Budi Laksono Putus Rantai Kematian karena Warga Tidak Punya Jamban 

Balatrine Katajaga gerakan warga punya jamban di rumah

Semarang, IDN Times - Ikhtiar menanamkan kebiasaan perilaku hidup bersih dan sehat pada masyarakat terus dilakukan oleh pelayan kesehatan. Salah satunya oleh Dr dokter Budi Laksono MHSc yang berupaya memutus rantai kematian masyarakat karena penyakit saluran pencernaan melalui gerakan jambanisasi.

1. Gerakan jambanisasi dari kasus penyakit saluran pencernaan

Budi Laksono Putus Rantai Kematian karena Warga Tidak Punya Jamban ilustrasi diare (freepik.com/@bignai)

Dorongan ini berawal ketika Budi bertugas sebagai dokter di Puskesmas Kedungwuni Timur, Kecamatan Kedungwuni, Kabupaten Pekalongan. Saat itu banyak pasien yang menderita sakit diare, tipes, disentri, gangguan saluran usus dan hepatitis. Tak sedikit karena tidak teratasi, pasien akhirnya meninggal dunia karena penyakit tersebut. Penyakit saluran pencernaan yang menjangkit 100 ribu jiwa per tahun menjadi fokus dirinya melakukan kampanye jambanisasi.

‘’Setelah saya mencari tahu penyebab maraknya penyakit menular yang menyerang saluran pencernaan ini, ternyata mereka tidak punya jamban di rumah. Untuk di wilayah puskesmas tempat saya bekerja saja, dari jumlah total keluarga di sana 80 persen tidak punya WC di rumah. Saat itu pun pada tahun 2000, ada 37 juta keluarga di Indonesia yang tidak punya WC di rumahnya,’’ ungkapnya kepada IDN Times, Jumat (3/6/2023).

Dari sejak itu, Epidemiolog Universitas Diponegoro (Undip) Semarang ini mengkampanyekan dan meneliti lebih lanjut tentang jambanisasi. Melalui penelitian berjudul ‘’Gerakan Jamban dengan Metode Balatrine Katajaga’’ ia mengunjungi daerah dan desa di seluruh Indonesia. Dari penulusuran itu, ternyata hanya 9,1 persen keluarga yang memiliki jamban, mereka beralasan faktor ekonomi, tidak memiliki lahan dan biaya yang mahal.

Baca Juga: Dokter Relawan Budi Laksono, Biasa Ajak Keluarga Terjun ke Lokasi Bencana

2. Banyak alasan warga tidak punya jamban

Budi Laksono Putus Rantai Kematian karena Warga Tidak Punya Jamban Dr dokter Budi Laksono, relawan kemanusiaan dari Kota Semarang. (Dok. Dr Budi Laksono)

‘’Dari situlah saya melihat kok seperti ini. Ternyata ada banyak faktor seperti ekonomi, budaya, tidak ada pengetahuan, dan tidak ada peraturan tentang jambanisasi. Sehingga, orang tidak punya WC atau orang buang air besar di sungai itu tidak ada aturannya,’’ pria berusia 60 tahun itu.

Kondisi itu berbeda dengan di Singapura, apabila warganya tidak memiliki jamban dan buang air besar (BAB) sembarangan bisa dihukum tiga bulan penjara. Maka, Budi pun melakukan kajian dengan konsep kesehatan dan agama.

‘’Kami kenalkan ke masyarakat bahwa wajib mempunyai WC di rumah itu bukan masalah kesehatan saja, tetapi juga agama karena itu sunah rasul. Kita motivasi agar mereka punya jamban. Namun, muncul masalah lain, yakni orang tidak punya jamban karena tidak punya duit,’’ ujar dosen di Magister Epidemiologi Undip itu.

3. Jambanisasi dengan metode Balatrine Katajaga

Budi Laksono Putus Rantai Kematian karena Warga Tidak Punya Jamban Jamban cemerlang bukti warga Banjarmasin masih suka buang air besar sembarangan.

Akhirnya, dalam penelitian ‘’Gerakan Jamban dengan Metode Balatrine Katajaga’’ itu Budi menggagas konsep balatrine yang artinya, jamban yang murah, mudah, bisa dipakai dengan air atau tanpa air, cepat dan sustainable. Sedangkan, katajaga singkatan dari kampung total jaga keluarga. Pembangunan jamban ini harus serentak dilakukan satu kampung atau desa.

