Mahasiswa di Semarang Masih Berjuang Dobrak Budaya Patriarki di Kampus

Cegah kekerasan seksual dengan edukasi kesetaraan gender

Semarang, IDN Times - Pemahaman mengenai kesetaraan gender menjadi semakin penting saat ini seiring maraknya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Tak terkecuali di ranah pendidikan seperti kampus yang rentan terhadap diskriminasi maupun tindak kekerasan seksual kepada mahasiswi.

1. BEM perguruan tinggi di Semarang dorong kesetaraan gender

Mahasiswa di Semarang Masih Berjuang Dobrak Budaya Patriarki di KampusBina Karir

Sejumlah Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari perguruan tinggi negeri di Kota Semarang, Jawa Tengah hingga kini terus berjuang untuk mendobrak budaya patriarki dan memahamkan tentang kesetaraan gender.

Seperti yang dilakukan BEM Keluarga Mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes). Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anti-Kekerasan Seksual BEM KM Unnes, Siti Nur Dzakiyyatul Khasanah mengatakan, mewujudkan kesetaraan gender di Unnes masih sama dengan umumnya di Indonesia. Masih ada beberapa aspek atau hal yang perlu perhatian dan dikritisi bersama.

‘’Jika berbicara kesetaraan gender, setara memang seutuhnya belum. Apalagi, di kampus juga masih ada kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Maka, kami terus berupaya meningkatkan kesetaraan gender, cuma kami butuh banyak pihak yang mau terlibat untuk mendobrak. Sebab, ini butuh proses, waktu yang tidak instan,’’ ungkapnya saat dihubungi, Jumat (25/2/2022).

Keterlibatan civitas akademika perempuan baik di tingkat dosen atau mahasiswa di ranah kampus belum begitu tampak. Dari segi kuantitas, partisipasi perempuan di posisi atau jabatan tertentu masih belum setara. Misalnya, di struktural universitas, fakultas, maupun organisasi kemahasiswaan masih didominasi kaum laki-laki dibandingkan perempuan. Secara prosentase di angka 70 persen laki-laki dan 30 persen perempuan.

2. Bentuk komunitas Forum Perempuan di kampus

Mahasiswa di Semarang Masih Berjuang Dobrak Budaya Patriarki di Kampushttp://unnes.ac.id/

‘’Kendati demikian, kalau mau ngomongin kesetaraan gender memang perlu membicarakan kuantitas dan kualitas. Misalkan, di BEM Unnes meski banyak perempuan pun tidak menjamin ada kesetaraan kalau masih ada budaya yang mendiskriminasikan perempuan,’’ jelas mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan ini.

Saat ini dalam kepengurusan BEM KM Unnes dari total 252 mahasiswa, 132 perempuan dan 120 laki laki. Perempuan berusia 22 tahun itu menuturkan, dari jumlah tersebut secara peran dan kinerja profesional memang sudah setara. Namun, secara budaya belum karena masih kerap terjadi mahasiswi menjadi objektivitas bercandaan dan jatuhnya ke body shaming.

‘’Maka itu kami terus bergerak untuk memperjuangan kesetaraan gender di kampus. Seperti membentuk komunitas Forum Perempuan dan menginisiasi adanya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anti-Kekerasan Seksual di BEM KM Unnes,’’ ujarnya.

Komunitas Forum Perempuan di bawah Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anti-Kekerasan Seksual mempunya tugas mengedukasi tentang kesetaraan gender. Komunitas itu merekrut volunteer mahasiswa di masing-masing fakultas untuk memberikan edukasi secara daring maupun luring.

Baca Juga: Gak Merasa Aman, Korban Kekerasan Seksual di Unnes Takut Lapor Kampus

3. Kawal implementasi peraturan rektor tentang kekerasan seksual

Mahasiswa di Semarang Masih Berjuang Dobrak Budaya Patriarki di KampusIlustrasi kekerasan seksual terhadap perempuan (IDN Times/Arief Rahmat)

Kemudian, agen-agen kampus ini juga membuka kelas untuk memberikan pemahaman tentang kesetaraan gender, menggelar pelatihan-pelatihan baik soft skill maupun hard skill. Lalu, melaksanakan gerakan sosial dari perempuan, oleh perempuan, dan untuk perempuan. Hingga kini animo mahasiswa khusus perempuan yang terlibat cukup banyak dan aktif.

Selanjutnya, dalam upaya mengimplementasikan Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS), Unnes juga telah membuat turunan dari kebijakan tersebut melalui Peraturan Rektor Unnes.

