Salah satu instalasi green hydrogen yang digunakan PLN Indonesia Power Semarang. (IDN Times/Fariz Fardianto)
Sementara itu, Manajer Green Energy Transition Indonesia (GETI) IESR, Erina Mursanti mengungkapkan, Inggris telah menetapkan Low Carbon Hydrogen Standard dan menargetkan produksi 10 GW hidrogen rendah karbon pada 2030. Selain itu, Inggris juga mengalokasikan dana sebesar £240 juta untuk Net Zero Hydrogen Fund (NZHF) serta menerapkan kebijakan insentif, kerja sama industri, riset, dan pengembangan infrastruktur.
“Indonesia dapat mengadopsi strategi serupa untuk membangun ekosistem hidrogen hijau yang kompetitif, menarik investasi internasional, dan mempercepat transisi energi,” ujar Erina.
Untuk diketahui, Indonesia telah mengidentifikasi 17 lokasi potensial untuk produksi hidrogen hijau dengan perkiraan biaya produksi berkisar antara USD 1,9 hingga 3,9 per kg pada tahun 2040. Harga itu lebih kompetitif dibandingkan biaya produksi hidrogen hijau global saat ini yang berada di kisaran USD 2,7 hingga 12,8 per kg.
Namun, harga gas bersubsidi yang masih ditetapkan pada USD 6 per MMBTU menjadi tantangan tersendiri dalam meningkatkan daya saing hidrogen hijau. Untuk mengatasi hal tersebut, IESR merekomendasikan pengurangan subsidi harga gas dan penerapan harga karbon guna meningkatkan daya saing hidrogen hijau di industri domestik.
“Pemerintah perlu menunjukkan komitmen yang kuat dalam mendukung pengembangan hidrogen hijau melalui kebijakan, regulasi, serta insentif yang mendukung iklim investasi. Ketergantungan pada bahan bakar fosil untuk produksi hidrogen akan meningkatkan emisi karbon dan berisiko bertentangan dengan target net zero emission (nol bersih emisi),” tambah Erina.