PT Timah Industri di kawasan industri Cilegon, Banten. (Dok. Tangkapan Layar/ IDN Times)
Keberadaan PLTS atap di PT Timah Industri lebih dari sekadar mendukung tujuan NZE karena ikut membawa dampak ekonomi untuk mereka. Pertama, dari sisi efisiensi energi. Dengan memanfaatkan energi surya, PT Timah Tbk dapat mengurangi biaya listrik yang selama ini menjadi salah satu komponen terbesar dalam operasional pabrik.
Dari kapasitas energi bersih yang dihasilkan PLTS atap sekitar 400 MWh per tahun, dapat memangkas biaya listrik industri hingga sekitar Rp 445,9 juta per tahun. Angka itu dihitung berdasarkan asumsi jika seluruh energi digunakan langsung untuk kebutuhan pabrik pada siang hari, mengacu tarif listrik industri golongan I-3 (Tegangan Menengah (TM), di atas 200 kVA) pada kuartal III 2025 sebesar Rp1.114,74 per kWh.
Selain menghemat biaya, PLTS atap tersebut juga berkontribusi menurunkan jejak karbon operasional PT Timah Industri.
Dampak yang kedua dari sisi rantai pasok. PLTS atap mendorong keterlibatan penyedia jasa dan manufaktur dalam negeri, yang sejalan dengan kewajiban soal Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Meski modul surya yang dipakai masih impor, pekerjaan pembangunan (EPC), racking, kabel, hingga operasi dan pemeliharaan (O&M) banyak melibatkan penyedia jasa lokal.
Dengan kata lain, pembangunan energi bersih tidak semata-mata mengurangi emisi, tetapi juga menciptakan peluang kerja dan menggerakkan ekonomi di sektor energi hijau.
Ketiga, PLTS atap meningkatkan reputasi dan daya saing global. Sebagai komoditas strategis di pasar internasional, industri timah makin dituntut untuk menghasilkan produk yang ramah lingkungan. Contohnya, London Metal Exchange (LME), sudah mewajibkan pemasok logam mematuhi standar responsible sourcing yang sesuai dengan aspek ESG.
Penerapan praktik ramah lingkungan tersebut menjadi nilai tambah bagi PT Timah Tbk. Hal tersebut memperkuat citra positif di mata investor dan pembeli global yang kian memperhatikan aspek keberlanjutan dalam rantai pasok mineral. Kondisi itu mempermudah perusahaan dalam memenuhi standar audit internasional dan menjaga daya saing di pasar global.
"PLTS captive atau PLTS yang digunakan untuk sektor industri menjadi faktor untuk meningkatkan daya saing industri Indonesia di pasar global. Dilihat dari perkembangannya, wilayah usaha (wilus) telah meningkat tiga kali lipat sejak 2017 sehingga memberikan peluang besar untuk pemasangan PLTS captive," kata Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan Institute for Essential Services Reform (IESR), Marlistya Citraningrum.
Meski optimistis, implementasi PLTS atap di Indonesia masih menghadapi sejumlah pekerjaan rumah (PR). Salah satunya terkait regulasi kuota pemanfaatan PLTS atap yang diatur melalui Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 2 Tahun 2024. Kebijakan tersebut mengatur kuota pengembangan PLTS atap per wilayah atau klaster demi menjaga stabilitas jaringan listrik.
Bagi industri seperti PT Timah Tbk, regulasi tersebut bisa menjadi tantangan karena berpotensi membatasi pemanfaatan energi surya dalam skala besar. Di bagian lain, kebijakan itu justru mendorong perusahaan untuk bisa lebih kreatif berinovasi dalam mengelola energi, termasuk melalui kombinasi dengan sumber energi lain atau dalam strategi dekarbonisasi.
"Energi surya adalah kunci transisi energi bersih. Dengan potensi lebih dari 7 terraWatt (TW), Indonesia mempunyai peluang besar untuk melompat ke masa depan yang lebih hijau," aku Marlistya.
Sepak terjang PT Timah Tbk membuktikan jika transisi energi bukan lagi pilihan, melainkan sebuah kebutuhan. Dari Cilegon, perusahaan yang dipimpin Restu Widiyantoro itu memberikan pesan jelas bahwa industri pertambangan bisa ikut menambang cahaya matahari, demi masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan.
Infografis Komitmen PT Timah Tbk dalam inovasi dan keberlanjutan. (IDN Times/Dhana Kencana)