Gusti Moeng melihat batu segiempat di Jatisari, Mojolaban. IDNTimes/Larasati Rey
Tulisan Babad Giyanti tersebut juga menyebutkan dalam pertemuan di Jatisari, Susuhan PB III memberikan satu bilah keris yang bernama keris Ki Kopek, kepada pamannya Pangeran Mangkubumi (HB I Yogyakarta) di Jatisari.
Dalam tradisi Jawa, pemberian keris Ki Kopek tersebut dimaknai dalam perspektif budaya Jawa sebagai sebuah upaya harmonisasi kedua belah pihak. Istilah 'Kopek' dalam bahasa Jawa adalah susu (persusuan), diberi kopek artinya disusoni.
Yang memiliki makna Keraton Yogyakarta yang baru saja lahir itu adalah sebuah kerajaan yang mengibu kepada induknya yakni Surakarta Hadiningrat. Hubungan keduanyan bukan musuh/saingan, melainkan layaknya ibu dan anak yang harus saling mengasihi dan menghormati satu sama lain.
Lebih lanjut, Gusti Moeng mengatakan hal pokok lain yang disampaikan dalam pertemuan di Jatisari tersebut yakni pihak Keraton Surakarta Hadiningrat memberikan masing-masing sebagian dari wilayah Kabupaten Nayaka yang dimilikinya kepada Kasultanan Yogyakarta sebagai wulu pametu (sumber pendapatan kerajaan).
Dimana Keraton Surakarta memiliki wilayah Kabupaten Nayaka di bagian Kedu dan Bagelen. Masing-masing wilayah tersebut ialah Kabupaten Nayaka Tumbak Anyar, Siti Sewu, Bumija, dan Bumi. Adapun yang diberikan kepada Yogyakarta adalah Kabupaten Nayaka Bumija dan Tumbak Anyar saja.
Menurut Gusti Moeng, penelurusan tersebut nantinya bisa dijadikan untuk meluruskan sejarah yang selama ini banyak dibelokkan, sehingga membuat seolah-olah antara Keraton Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta tidak harmonis.
"Intinya jangan sampai apa yang sudah dilakukan leluhur kita terutama untuk Yogyakarta itu pendiri Kasultanan itu terus menuduh yang tidak baik terhadap Surakarta yang membuat rancu dan kabur sejarah ini. Jadi itu yang perlu diluruskan," jelas Gusti Moeng.