Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IMG_3598.jpeg
Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret (FT UNS) Surakarta, Wahyudi Sutopo. (IDN Times/Dhana Kencana)

Intinya sih...

  • FT UNS aktif menghasilkan riset berorientasi pada SDGs

  • Riset-riset unggulan meliputi baterai litium, material green, dan biobriket

  • Kolaborasi dengan pemerintah daerah dan industri penting untuk implementasi riset

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Semarang, IDN Times – Perubahan iklim dan transisi menuju industri hijau menuntut peran semua pihak, termasuk perguruan tinggi ikut serta berkecimpung mengatasi persoalan tersebut. Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret (FT UNS) Surakarta menjadi salah satu institusi yang aktif menghasilkan riset-riset berorientasi pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs).

Dalam wawancara khusus IDN Times dengan Dekan FT UNS, Wahyudi Sutopo di Semarang, Kamis (18/9/2025), ia berbagi pandangan mengenai kontribusi riset kampus terhadap transformasi energi di Jawa Tengah, tantangan kolaborasi dengan industri, hingga pentingnya gotong royong untuk memperkuat ekosistem hijau.

Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo. IDNTimes/Larasati Rey

Persoalan iklim ini sudah jadi isu global. Bagaimana UNS meresponsnya?

Wahyudi Sutopo: Persoalan iklim memang sudah menjadi persoalan global. Kita juga punya komitmen bersama yang disebut Sustainable Development Goals (SDG's). Nah, di titik ini semuanya sudah bergerak, termasuk di perguruan tinggi. Kami di FT UNS sejak 5--10 tahun terakhir sudah mengorientasikan pembelajaran untuk mencetak Sumber Daya Manusia (SDM) unggul sekaligus menghasilkan inovasi berbasis SDG's.

Bisa disebutkan riset-riset apa yang sudah dikembangkan?

Wahyudi Sutopo: Ada beberapa riset unggulan. Misalnya, baterai litium dan energy storage untuk mendukung peralihan kendaraan konvensional ke kendaraan listrik. Di Teknik Kimia, ada riset mengolah minyak jelantah jadi bahan bakar. Di Teknik Sipil, ada material green yang kuat tapi ramah lingkungan. Bahkan, kami pernah membantu mengolah eceng gondok menjadi biobriket. Semua itu berorientasi menurunkan emisi karbon, berorientasi untuk menyelesaikan persoalan SDG's.

Seberapa jauh riset UNS diterapkan di Jawa Tengah?

Wahyudi Sutopo: Beberapa sudah. Misalnya biobriket dari eceng gondok dan diskusi serius tentang transisi energi transportasi umum. Kalau ingin menurunkan emisi, bus konvensional harus diganti dengan bus listrik. Tentu ini butuh infrastruktur charging, energi terbarukan, dan SDM. Nah, UNS siap dengan SDM itu, dari lulusan tujuh disiplin ilmu teknik hingga sekolah vokasi.

Mobil balap Pancawala karya Mahasiswa UNS. (IDN Times/Larasati Rey)

Bagaimana keterlibatan UNS dengan pemerintah daerah, khususnya Jawa Tengah?

Wahyudi Sutopo: Sejak Gubernur Jawa Tengah, Ahmad Luthfi dilantik, pada 17 Maret 2025 semua perguruan tinggi di Jateng langsung dikumpulkan dan diajak tanda tangan Nota Kesepahaman (MoU). Kemudian Pak Sekda (Sumarno) melakukan perjanjian kerja sama dengan para wakil rektor perguruan tinggi. Itu langkah yang pas. Tinggal ditindaklanjuti ke operasional. Misalnya, Dinas Perindustrian di kabupaten/kota bisa menjadi mitra melatih perusahaan menuju industri hijau (green industry). Green industry kan ada dua. Industrinya mendapatkan sertifikat industri hijau dan kawasannya mendapatkan indeks kesiapan hijau. Ini kan ada dua objek yang berbeda, yang satunya adalah entitas perusahaan, yang keduanya adalah pengelola atau kewilayahan.

Program Rengganis Pintar (Revitalisasi Green Industry sebagai Strategi Peningkatan Ekspor) dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jateng menurut saya tepat, tapi harus ada agen-agen di daerah yang paham. Karena persoalannya saat ini ada di mindset (pola pikir) yang perlu waktu dan harus tersedia di setiap wilayah itu orang-orang yang mengerti persoalan mengenai green industry. Oleh karena itu, dosen dan mahasiswa semua bisa dilibatkan, bisa Kuliah Kerja Nyata (KKN), kerja praktik, merdeka belajar, dan sebagainya.

Riset kampus sering berhenti di meja laboratorium karena masalah pendanaan. Bagaimana menyikapinya?

Wahyudi Sutopo: Ini sebetulnya pertanyaan yang sangat berat dijawab karena problemnya memang ada di situ. Ya, itu persoalan berat. Banyak riset belum match dengan kebutuhan industri. Kata kuncinya ada dua: trust (saling percaya) dan gotong royong. Kalau ada sikap saling percaya antara perguruan tinggi, industri, dan pemerintah, riset bisa berjalan. Kalau tidak, teknologi hanya berhenti di kampus. Kami di UNS mencoba menjadi “marketer teknologi”, mempertemukan hasil riset dengan industri.

Ilustrasi baterai lithium produksi UNS. (IDN Times/Larasati Rey)

Bisa diceritakan contoh riset yang sudah diimplementasikan?

Wahyudi Sutopo: Kami kembangkan pompa bertenaga surya di Wonogiri untuk mengangkat air. Ini dapat hibah dari Kementerian Riset, Teknologi dan Perguruan Tinggi (Kemenristekdikti). Kalau sukses, harus dijemput oleh industri supaya bisa diproduksi massal. Termasuk juga riset baterai litium, panel surya, dan energi hijau lain. UNS hanya bisa menyiapkan riset dan SDM, selebihnya butuh kolaborasi.

Siapa yang seharusnya menjadi “jembatan” atau bridging antara kampus, pemerintah, dan industri?

Wahyudi Sutopo: Sebenarnya semua bisa menjadi bridging. Media juga punya peran mempertemukan kebutuhan industri dengan riset kampus. Tapi yang paling tepat dan efektif kalau tertulis dalam di dalam dokumen resmi seperti RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang), RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah), renstra universitas, atau roadmap provinsi. Itu jadi pengikat agar kolaborasi tidak hanya wacana. Nah, bridging yang tepat, nanti pemerintah bisa berdiskusi soal bagaimana perencanaannya, kemudian juga bagaimana eksekusinya.

Apa pesan Anda untuk memperkuat ekosistem industri hijau di Indonesia?

Wahyudi Sutopo: Kuncinya adalah percaya dan gotong royong. Perguruan tinggi punya inovasi, pemerintah punya regulasi, industri punya modal, masyarakat punya kebutuhan. Kalau ego sektoral diturunkan, saya yakin inovasi hijau bisa diwujudkan. Ini jalan kita untuk masa depan yang lebih baik.

Editorial Team