Cerita Dokter COVID-19, Berangkat ke RS Bak Nyebrang Shiratal Mustaqim

Tiap hari hadapi pasien meninggal di IGD

Semarang, IDN Times - Pandemik COVID-19 tidak hanya menjadi masa-masa yang sibuk bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan di semua fasilitas kesehatan, tapi juga menegangkan setiap harinya. Dalam menangani pasien COVID-19 banyak hal yang ditemui oleh para garda terdepan ini, apalagi saat kasus aktif virus corona melonjak seperti sekarang ini. 

1. Tenaga medis selalu dilingkupi rasa cemas tiap akan bekerja

Cerita Dokter COVID-19, Berangkat ke RS Bak Nyebrang Shiratal MustaqimIlustrasi nakes memeriksa pasien. (ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi)

Mawarni (bukan nama sebenarnya, red), tenaga medis di RSUD Tugurejo Kota Semarang Jawa Tengah ini setiap hari harus dihadapkan dengan rasa khawatir setiap kali akan berangkat kerja. Bahkan, sejak semalam terkadang ia tidak bisa tidur dengan tenang, karena terbayang apa yang akan dihadapi esok hari.

‘’Sedih dan takut rasanya campur aduk kalau mau berangkat kerja. Kayak mau maju perang terus menyebrangi jembatan shiratal mustaqim,’’ ungkapnya saat dihubungi IDN Times, Rabu (30/6/2021).

Lonjakan kasus COVID-19 yang diduga karena penularan dari varian Delta dari India itu menyebabkan rumah sakit penuh, akhir-akhir ini. Terjadi penumpukan pasien mulai dari Instalasi Gawat Darurat (IGD), ruang perawatan hingga ICU isolasi. Kondisi itu membuat para dokter dan perawat bekerja keras, kelelahan bahkan turut terpapar COVID-19.

2. Antrean pasien COVID-19 bisa mencapai 20 orang di IGD

Cerita Dokter COVID-19, Berangkat ke RS Bak Nyebrang Shiratal MustaqimPetugas mengantar pasien ke ruang IGD (Instalasi Gawat Darurat) tambahan di RSUD Bekasi, Jawa Barat, Rabu (23/6/2021). ANTARA FOTO/ Fakhri Hermansyah

‘’Setiap hari selalu ada antrean pasien minimal 20 orang untuk bisa masuk ruang perawatan atau ICU isolasi. IGD pun juga selalu penuh, bahkan overload dari kapasitas hanya 20 orang sekarang ini bisa 40 orang. Mereka yang tidak dapat bed di IGD, mau tidak mau bertahan di kursi roda sambil menunggu ada kamar kosong,’’ tuturnya.

Menurut Mawarni, pada kondisi sekarang ini pasien bisa masuk ke ruang isolasi kalau ada pasien lain yang meninggal atau ada pasien dengan keadaan lebih baik lalu dipindah ke tempat karantina terpusat. Waktu tunggu pun juga tidak dapat dipastikan.

‘’Saat saya jaga, pernah ada pasien datang Jumat malam belum dapat kamar, terus Sabtu juga belum dapat kamar, hingga akhirnya Minggu baru dapat. Namun, sebenarnya pasien yang sudah terkonfirmasi positif COVID-19 saat di IGD itu perawatannya sudah sama dengan pasien yang ada di ruang perawatan isolasi. Mereka dapat obat sesuai kondisi klinis karena sudah dikonsultasikan ke dokter spesialis. Hanya kamarnya saja yang belum dapat,’’ jelasnya.

Baca Juga: Awas! 25 Daerah Zona Merah COVID-19 di Jateng, Ada 7 Instruksi Khusus

3. Sering didera dilema pilih tangani pasien COVID-19 atau non COVID-19

Cerita Dokter COVID-19, Berangkat ke RS Bak Nyebrang Shiratal MustaqimKondisi pasien COVID-19 di IGD RS PKU Bantul, 11 Januari 2021. Dokumentasi RS PKU Bantul

Susahnya, lanjut dia, kalau ada pasien butuh ruangan isolasi ICU, tapi tidak ada yang tempat tidur yang kosong. Padahal pasien sudah ada gejala desaturasi atau saturasi oksigen turun, dan ditambah sesak nafas bahkan sampai tidak sadar diri. ‘’Disinilah kami sering merasa berada di medan perang. Kami tidak bisa memantau pasien satu per satu karena keterbatasan tenaga di IGD dan saking banyaknya pasien,’’ ujarnya.

