9 Konflik Agraria di Jateng Walhi: Pemerintah Mesti Akomodasi Rakyat

Walhi Jateng: belum ada penyelesaian kasus hingga sekarang

Semarang, IDN Times - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Tengah mencatat ada sembilan kasus atau konflik agraria sepanjang dua periode pemerintahan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Hingga sekarang semua konflik tersebut belum terselesaikan.

1. Konflik agraria selalu merugikan warga Jateng

9 Konflik Agraria di Jateng Walhi: Pemerintah Mesti Akomodasi RakyatIlustrasi Konflik. (IDN Times/Aditya Pratama)

Direktur Eksekutif Walhi Jateng, Fahmi Bastian mengatakan, konflik agraria menjadi sengketa dan melibatkan warga di Jawa Tengah termasuk banyak. Apalagi di provinsi ini terdapat 35 kabupaten dan kota.

"Kasus atau konflik tersebut terjadi sepanjang dua periode pemerintahan Gubernur Ganjar Pranowo. Adapun, sampai saat ini semua kasus belum terselesaikan," ungkapnya saat dihubungi IDN Times, Kamis (17/2/2022).

Dalam catatan Walhi Jateng terdapat 9 kasus atau konflik agraria di Jawa Tengah, yakni sebagai berikut.

Pertama konflik agraria di Kecamatan Gunem, Pegunungan Kendeng, Kabupaten Rembang. Kasus ini bermula pada tahun 2014, terjadi bentrok antara PT Semen Indonesia (Persero) dengan warga Kendeng terkait pembangunan pabrik semen di kawasan tersebut.

2. Ganjar tidak memenuhi janji menutup pabrik semen di Kendeng Rembang

9 Konflik Agraria di Jateng Walhi: Pemerintah Mesti Akomodasi RakyatANTARAJATENG/Zuhdiar Laeis

Terjadi ketegangan antar warga karena merasa terusik bahwasanya kawasan dan tempat tinggal serta pencaharian mereka terusik akan dijadikan penambangan dan pabrik semen. 

"Dalam konflik agraria ini ada keterlibatan kuat Pemerintah Provinsi Jawa Tengah sebagai pemberi izin. Kami pun mencatat dan ingat pada waktu itu Gubernur Jateng Ganjar Pranowo bilang kalau warga menang di pengadilan maka ia akan menutup pabrik semen. Nyatanya, tidak ditutup sampai sekarang padahal warga Kendeng sudah menang di Mahkamah Agung. Pabrik pun tetap beroperasi," katanya. 

Kemudian, ada konflik agraria di Urutsewu, Kabupaten Kebumen. Kasus ini sudah terjadi belasan tahun silam dan kembali memanas pada tahun 2019. Konflik ini yakni terkait lahan warga yang dibangun sarana latihan militer. Namun, warga mengklaim lahan tersebut merupakan tanah garapan dan dibuktikan melalui kepemilikan sertifikat hak milik yang dikeluarkan negara sejak 1963 hingga 2018.

Selanjutnya, tahun 2018 ada kasus warga Winong, Karangkandri dan Manganti dalam melawan PLTU Cilacap dan rencana pembangunan Kawasan Industri Terpadu (KIT) yang dapat berpotensi menggusur ruang hidup warga di sana. 

Baca Juga: Warga Wadas Siap Maafkan Ganjar Pranowo Asal Mau Mencabut IPL

3. Dua petani ditahan atas kasus perampasan tanah warga di Surokonto Kendal

9 Konflik Agraria di Jateng Walhi: Pemerintah Mesti Akomodasi RakyatPerkebunan pohon cengkih di Kec. Patean, Kendal (dok.pribadi/Siska Arifa)

Lalu, ada konflik agraria perampasan tanah warga di Surokonto Wetan, Kecamatan Pageruyung, Kabupaten Kendal sudah beberapa tahun silam. Kasus bermula saat ada dua petani bersama ratusan warga menggarap lahan terlantar HGU milik PT Sumurpitu sekitar 127 hektar sejak 1970. 

Kemudian, PT Sumurpitu menjual lahan ke PT Semen Indonesia pada 2014. Tak lama kemudian ada tukar guling lahan oleh Semen Indonesia ke Perhutani. Lahan garapan ratusan petani itu kemudian ditetapkan sebagai kawasan hutan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Ada dua petani yang menjadi korban dan masuk penjara lantaran menolak lahan pertanian yang digarap belasan tahun lalu diklaim sepihak oleh Perhutani. Alasan Perhutani lahan itu sebagai lokasi tukar guling kawasan hutan sebagai buntut pembangunan pabrik PT Semen Gresik di Rembang.

Tahun 2019 juga terjadi konflik warga Desa Jendi Wonogiri dengan PT Alexis Perdana Mineral terkait rencana penambangan emas di Bukit Randu Kuning. Bukit emas tersebut sudah puluhan tahun menjadi sumber penghidupan ribuan warga sekitar terutama warga Dusun Geritan dan Dusung Nglenggong yang biasa menambang emas secara tradisional. 

