihat sendiri tadi juga misalnya di data RUPTL bahwa teknologi utama yang didukung yang dikembangkan nanti ke depannya itu seperti PLTS, kemudian PLTB dan PLTM. Jadi memang sudah teknologi-teknologi yang lebih mudah ya untuk dikembangkan itu daripada misalnya PLTSa tadi karena memang butuh kajian seperti itu," urainya.
4. Pemanfaatan EBT di Jateng belum optimal
Untuk diketahui, berdasarkan data IESR dan Kementerian ESDM, potensi energi terbarukan di Jawa Tengah meliputi:
Surya: 194.280 Megawatt (MW) (pemanfaatan 55 MW)
Air/Hidro: 730-830 MW (pemanfaatan 376 MW)
Biomassa: 105,9 MW (belum dimanfaatkan)
Bayu/Angin: 2.950 MW (belum dimanfaatkan)
Panas Bumi: 1.284 MW (pemanfaatan 73 MW)
Penyimpan Energi: 151,9 Gigawatt-jam (GWh) (belum dimanfaatkan).
Adapun, saat ini bauran energi terbarukan di Jawa Tengah baru mencapai 18,55 persen pada tahun 2024, masih jauh dari target 21,32 persen pada tahun 2025.
Berdasarkan studi kelayakan teknis dan finansial yang dilakukan IESR, Sodi menyatakan, terdapat 16 lokasi pembangkit listrik tenaga energi terbarukan yang layak dikembangkan di Jawa Tengah. Sebarannya meliputi:
12 Lokasi PLTS di atas tanah (ground-mounted): Total kapasitas sekitar 13 GW tersebar di berbagai wilayah Jawa Tengah, dipilih berdasarkan radiasi matahari (GHI > 4,5 kWh/m²/hari), topografi, tutupan lahan, aksesibilitas, dan jarak dengan infrastruktur.
2 Lokasi PLTB yakni di Pemalang sebesar 100 MW dan Wonogiri mencapai 60 MW. Kedua lokasi tersebut dipilih berdasarkan potensi angin minimal 5,5 m/s pada ketinggian 100 meter di darat (onshore).
2 Lokasi PLTMH yang berlokasi berada di Cilacap dengan total kapasitas 4,8 MW.
"Setelah kita petakan untuk Jawa Tengah itu memiliki 12 lokasi PLTS, dua lokasi PLTB dan dua lokasi PLTMH atau Mikrohidro yang baik secara ekonomi untuk bisa dikembangkan," ungkap Sodi.
5. Semarang masuk dalam pilot project PLTSa
Pemerintah sendiri memulai percepatan proyek waste-to-energy dengan menargetkan pembangunan tujuh Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) pada 2026. Langkah tersebut untuk memperkuat pengelolaan sampah perkotaan dan memperluas bauran energi bersih di berbagai daerah. Upaya itu juga diharapkan bisa menekan timbunan sampah yang mengganggu kualitas lingkungan dan layanan publik, terutama di kota-kota besar.
Presiden Prabowo Subianto sudah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) terkait penanganan sampah perkotaan melalui pengolahan sampah menjadi energi terbarukan berbasis teknologi ramah lingkungan. Kebijakan tersebut menunjukkan komitmen pemerintah dalam mempercepat implementasi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di berbagai daerah di Indonesia.
Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) (BPI Danantara), sebagai pengembang ekosistem PLTSa, telah menugaskan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai offtaker listrik yang dihasilkan. Dalam prosesnya, perusahaan juga bertindak sebagai orkestrator yang memastikan koordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan.
Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo mengatakan, pihaknya bersama Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian ESDM, dan Kementerian Dalam Negeri melakukan survei dan menyusun pra-feasibility study untuk tujuh lokasi yang direncanakan sebagai pilot project pengelolaan sampah menjadi energi listrik.
"Kami telah melakukan survei dan menyusun pra FS untuk 7 lokasi yang direncanakan untuk dibangun pilot Project pengelolaan sampah menjadi energi listrik," katanya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VI DPR RI, Kamis (20/11/2025).
Ia merinci, tujuh lokasi PLTSa tahap pertama tersebut meliputi Medan, Kabupaten Tangerang, Bogor Raya, Bekasi, Semarang, Yogyakarta, dan Bali.
Sementara total kapasitas yang akan dibangun dari tujuh wilayah tersebut ditargetkan dapat mencapai 197,4 MW, dengan kemampuan mengolah sampah hingga 12.000 ton per hari.
"Total di 7 kota dengan total kapasitas 197,4 Megawatt dan sampah yang bisa dikelola per hari adalah hampir 12 ribu ton per day," lanjutnya.
Sebagai catatan, PLN nantinya bertugas untuk menyerap listrik yang dihasilkan dari PLTSa tersebut, di mana peran PLN adalah sebagai pembeli listrik dengan harga yang dipatok sebesar 20 sen/kWH, bukan sebagai pembangun PLTSa.