Dari Kedai 55, Louis Mariani Langgengkan Kuliner Peranakan Tionghoa di Semarang

Jualan Lontong Cap Go Meh warisan keluarga sejak tahun 1958

Semarang, IDN Times -  Sebagai daerah pesisir di Pantai Utara Jawa, Kota Semarang pernah menjadi tempat singgah kapal dagang para saudagar dari berbagai negara, termasuk pedagang Tionghoa. Transaksi dagang antarpedagang dari Tiongkok dengan masyarakat lokal di Kota Semarang memunculkan akulturasi budaya, salah satunya kuliner. 

1. Kedai 55 menjual masakan peranakan Tionghoa

Dari Kedai 55, Louis Mariani Langgengkan Kuliner Peranakan Tionghoa di SemarangLouis Mariani (87 tahun) penjual kuliner peranakan Tionghoa melayani pelanggan di Kedai 55 di Jalan Puri Anjasmoro K-6/19 Semarang. (IDN Times/Anggun Puspitoningrum)

Budaya Tionghoa cukup kental memengaruhi khasanah kuliner di Ibu Kota Jawa Tengah. Pasalnya, imigran Tionghoa membawa resep-resep masakan dari negeri asalnya, kemudian mereka meracik makanan dengan menggunakan bahan-bahan lokal di Semarang. Resep-resep tersebut diwariskan ke keturunannya sehingga, muncullah kuliner peranakan Tionghoa yang sampai saat ini ditemui dan dijajakan di Kota Semarang. 

Kedai 55 Semarang menjadi salah satu dari ribuan kuliner peranakan Tionghoa yang masih eksis sampai saat ini. Adalah Louis Mariani, perempuan keturunan etnis Tionghoa berusia 87 tahun yang menjadi penjaja kuliner peranakan sejak tahun 1958.

Dari membantu usaha orangtuanya yang dulu berlokasi di Jalan Beteng nomor 55 Semarang, ia kini mewarisi usaha tersebut dan berjualan di Jalan Puri Anjasmoro K-6 nomor 19 Semarang. 

Warung makan tersebut tidak mewah bak restoran modern. Malah, lokasinya memanfaatkan garasi rumah untuk berjualan makanan seperti, lontong opor, nasi opor, nasi langgi, nasi berkat, gado-gado, hingga ayam goreng, saban hari. 

Baca Juga: 5 Tempat Makan Lontong Cap Go Meh di Semarang, Dijamin Haucek! 

2. Lontong Cap Go Meh menjadi menu andalan

Dari Kedai 55, Louis Mariani Langgengkan Kuliner Peranakan Tionghoa di SemarangLontong Cap Go Meh Kedai 55 di Jalan Puri Anjasmoro K-6 No 19 Semarang. (IDN Times/Anggun Puspitoningrum)

Mak Louis--begitu ia akrab disapa--tak pernah bosan melayani pembeli yang datang di Kedai 55. Siang itu, tangan keriputnya dengan luwes mengiris lontong lalu ditata di sebuah piring untuk melayani pembeli yang memesan lontong opor. Ia lalu membuka satu persatu tutup panci yang berjejer di sebuah meja, kemudian memasukkan beberapa masakan yang ada di sana. 

Mulai dari opor ayam berkuah putih, sambal goreng udang, sayur lodeh terong, telur pindang, dan sate abing. Tak lupa sebelum dibawa ke meja pelanggan, Louis menambahkan bubuk kedelai dan bawang goreng di atas hidangan sebagai pelengkap.

Lontong opor yang dijual Louis tersebut memang berbeda dengan lontong opor pada umumnya. Sebab, ada beberapa masakan yang khas peranakan Tionghoa yang disajikan di piring tersebut, salah satunya yakni sate abing. 

Hidangan sate abing menjadi menu pelengkap dari lontong opor peranakan atau kerap disebut Lontong Cap Go Meh. Masakan tersebut terbuat dari parutan kelapa yang disangrai kemudian dihaluskan hingga keluar minyaknya. Setelah itu, dimasak dengan bumbu khusus sampai menjadi kuah berwarna coklat tua. 

3. Tidak pernah mengubah resep warisan

Dari Kedai 55, Louis Mariani Langgengkan Kuliner Peranakan Tionghoa di SemarangLouis Mariani (87 tahun) penjual kuliner peranakan Tionghoa sedang melayani pembeli di Kedai 55 di Jalan Puri Anjasmoro K-6/19 Semarang. (IDN Times/Anggun Puspitoningrum)

Perempuan berusia 87 tahu itu setia merawat resep kuliner keluarga yang diwariskan orangtuanya, Sie Tie Nio dan Kwik Kwat Ring selama lebih dari setengah abad. Tentu bukan hal mudah bagi sebuah usaha tempat makan bisa bertahan selama itu. 

Louis mengatakan, kunci untuk bisa melanggengkan warisan kuliner keluarga adalah tidak pernah mengubah resep dari sang Ibu. 

"Jadi, masakan yang disajikan juga kurang lebih tetap sama dengan yang dibuat mama saya. Setiap hari mulai siang setelah kedai tutup saya sudah menyiapkan masakan untuk dijual esok hari," tuturnya kepada IDN Times, Jumat (4/3/2022). 

4. Selalu menggunakan bahan segar

Dari Kedai 55, Louis Mariani Langgengkan Kuliner Peranakan Tionghoa di SemarangLouis Mariani (87 tahun) penjual kuliner peranakan Tionghoa di Kedai 55 di Jalan Puri Anjasmoro K-6/19 Semarang. (IDN Times/Anggun Puspitoningrum)

Louis dibantu anak-anaknya, salah satunya Santi Hadianto dalam menjalani keseharian. Mulai dari belanja, memasak hingga melayani pembeli di warung tersebut.

"Agar masakan yang mayoritas berbahan santan itu tetap enak disantap dan tidak mudah basi, semua bahan harus segar," ujarnya. 

Upaya itu ia lakukan untuk menjaga cita rasa agar sama dengan generasi pertama. Pantas, dari dulu hingga sekarang masih banyak pelanggan setia yang selalu kembali menikmati masakan Louis. Sejak dari Kedai 55 di Beteng Kawasan Pecinan Semarang hingga sekarang di Puri Anjasmoro Semarang.

“Banyak pelanggan yang dulu pernah beli di Beteng kembali lagi ke sini. Mereka mencari dan menanyakan warga sekitar di mana kami pindah. Pelanggan kami pun juga turun temurun dulu dari orang tuanya, kini anak cucunya juga makan disini,” katanya. 

5. Tak pernah ditinggalkan pelanggan setia

Dari Kedai 55, Louis Mariani Langgengkan Kuliner Peranakan Tionghoa di SemarangSuasana Kedai 55 di Jalan Puri Anjasmoro K-6 No 19 Semarang. (IDN Times/Anggun Puspitoningrum)

Selain melanggengkan resep dan usaha warisan itu, ada motivasi dari Louis untuk tetap setiap menjual Lontong Cap Go Meh, yakni mengenalkan masakan akulturasi itu pada generasi muda, terutama para millennial dan generasi-Z.

“Ya, biar anak-anak sekarang tetep mau makan masakan dari tradisional. Biar mereka tahu asal-usulnya juga. Maka itu, saya terus masak Lontong Cap Go Meh tidak hanya saat perayaan Imlek berlangsung, tetapi menyajikannya setiap hari bagi siapapun yang ingin makan,” tandasnya.

Baca Juga: Bikin Kuliner Kaki Lima Semarang Jadi Viral, Kreator Banjir Cuan

Topik:

  • Dhana Kencana

Berita Terkini Lainnya