Dalam implementasi Balatrine Katajaga, yang pertama dilakukan adalah mendata berapa keluarga di desa itu yang tidak punya jamban. Kemudian, Budi mengumpulkan mereka dan memberikan motivasi. Lalu, ia memberikan stimulan jamban generik, yakni memberikan satu buah kloset, satu sak semen, pasir per keluarga untuk membangun jamban.

‘’Semua semangat dan bergerak. Tidak hanya satu dua orang tapi semua 200 keluarga. Ini gerakan sporadis jika ada warga tidak punya jamban kami motivasi untuk membangun jamban. Dengan cara itulah siklus penyakit menular tipes, diare, disentri dan lainnya akan terputus. Kalau satu kampung sudah punya jamban dan hanya satu orang belum punya itu bisa mencemari satu kampung. Jadi, memang harus keseluruhan harus punya jamban untuk memutus penyakit,’’ jelas Budi yang kerap disebut sebagai Dokter Jamban ini.

4. Bangun jamban dengan dana Rp700 ribu

Budi Laksono Putus Rantai Kematian karena Warga Tidak Punya Jamban ilustrasi toilet, jamban, tinja, dan kotoran (pixabay.com/stevedimatteo)

Penelitian tersebut merupakan tesis yang digarap saat belajar di Australia. Kemudian, setelah pulang ia membawa beasiswa dari Australia untuk membangun jamban di Indonesia. Hingga saat ini ia sudah melakukan di 200 kelurahan di Indonesia dan sudah 10 jurnal internasional yang ditulis terkait jambanisasi.

Sementara, gerakan jambanisasi ini terakhir telah dievaluasi oleh University of Canbera, Australia pada bulan Mei lalu. Hasilnya program jambanisasi yang telah dibangun bersama masyarakat dengan dana Rp700 ribu per keluarga telah berhasil, salah satunya di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah.

‘’Alhamdulillah hampir 100 persen merespons bagus, artinya partisipasi masyarakat bagus. Bulan pertama 100 persen jamban telah digunakan masyarakat. Jamban ini kita bangun empat tahun lalu. Evaluasi setelah empat tahun dari jamban generik yang dibangun, kini warga sudah meng-upgrade. Jamban diperbaiki, lantainya dikeramik dan hampir semua masih dipakai,’’ jelas Budi.

5. Pemerintah punya tanggung jawab agar warga punya jamban

Budi Laksono Putus Rantai Kematian karena Warga Tidak Punya Jamban Potret toilet transparan di kawasan BNI City, Dukuh Atas, Jakarta Pusat. (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Akan tetapi, lanjut dia, ada dua persen tidak dipakai karena rumahnya kosong. Kemudian, ada satu orang tidak memakai karena takut septictank-nya penuh, tapi itu hanya 1 persen dari 100 persen. Adapun, septic tank yang dibangun per keluarga rata-rata memiliki kedalaman 1-1,5 meter dan sampai saat ini belum ada yang penuh. Ini menunjukkan program jambanisasi dianggap berhasil oleh tim riset dari Australia. Dengan demikian, mereka kembali memberikan pendanaan untuk jambanisasi sebanyak 25 ribu jamban.

Budi menambahkan, ke depan pemerintah secara berkelanjutan memiliki tanggung jawab untuk membuat warga punya akses sanitasi. Akan tetapi, bukan akses saja yang didukung, sebab bisa saja ada keluarga tidak mempunyai WC tapi bisa ke rumah tetangganya.

‘’Ini tidak efektif, maka saya menggerakkan one home one toilet, setiap rumah harus punya toilet. Kami sudah punya penelitian hingga punya pilot project, kami sudah membangun puluhan ribu jamban di Semarang dan Jateng. Lebih dari 14 juta keluarga tidak punya akses WC, yang nggak punya WC lebih banyak lagi. Saya sebagai akademisi mendorong untuk gotong royong dan memperbaiki,’’ tandasnya.

Baca Juga: Waspada! Penggunaan Jamban yang Rendah Bisa Jadi Pemicu Hepatitis Akut

Topik:

  • Bandot Arywono

Berita Terkini Lainnya