Kisah Pemuda Desa Boyolali Sukses dengan Agroforestri Anggrek Merapi

Membuka lapangan kerja baru untuk pemuda setempat

Boyolali, IDN Times - Para pemuda Dukuh Gumuk, Desa Mriyan, Kecamatan Tamansari, Boyolali, Jawa Tengah berhasil mengembangkan agroforestri di wilayahnya. Berkat pengembangan itu, mereka tak berminat untuk merantau ke kota.

Agroforestri merupakan bentuk pengelolaan sumber daya yang memadukan kegiatan pengelolaan hutan atau pohon kayu-kayuan dengan penanaman komoditas atau tanaman jangka pendek, seperti tanaman pertanian.

1. Hasil pengembangan agroforestri

Kisah Pemuda Desa Boyolali Sukses dengan Agroforestri Anggrek MerapiHasil budidaya pemuda Desa Mijen, Boyolali. (Dok/Istimewa)

Ketua Kelompok Karya Muda Komunitas Petani Konservasi Dukuh Gumuk, Desa Mriyan, Kecamatan Tamansari, Boyolali, Joko Susanto mengatakan, keberhasilan pengembangan agroforestri di desanya ini setelah mendapat pendampingan dari Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan (LPTP) Karanganyar dan pabrik AQUA Klaten. Pasalnya, Dukuh Gumuk merupakan lokasi recharge area daerah penangkapan air awal pabrik AQUA di Klaten.

“Ada beberapa kegiatan kami yang mendapat pendampingan saat itu, salah satunya adalah konservasi anggrek Merapi, budidaya kopi dan tanaman asli merapi seperti pohon Dadap Duri, salah satu favorit makanan untuk satwa lutung Jawa atau lutung Merapi yang banyak menampung air,” ujarnya Selasa (14/8/2023).

Berkat pendampingam tersebut, para pemuda sekarang lebih memilih untuk tinggal di kampungnya sendiri dengan memberdayakan tanaman hortikultura yang bisa dijadikan penghasilan.

Baca Juga: Laboratorium Kultur Karanganyar, Jalan untuk Konservasi Anggrek Lawu

2. Kembangkan spesies anggrek

Kisah Pemuda Desa Boyolali Sukses dengan Agroforestri Anggrek Merapilinkshortener.id

Lebih lanjut, Joko menceritakan awal mula berdirinya Kelompok Karya Muda Dukuh Gumuk, Desa Mriyan, yang terdiri dari 11 pemuda desa pada tahun 2016 untuk mengonservasi anggrek spesies khususnya di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi yang hampir punah.

“Kami kasihan waktu itu melihat anggrek Merapi itu sudah hampir punah,” ungkapnya.

Dengan pendampingan dari LPTP dan AQUA Klaten, ia mengungkapkan saat ini sudah ada puluhan pohon anggrek Merapi yang dikembangkan oleh kelompok warga Mriyan, Boyolali. Anggrek tersebut terdiri dari 23 varian, salah satunya Vanda tricolor. Joko mengatakan jumlah varian anggrek Merapi seharusnya ada lebih dari 130 jenis.

Dia dan kawan-kawannya sedang merawat puluhan pohon anggrek di dalam sebuah green house berukuran 4x6 meter. Mereka merawat anggrek di tempat tersebut selama 1,5--2 tahun sebelum dilepasliarkan ke area Gunung Merapi.

Masyarakat juga bisa membeli anggrek-anggrek tersebut dari warga. Tapi untuk dikembalikan ke Taman Nasional Gunung Merapi dan tidak bisa dibawa pulang.

Tak hanya dirawat di green house, di lokasi konservasi tersebut juga ada laboratorium kultur jaringan untuk memperbanyak anggrek.

“Sebelas orang dari kami itu gak ada yang punya latar belakang pendidikan pertanian. Namun, dengan pendampingan yang diberikan LPTP dan AQUA Klaten, kami bisa melakukannya,” tukasnya.

3. Pengembangan tanaman kopi

Kisah Pemuda Desa Boyolali Sukses dengan Agroforestri Anggrek MerapiHasil produksi kopi Desa Mijen, Boyolali. (Dok/Istimewa)

Pendampingan yang dilakukan LPTP dan AQUA Klaten tidak sampai di situ. Pada tahun 2017, warga di Desa Mriyan ini juga dibimbing untuk mengembangkan budidaya tanaman kopi di lereng-lereng Merapi di luar kawasan Taman Nasional Gunung Merapi.

Selain untuk konservasi air dan mencegah longsornya tanah, menurutnya, dari tanaman kopi tersebut, bijinya bisa diolah sendiri dengan memberdayakan pemuda-pemuda yang tinggal di Desa Mriyan.

“Karenanya, Alhamdulillah pemuda di sini itu gak ada yang merantau, gak ada yang ke luar desa. Tetap masih konsisten dengan pekerjaannya sebagai tani, sebagai anak desa,” jelasnya.

Saat ini, para pemuda desa Mriyan ini bahkan sudah mendirikan Kedai Kopi Gumuk di desanya. Parli, salah satu barista dalam kedai Kopi Gumuk mengatakan dulu sebelum didampingi LPTP dan AQUA Klaten, kopi di desa Mriyan ini hanya dikonsumsi di rumah-rumah saja dan belum dikenal orang.

“Tapi, dengan adanya pendampingan dari AQUA Klaten, kopi kita sekarang bisa dikenal di daerah-daerah lain. Apalagi kalau setiap Sabtu dan Minggu itu biasanya para gowes pada mampir minum kopi di Kedai Kopi Gumuk ini. Kami juga diberi pelatihan untuk bisa menjadi barista yang baik. Dari pelatihan itu, kami sudah bisa roasting kopi sekarang,” katanya.

Hingga kini, kopi dari desa Mriyan ini sudah banyak dipesan dari daerah-daerah lainnya seperti Jakarta, Bandung, Jogja, dan Klaten.

Baca Juga: Kopi Owa, Buah Konservasi Berkelanjutan untuk Masa Depan Indonesia

Topik:

  • Dhana Kencana

Berita Terkini Lainnya