Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Nasabah BPR Jepara Artha  mengurus pembayaran klaim simpanan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) di Jepara, Jawa Tengah, Rabu (5/6/2024). (IDN Times/Dhana Kencana)
Nasabah BPR Jepara Artha mengurus pembayaran klaim simpanan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) di Jepara, Jawa Tengah, Rabu (5/6/2024). (IDN Times/Dhana Kencana)

Intinya sih...

  • NPL di Jateng tembus 5,5%, melampaui batas ambang 5% yang ditetapkan, disebabkan oleh pertumbuhan kredit yang belum sesuai target dan dampak COVID-19.

  • BPR di Jateng perlu perhatian khusus karena NPL jauh di atas rata-rata nasional, sekitar 30 BPR belum memenuhi persyaratan modal inti minimum.

  • OJK Jateng telah menyiapkan strategi untuk membalikkan tren kenaikan NPL dan memacu fungsi intermediasi perbankan, serta memberlakukan perlakuan khusus bagi debitur terdampak bencana alam.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Semarang, IDN Times – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menyoroti tingginya rasio kredit bermasalah atau Non-Performing Loan (NPL) di wilayah tersebut sebagai pekerjaan rumah (PR) bersama. Kondisi itu diperburuk oleh belum optimalnya pemulihan ekonomi pascapandemik COVID-19 dan pertumbuhan penyaluran kredit yang belum sesuai target.

1. Kondisi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) mengkhawatirkan

Kepala Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Provinsi Jawa Tengah, Hidayat Prabowo. (IDN Times/Dhana Kencana)

Kepala Kantor OJK Provinsi Jawa Tengah, Hidayat Prabowo, mengonfirmasi, NPL di wilayahnya saat ini berada di atas 5,5 persen, melampaui batas ambang (threshold) yang ditetapkan sebesar 5 persen. Angka itu menunjukkan peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya yang berada sekitar 5 persen.

“Kita lihat dalam dua tahun terakhir terjadi peningkatan NPL. Artinya kualitas kredit itu menurun. Satu, dampak dari COVID-19 yang belum puluh. Kemudian yang kedua, NPL itu besar juga karena pertumbuhan kreditnya yang belum sesuai target,” katanya kepada IDN Times, Jumat (5/12/2025).

Ia mengakui jika pertumbuhan kredit di Jateng dan DIY positif. Meski demikian, situasi itu belum cukup kuat untuk menekan rasio NPL ke level yang diharapkan. Faktor lainnya adalah kondisi sektor riil yang belum sepenuhnya siap menyerap pembiayaan dari perbankan.

“Jadi kalaupun dana tersedia, perusahaan keuangan juga punya kapasitas untuk menyalurkan, tapi ternyata di sektor riilnya tidak siap. Ini tentu menjadi tugas kita bersama untuk memperbaikinya,” ungkap Hidayat.

2. Kondisi BPR perlu perhatian khusus

Nasabah BPR Jepara Artha mengurus pembayaran klaim simpanan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) di Jepara, Jawa Tengah, Rabu (5/6/2024). (IDN Times/Dhana Kencana)

Sorotan khusus juga diberikan OJK terhadap kinerja Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Hidayat menyatakan, NPL pada sektor BPR di wilayahnya jauh di atas rata-rata nasional.

“BPR memang jadi PR bersama, membutuhkan perhatian khusus karena nilai NPL yang tinggi. Nasional 12 persen, kita di atas itu,” tuturnya.

Untuk diketahui, wilayah kerja OJK Jateng dan DIY mengawasi sekitar 320 BPR. Jumlah itu merupakan yang terbanyak se-Indonesia.

Dari segi permodalan, Hidayat menyebutkan, secara umum BPR-BPR di wilayah Jateng DIY sudah memenuhi ketentuan modal inti minimum. Namun, sekitar 30 BPR yang belum memenuhi persyaratan tersebut dengan batas waktu akhir tahun 2025.

Ia menjelaskan, beberapa BPR yang belum memenuhi modal inti minimum sudah dalam proses penyelesaian di OJK.

"Kalau prosesnya itu sudah dalam proses yang ada di OJK itu sudah bisa diterima. Jadi nanti tinggal tunggu realisasinya," katanya.

Adapun, saat ini terdapat satu hingga dua BPR yang berada dalam status penyehatan. Status tersebut diberikan berdasarkan tiga kriteria utama: kecukupan permodalan, cash ratio (likuiditas), dan tingkat kesehatan bank.

"Kriteria untuk status pengawasan bank itu kan ada tiga ya, secara garis besar. Satu terkait dengan kecukupan permodalan, yang kedua terkait dengan cash ratio ini bicara likuiditas. Dan yang ketiga terkait dengan tingkat kesehatan," jelas Hidayat.

3. Strategi 2026 dan relaksasi kebijakan

Pedagang (kiri) melayani warga yang berbelanja daging ayam ras di Pasar Johar, Semarang, Jawa Tengah. (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)

Menyambut tahun 2026, OJK Jateng telah menyiapkan strategi untuk membalikkan tren kenaikan NPL dan memacu fungsi intermediasi perbankan. Meskipun Loan to Deposit Ratio (LDR) perbankan di Jawa Tengah sudah berada di level yang cukup baik, yakni sekitar 80--90 persen, kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi regional masih perlu ditingkatkan.

Hidayat juga menyebutkan, program restrukturisasi kredit atau relaksasi dampak COVID-19 secara umum sudah berakhir pada 2024. Meski demikian, OJK tetap memberlakukan perlakuan khusus (special treatment) bagi debitur yang terdampak bencana alam, seperti banjir yang melanda Cilacap dan Banjarnegara beberapa waktu lalu.

"Untuk daerah bencana, kami sedang memproses langkah penanganannya. Sudah ada laporan mengenai debitur yang terdampak di Cilacap dan Banjarnegara. Kami sedang memikirkan langkah terbaik sesuai kewenangan OJK," paparnya.

Sebagai upaya mendorong penyaluran kredit ke sektor produktif, OJK juga sudah menerbitkan POJK Nomor 19 Tahun 2025. Aturan tersebut memberi kemudahan penyaluran kredit bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), dengan syarat perbankan harus memasukkan strategi penyaluran tersebut ke dalam Rencana Bisnis Bank (RBB).

Kebijakan tersebut diharapkan dapat mendorong pertumbuhan kredit sekaligus mendukung sektor UMKM sebagai tulang punggung ekonomi di Jateng dan DIY.

Editorial Team