ISMO 2025: Tanpa ASI, Indonesia Emas 2045 Hanya Mimpi

- Implementasi strategi ASI kunci dekarbonisasi sektor transportasi
- 80% emisi dari sektor transportasi berasal dari sub-sektor transportasi jalan
- Strategi ASI berpotensi menurunkan emisi puncak pada 2030 sebesar 18%
Semarang, IDN Times - Masa depan Indonesia sebagai negara maju pada tahun 2045 dan pencapaian target emisi nol bersih (Net Zero Emission/NZE) pada tahun 2060 atau lebih awal, bergantung pada langkah berani pemerintah dalam mengembangkan strategi mobilitas rendah emisi dan berkelanjutan. Tanpa kebijakan yang terkoordinasi, Indonesia terancam menghadapi lonjakan emisi gas rumah kaca (GRK), peningkatan konsumsi dan impor bahan bakar minyak, serta memperparah ketimpangan sosial dalam akses mobilitas.
Menyikapi tantangan tersebut, Institute for Essential Services Reform (IESR), yang didukung ViriyaENB dan Drive Electric Campaign meluncurkan laporan Indonesia Sustainable Mobility Outlook (ISMO) 2025. Laporan tersebut bukan sekadar kajian biasa, melainkan sebuah peta jalan komprehensif yang mengusulkan strategi mobilitas berkelanjutan terpadu yang berlandaskan pada tiga pendekatan utama. Yakni Avoid, Shift, dan Improve (ASI).
Strategi ASI adalah solusi mobilitas berkelanjutan

Laporan ISMO 2025 menggarisbawahi pentingnya implementasi strategi ASI secara terpadu dan konsisten. Pendekatan itu dinilai mampu menekan emisi sektor transportasi secara signifikan, bahkan hingga 76 persen, dari 561 juta ton setara karbon dioksida menjadi 117 juta ton pada 2060.
Angka tersebut menunjukkan potensi luar biasa dalam upaya dekarbonisasi sektor transportasi nasional. Perlu dicatat, 24 persen emisi tersisa berasal dari transportasi barang yang belum menjadi fokus intervensi khusus dalam kajian itu, sebagai berikut:
Avoid (Mengurangi Kebutuhan Mobilitas)
Strategi yang berfokus pada pengembangan kota yang terintegrasi dengan transportasi publik atau dikenal sebagai Transit Oriented Development (TOD). Dengan TOD, jarak dan waktu tempuh dapat diperpendek, mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi.
Selain itu, manajemen perjalanan (Traffic Demand Management/TDM) melalui kombinasi kebijakan hari bebas kendaraan, sistem ganjil-genap, congestion pricing, dan kebijakan kerja dari rumah (WFH) juga menjadi bagian penting dari pendekatan ini. TDM bertujuan untuk mengurangi volume lalu lintas dan mendorong masyarakat beralih ke moda transportasi yang lebih efisien.
Shift (Mengalihkan ke Moda Transportasi Rendah Emisi)
Pendekatan yang menekankan pada perluasan dan peningkatan layanan transportasi publik. Peningkatan pangsa transportasi umum hingga 40 persen diproyeksikan berkontribusi paling besar dalam pengurangan emisi, dengan potensi mencapai 101 juta ton. Contoh konkretnya adalah mendorong perluasan dan peningkatan layanan bus raya terpadu seperti TransJakarta.
Upaya tersebut diperkuat melalui skema pembelian layanan Buy The Service (BTS) yang menjamin standar layanan minimum dan tarif terjangkau, yang sejauh ini telah menunjukkan hasil positif. IESR juga menekankan perlunya perluasan infrastruktur transportasi di luar Pulau Jawa untuk mengurangi ketimpangan akses, misalnya dengan memperluas jaringan kereta dan bus raya terpadu di kota-kota lain.
Improve (Meningkatkan Teknologi dan Efisiensi)
Strategi tersebut berfokus pada adopsi teknologi yang lebih bersih dan efisien. Adopsi kendaraan listrik menjadi salah satu pilar utama, dengan proyeksi penurunan emisi hingga 210 juta ton pada tahun 2060 jika 66 juta mobil dan 143 juta motor listrik berhasil diadopsi.
Untuk mencapai target itu, IESR merekomendasikan pemberian insentif fiskal dan nonfiskal, serta kepastian kebijakan jangka panjang. Diversifikasi pasar dan produsen kendaraan listrik juga penting untuk meningkatkan persaingan dan menurunkan harga.
Selain itu, peningkatan standar bahan bakar, seperti adopsi standar EURO IV, perlu dilakukan untuk menekan emisi dari kendaraan konvensional.
2. Dekarbonisasi menjadi sebuah keharusan