Perasaan dilema juga kerap mampir ketika harus memilih menangani pasien dengan kondisi gawat. Suatu kali ada pasien tersungkur lemas di selasar IGD rumah sakit dengan keadaan tubuh lemas, diare, muntah, batuk, dan ada riwayat demam. Pasien tersebut meminta tolong pada Mawarni untuk ditangani karena sudah ke beberapa rumah sakit ditolak.

‘’Saya nggak tega pengen nangis. Saya bilang ke bapak itu kalau saya tidak menolak pasien. Kalau masih ada bed pasti saya tolong, tapi bapak lihat sendiri kursi roda tidak ada, panjenengan (anda, red) mau saya rawat dimana. Bapak bisa cek IGD penuh pasien COVID-19 semua. Sampai kemudian bapak itu bilang dengan memohon, kalau dia tidak masalah duduk di selasar IGD asalkan ditangani. Akhirnya, saya tangani mulai dengan screening dan ternyata si bapak juga terkonfirmasi positif COVID-19,’’ tuturnya.

4. Saksikan banyak pasien COVID-19 meninggal di depan mata

Cerita Dokter COVID-19, Berangkat ke RS Bak Nyebrang Shiratal MustaqimPasien positif PPU meninggal dunia (IDN Times/Istimewa)

Laju penularan yang sangat cepat dari virus corona varian Delta ini juga membuat banyak pasien COVID-19 tidak tertolong saat mengantre di IGD atau menunggu ruang isolasi. Sehari minimal ada lima pasien meninggal COVID-19 di depan mata para garda terdepan di RSUD Tugurejo. Kondisi itu membuat hati para tenaga medis yang menangani miris dan selalu menangis setiap menjalankan tugasnya.

‘’Seperti kemarin petang, Selasa (29/6/2021), saya menemui seorang anak yang mengeluh ibunya sesak nafas dan membawa rapid antigen positif di IGD. Ibu itu harusnya dirawat di ruang isolasi ICU, tapi saat itu semua ICU penuh. Bantuan oksigen hanya tersedia dalam bentuk masker yang bertekanan 15 liter per menit, sedangkan ibu itu butuh oksigen bertekanan tinggi seperti yang ada di ICU. benar-benar sudah tidak ada alat bantu nafas yg tersisa satu pun. Saya hanya bisa memohon maaf kepada anak ibu itu, karena ini kondisi darurat dan kami sudah mengusahakan maksimal. Saya pun meminta si anak berdoa dan pasrah, tapi akhirnya pada pukul 20.30 WIB ibu tersebut meninggal dunia karena gagal nafas,’’ kata Mawarni.

5. Para garda terdepan mohon agar masyarakat lebih disiplin prokes

Cerita Dokter COVID-19, Berangkat ke RS Bak Nyebrang Shiratal MustaqimIlustrasi nakes (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)

Tugas para tenaga medis dan tenaga kesehatan yang bekerja serta berjuang di tengah pandemik COVID-19 ini memang berat. Mereka juga manusia biasa dan bukan penentu hidup mati seseorang.

‘’Saya pengen bantu lebih, tapi kalau alat bantu nafas habis terpakai dan semua untuk pasien COVID-19, lalu saya bisa apa? Apakah saya harus mencabut alat bantu nafas yg sudah terpasang di salah satu pasien kemudian dipasang ke pasien lain yang juga dalam kondisi darurat? Sebab, saya juga bukan malaikat yang bisa menentukan siapa yang berhak hidup atau meninggal. Saya berharap orang-orang yang tidak percaya COVID-19 jadi sadar dengan kondisi saat ini dan mau mematuhi protokol kesehatan,’’ tandasnya.

Baca Juga: Membludak! Keluarga Temani Pasien COVID-19 di Tenda Darurat RS Tugu Semarang

Topik:

  • Bandot Arywono

Berita Terkini Lainnya