Senja mulai meredup di cakrawala Ibu Kota Jakarta, menelan hiruk-pikuk kawasan Sudirman, Jumat (21/2/2025). Di tengah keramaian kantor yang perlahan memudar, langkah kaki Nanik, seorang profesional muda berusia 32 tahun, terasa berat. Bukan karena lelah bekerja, melainkan beban pikiran yang tidak kunjung reda.
Hasil pemeriksaan kesehatannya (medical check-up) baru saja keluar: kolesterolnya tinggi, tekanan darah naik, dan tingkat stresnya yang memuncak. Di sisi lain, tabungan minim membuat pikirannya makin cemas.
Perempuan bernama lengkap Nanik Wijaya itu merupakan potret nyata dari jutaan anak muda Indonesia yang berada dalam dilema besar zaman ini: mengejar kesuksesan finansial sambil mengabaikan kesehatan, atau sebaliknya. Tapi benarkah keduanya tidak bisa berjalan beriringan? Apakah generasi muda harus memilih salah satu?
Ya, masalah kesehatan pada anak muda bukan lagi mitos. Analisis Riskesdas 2018 oleh Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat (Pusinfokesmas) FKMUI terhadap 28.007 responden berusia 15–64 tahun mengungkap fakta mencengangkan: 61,6 persen mengalami dislipidemia—gangguan kadar lipid dalam tubuh yang bisa memicu penyakit kronis.
Masih dari laporan itu, Lebih dari separuh penduduk usia di atas 15 tahun atau sekitar 54,4 persen, memiliki kadar kolesterol abnormal, dan wanita berisiko lebih tinggi dibanding pria. Masalah kolesterol tinggi (dengan total di atas 200 mg/dL) ditemukan pada 28,8 persen populasi, terutama di kawasan perkotaan.
Kondisi tersebut mengancam produktivitas dan kualitas hidup dalam jangka panjang. Sayangnya, banyak anak muda yang merasa terlalu dini untuk memikirkan risiko kesehatan. Kesadaran mereka tidak selalu diiringi tindakan, hingga penyesalan datang ketika semuanya sudah terlambat.
Di bagian lain, tantangan finansial juga menjerat. Meski indeks literasi keuangan nasional meningkat menjadi 66,46 persen berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) 2025, gaya hidup konsumtif dan impulsif masih mendominasi perilaku generasi muda.
Fenomena You Only Live Once (YOLO) dan Fear of Missing Out (FOMO) mendorong mereka mengambil keputusan finansial jangka pendek demi mengejar gaya hidup. Keputusan itu diperparah oleh godaan utang instan seperti layanan buy now pay later (BNPL) dan pinjaman online (pinjol) yang tampak praktis namun berisiko tinggi.
"Anak muda ini FOMO. Kalau gak ikut (tren atau gaya hidup), khawatir dan takut dibilang ketinggalan zaman. Paling gawat (kalau) belanjanya pakai uang utangan (pay later atau pinjol), bukan uang sendiri," kata Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen (PEPK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Friderica Widyasari Dewi, dalam acara Literasi Keuangan Indonesia Terdepan (Like It), yang dilansir dari YouTube OJK, Senin (16/6/2025).
Kiki, sapaan akrab Friderica, juga mencatat bahwa sebagian besar pengguna layanan pay later didominasi oleh anak muda, dengan rentang usia rata-rata 26–35 tahun. Alhasil, kemudahan akses pinjaman online dan pay later memang memikat, tapi juga menjerat. Alih-alih membangun aset, banyak anak muda justru menumpuk utang konsumtif yang akhirnya mengganggu kestabilan mental dan emosional mereka.