Chief Executive Officer (CEO) IESR, Fabby Tumiwa menyatakan pentingnya implementasi pendekatan ASI secara konsisten dan bersamaan. Ia menjelaskan pada tahun 2024, emisi dari sektor transportasi menyumbang 202 juta ton setara karbon dioksida, atau sekitar 25 persen dari total emisi sektor energi nasional.
Tanpa upaya serius, emisi tersebut bisa meningkat hampir tiga kali lipat pada tahun 2060.
Fabby Tumiwa ikut menyoroti konsekuensi serius jika dekarbonisasi sektor transportasi tidak segera diatasi.
"Dari hasil pemodelan kami, pada tahun 2050 jarak tempuh per kapita diperkirakan melonjak hingga dua kali lipat. Tanpa strategi dekarbonisasi sektor transportasi, lonjakan ini akan memperburuk kemacetan, kenaikan impor bahan bakar minyak, dan polusi udara yang memperparah krisis kesehatan dan beban fiskal," katanya.
Lebih lanjut, Fabby memperingatkan, jika tidak segera diatasi, cita-cita Presiden Prabowo untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen di akhir 2029 dan impian Indonesia Emas 2045 bisa terancam. Hal ini disebabkan oleh biaya ekonomi yang semakin besar dari sistem transportasi saat ini.
Oleh karena itu, dekarbonisasi sektor transportasi menjadi sangat mendesak untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan.
Dominasi Transportasi Jalan dan Tantangan Perubahan Perilaku

Laporan ISMO 2025 ikut mengidentifikasi bahwa 80 persen emisi dari sektor transportasi berasal dari sub-sektor transportasi jalan. Kondisi tersebut dipicu oleh tingginya mobilitas dengan mobil penumpang pribadi, angkutan barang, dan sepeda motor.
Dampaknya, emisi dari transportasi jalan didominasi oleh mobil (35 persen), diikuti angkutan barang (30 persen), sepeda motor (28 persen), dan bus (6 persen). Data itu menunjukkan bahwa fokus utama dekarbonisasi harus diarahkan pada sektor transportasi darat.
Analis Kebijakan Lingkungan IESR, Ilham R F Surya menyoroti preferensi masyarakat terhadap kendaraan pribadi. Berdasarkan survei Badan Pusat Statistik (BPS), pengguna jalan pada tahun 2023, mayoritas pengguna motor memilih moda kendaraan tersebut karena dianggap lebih cepat dan andal. Sementara 42 persen pengguna mobil memilih moda tersebut karena mementingkan kenyamanan.
Studi lain juga menunjukkan, ketika penghasilan seseorang meningkat di atas 4 juta rupiah per bulan, penggunaan sepeda motor dan transportasi umum justru menurun, sedangkan penggunaan mobil pribadi meningkat. Situasi itu menjadi tantangan besar dalam upaya mengalihkan masyarakat ke transportasi umum.
“Di kota-kota besar seperti Bandung, Jakarta, dan Yogyakarta, transportasi umum masih belum menjadi pilihan yang menarik. Para komuter atau mereka yang rutin bepergian ke tempat kerja memandang keterbatasan akses, waktu tempuh yang tidak menentu, dan keterlambatan menjadi faktor yang membuat mereka enggan menggunakan kendaraan umum," ucap Ilham.
Koordinator Riset Manajemen Permintaan Energi IESR, Faris Adnan Padhilah menyebutkan, implementasi pendekatan dan strategi ASI secara bersamaan akan memberikan dampak positif yang signifikan. Dampak tersebut meliputi pengurangan kendaraan pribadi, pendorong penggunaan transportasi publik, penekanan konsumsi bahan bakar fosil, dan percepatan adopsi teknologi rendah emisi.
"Strategi ini berpotensi menurunkan emisi puncak pada 2030 sebesar 18 persen, dari 201 juta ton ke 164 juta ton karbon dioksida. Penerapannya yang konsisten dapat mempercepat pencapaian NZE di sektor transportasi pada 2060 atau lebih cepat," pungkas Faris.