4. Penggusuran 97 rumah di Tambakrejo Semarang usik ruang hidup nelayan

9 Konflik Agraria di Jateng Walhi: Pemerintah Mesti Akomodasi RakyatIDN Times/Nugroho Adi Purwoko

Tahun 2019 kembali ada konflik agraria penggusuran 97 rumah di bantaran sungai Banjir Kanal Timur di Tambakrejo Kelurahan Tanjung Mas Semarang Utara. Kasus penggusuran kampung nelayan terkait proyek normalisasi banjir kanal timur (BKT) yang terintegrasi dengan proyek Kampung Bahari, Tol Tanggul Laut Semarang-Demak yang merupakan Paket Proyek Strategis Nasional (PSN).

Fahmi menjelaskan, konflik agraria di Tambakrejo ini menjadi kesalahan pemerintah. Ketika saat itu warga menempati wilayah bantaran sungai tapi mereka mempunyai KTP dan ada RT dan RW.

‘’Artinya, secara administrasi negara ada, walaupun secara kepemilikan tanah warga nggak ada. Kalau memang disitu (lahan Tambakrejo, red) tidak dikehendaki untuk ditempati mengapa diperbolehkan, diberikan administrasi sebagai warga dan masuk di kawasan kelurahan. Ini lucu sistem pemerintahan itu. Kemudian, saat terjadi pembongkaran dan penggusuran tempat tinggal warga di Tambakrejo oleh Satpol PP dan aparat itu atas perintah siapa?,’’ jelasnya.

Menurut Fahmi, secara ruang hidup warga Tambakrejo yang berprofesi nelayan, biasa hidup dekat dengan laut merasa terusik dengan kejadian tersebut. Sebab, mereka terusir dan harus pindah ke tempat baru yakni rusunawa, belum tentu bisa beradaptasi dengan kehidupan yang baru dan jika dipaksakan proses itu akan sangat lama.

5. Kriminalisasi warga Wadas Purworejo disayangkan

9 Konflik Agraria di Jateng Walhi: Pemerintah Mesti Akomodasi RakyatAnggota Polisi berjaga saat warga yang sempat ditahan tiba di halaman masjid Desa Wadas, Bener, Purworejo, Jawa Tengah, Rabu (9/2/2022) (ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah)

‘’Namun, bisa-bisanya Pemerintah Kota Semarang dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah menjadikan kasus Tambakrejo ini sebagai percontohan penyelesaian konflik agraria dan ramah HAM. Padahal belum pasti meskipun saat ini mereka sudah menempati rumah baru yang diberikan Pemkot Semarang,’’ katanya.

Selanjutnya, pada tahun 2020 terjadi sengketa lahan seluas 16 hektar di Dukuh Dayunan, Desa Pesaren, Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Kendal antara warga dengan PT Soekarli Nawaputra Plus yang ingin menanam Cengkeh di sana. Kasus tersebut sudah masuk ke ranah hukum. Hal itu telah merugikan warga yang selama ini menggarap lahan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.

Terakhir yang sedang ramai terjadi adalah konflik agraria di Desa Wadas Purworejo. Konflik warga dan pemerintah ini terkait rencana tambang batu andesit sebagai bahan dasar untuk pembangunan Bendungan Bener yang dikategorikan PSN.

‘’Yang disayangkan saat kasus ini memanas beberapa waktu lalu, kenapa harus ada kriminalisasi terhadap warga. Ribuan aparat masuk dengan bahasa mengamankan. Apakah harus dengan ribuan aparat seperti itu? Nggak mungkin juga ribuan polisi datang dari beberapa kabupaten sekelas kapolda dan gubernur tidak tahu,’’ kata Fahmi.

6. Pemerintah jangan jadi mediator yang mengamankan diri sendiri

9 Konflik Agraria di Jateng Walhi: Pemerintah Mesti Akomodasi RakyatGubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo (kiri) menyalami warga Desa Wadas, Bener, Purworejo. (Dok. Humas Pemprov Jateng)

Terkait konflik agraria yang terjadi di Jawa Tengah ini, Walhi Jateng sebenarnya sudah mengawal perubahan RTRW di Jawa Tengah sejak tahun 2018. Ada beberapa masalah yang ada di wilayah-wilayah industri. Namun, ketika sampai panja tetap saja ada berbagai kepentingan yang bermain.

‘’Seharusnya pemerintah sebagai pihak yang mempunyai legitimasi dan dipilih rakyat perlu mengakomodasi kepentingan masyarakat. Tidak hanya mengakomodasi kepentingan oligarki atau industri. Yang menjadi bahaya dalam setiap konflik agraria ini adalah pemodal atau pasar, sebab pemerintah jabatannya setara dan rakyat berada dibawahnya. Maka, pemerintah yang memilih rakyat harus kembali ke rakyat bukan menjadi mediator penengah yang mengamankan diri sendiri,’’ katanya.

Konflik agraria ini, lanjut Fahmi, berkaitan dengan ruang hidup rakyat. Ekonomi mereka turun karena ruang hidup mereka direnggut. Ruang-ruang yang menjadi kuasa dari masyarakat hilang karena ada ekspansi industri atau pembangunan infrastruktur. Yang katanya untuk peningkatan ekonomi justru membunuh perekonomian rakyat.

Baca Juga: Warga Wadas ke Ganjar, 'Kami Takut Pak, Kasihan Anak Saya Masih Kecil'

Topik:

  • Bandot Arywono

Berita Terkini Lainnya