Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
AI (unsplash.com/Solen Feyissa)

Intinya sih...

  • 61 persen CEO Indonesia aktif adopsi teknologi AI

  • ROI dari inisiatif AI rendah, keterbatasan data internal jadi tantangan

  • Keterampilan SDM, otomatisasi, dan kepercayaan konsumen menjadi fokus utama

Semarang, IDN TImes - Di tengah lanskap bisnis yang terus berubah cepat akibat disrupsi teknologi, para CEO di Indonesia menunjukkan komitmen tinggi untuk memperluas penerapan kecerdasan buatan (AI) di organisasi mereka. Temuan itu terungkap dalam laporan IBM CEO Study 2025 yang dirilis oleh IBM Institute for Business Value, yang merupakan hasil survei terhadap 2.000 CEO secara global, termasuk dari Indonesia.

1. AI menjadi prioritas meski ROI minim

ilustrasi ROI pengembangan AI (Pexels.com/Ivan Samkov)

Survei tersebut menemukan, mayoritas CEO di Indonesia tidak lagi memandang AI hanya sebagai eksperimen, melainkan sebagai game changer untuk mendorong produktivitas dan efisiensi bisnis. Bahkan, mereka memperkirakan investasi di bidang AI akan tumbuh lebih dari dua kali lipat dalam dua tahun ke depan.

“Perusahaan-perusahaan di Indonesia secara cermat telah mengikuti tren dan inovasi AI sambil tetap menyeimbangkan kebutuhan para pemangku kepentingan,” kata Managing Partner IBM Consulting Indonesia, Juvanus Tjandra dilansir keterangan resminya, Senin (14/7/2025).

Ia menambahkan, “Kini masa untuk bereksperimen telah usai. Organisasi memiliki kesempatan untuk berinvestasi serius di AI guna meningkatkan keunggulan kompetitif.”

Hasil survei menunjukkan, 61 persen CEO Indonesia sedang aktif mengadopsi teknologi AI, dan bersiap untuk mengimplementasikannya secara lebih luas. Namun di sisi lain, hanya 27 persen dari inisiatif AI yang berjalan berhasil mencapai return on investment (ROI) yang diharapkan, yang mana angka itu bahkan tercatat sebagai yang tertinggi di Asia Tenggara.

Fakta tersebut menunjukkan bahwa, meskipun AI telah banyak digunakan, organisasi masih mencari cara terbaik untuk memaksimalkan dampaknya. Salah satu tantangan utama adalah kesiapan organisasi dalam mengelola data internal, yang menjadi komponen vital dalam keberhasilan teknologi generative AI (GenAI).

2. Keterampilan SDM dan otomatisasi menjadi sorotan

Ilustrasi otomatisasi mesin industri (Pexels.com/cottonbro studio

Sebanyak 67 persen CEO Indonesia menyebut, data internal merupakan kunci dalam memaksimteralkan manfaat AI. Sedangkan 77 persen lainnya menganggap bahwa arsitektur data yang terintegrasi di seluruh perusahaan sangat penting untuk mendukung kolaborasi lintas fungsi.

Dalam konteks transformasi digital, kesenjangan keterampilan tenaga kerja menjadi tantangan signifikan. Sekitar 35 persen CEO Indonesia yang disurvei percaya, dalam waktu tiga tahun ke depan, tenaga kerja perlu pelatihan ulang atau peningkatan keterampilan agar tetap relevan di era AI.

Tidak hanya itu, sebanyak 67 persen responden mengatakan bahwa organisasi mereka akan mengandalkan otomatisasi untuk mengatasi kekurangan keterampilan, sekaligus mempercepat proses operasional.

“Pemanfaatan AI yang didukung data internal perusahaan, serta peningkatan keterampilan talenta yang ada saat ini dapat menjadi keunggulan kompetitif yang sulit ditiru,” ucap Juvanus.

Hal itu juga sejalan dengan temuan global bahwa 54 persen CEO kini merekrut posisi baru yang bahkan belum pernah ada satu tahun yang lalu, khusus untuk mendukung transformasi AI.

3. Kepercayaan konsumen lebih penting dari produk

ilustrasi konsumen (pexels.com/Helena Lopes)

Di tengah maraknya inovasi fitur dan layanan digital, survei juga mengungkap hal menarik. Yakni, sebanyak 70 persen CEO Indonesia menyatakan, jika menjaga kepercayaan pelanggan lebih penting dibanding sekadar menambahkan fitur baru pada produk atau layanan.

Kepercayaan pelanggan menjadi fondasi bisnis yang tidak tergantikan, terutama ketika organisasi memasuki ranah AI yang sering kali memicu kekhawatiran soal privasi data, etika, dan keamanan.

Laporan IBM itu juga menyoroti tekanan besar yang dirasakan para pemimpin bisnis. Sebanyak 73 persen CEO Indonesia mengaku terpaksa berinvestasi pada teknologi baru, termasuk AI, meskipun belum sepenuhnya memahami dampaknya bagi organisasi.

Mereka juga menilai fleksibilitas anggaran menjadi penting agar perusahaan bisa memanfaatkan peluang digital dengan lebih sigap dan adaptif. Ini menandakan bahwa ruang pengambilan keputusan yang gesit dan strategis sangat dibutuhkan di era digitalisasi masif.

Editorial Team