‘’Saat ini sudah di tahap penyiapan panitia untuk Satgas PPKS. Dalam agenda tersebut kami mengusulkan agar ada keterlibatan perempuan minimal 2/3 dari panitia seleksi. Ini mengingat banyak korban kekerasan seksual adalah perempuan. Sehingga, agar korban nyaman dalam bercerita harus ada keterwakilan perempuan dan 50 persen Satgas PPKS harus mahasiswa,’’ kata mahasiswa jurusan Psikologi ini.

Adapun, menurut Dzakiyyatul isi dari Peraturan Rektor Unnes tentang PPKS ini sudah memadai, menyerap banyak hal dari Kemendikbud dan mengakomodasi kepentingan mahasiswa. Sejak regulasi itu disahkan belum ada kasus kekerasan seksual yang ditangani. Sedangkan, kasus kekerasan seksual perempuan sebelumnya sudah ditangani dan hanya sampai jalur mediasi.

4. Isi peraturan rektor belum mengakomodasi kepentingan mahasiswa

Mahasiswa di Semarang Masih Berjuang Dobrak Budaya Patriarki di KampusProses wisuda secara daring yang digelar di Undip Semarang. (IDN Times/Humas Undip)

‘’Sebab, korban hanya berani untuk mengungkapkan tapi tidak sampai ke ranah hukum. Ini kembali lagi karena budaya patriarki yang kental di masyarakat kita dan belum banyak yang mendukung korban. Sehingga, banyak tantangannya untuk mendobrak itu,’’ tandasnya.

Tidak hanya di BEM KM Unnes, BEM Universitas Diponegoro (Undip) Semarang juga fokus memperjuangkan kesetaraan gender agar perempuan civitas akademika mendapat hak dan ruang yang sama di kampus. Upaya ini juga untuk mencegah kekerasan seksual perempuan di Undip.

Ketua BEM Undip, Ichwan Nugraha Budjang mengatakan, saat ini yang sedang BEM perjuangkan adalah mendesak universitas untuk membuat turunan dari Permendikbud Nomor 30 tahun 2021. Sebab, Peraturan Rektor Undip yang mengatur tentang PPKS belum ada.

‘’Pada bulan Januari lalu kami sudah menemui Wakil Rektor I dan Wakil Direktur Kemahasiswaan Undip untuk mendesak agar Peraturan Rektor Undip tentang PPKS segera dibuat. Kemudian, bulan ini sudah keluar draft-nya pada rapat pandangan umum dan evaluasi. Namun, isi draft aturan itu belum mengakomodasi kepentingan mahasiswa secara keseluruhan,’’ katanya saat dihubungi, Jumat (26/2/2022).

Terkait ruang lingkup penanganan kekerasan seksual perempuan belum mencakup semua. Seperti, pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual saat mahasiswa KKN, menjalani kampus merdeka, dan bimbingan dengan dosen di luar kampus belum dibahas.

5. Kekerasan gender berbasis online masih marak

Mahasiswa di Semarang Masih Berjuang Dobrak Budaya Patriarki di KampusLogo Twitter (IDN Times/Hana Adi Perdana)

‘’Sehingga, ini yang kami kritisi. Kemudian, belum membahas soal kekerasan gender berbasis online (KGBO). Padahal dalam survei tentang kekerasan seksual perempuan yang pernah kami lakukan tahun lalu tercatat 38,9 persen responden pernah mengalami kekerasan seksual di kampus. Lalu, 21 persen pernah mengalami KGBO saat kuliah secara daring. Artinya, pada masa pandemik ini marak kasus kekerasan lewat ruang virtual. Maka, dalam aturan itu kami juga mendesak adanya proses preventif hingga rehabilitasi,’’ jelas mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik itu.

BEM Undip akan terus mengawal peraturan rektor tentang kekerasan seksual perempuan hingga memastikan siapa saja orang yang ada di dalam pembuatan kebijakan tersebut. Mereka berharap siapapun yang terlibat dalam satgas kekerasan seksual tidak ada pengaruh di pihak tertentu.

6. Tanamkan konsep kesetaraan gender di semua lini

Mahasiswa di Semarang Masih Berjuang Dobrak Budaya Patriarki di KampusProgram Kaderisasi Ulama

Ichwan menuturkan, upaya ini juga untuk terwujudnya kesetaraan gender di Undip. Sebab, menanamkan konsep kesetaraan gender di semua lini sangat penting saat ini. Bagaimanapun perempuan juga berhak memimpin dan memiliki suara di lingkungan kampus.

‘’Saat ini di kepengurusan BEM Undip secara komposisi kalau dihitung jumlahnya seimbang antara laki-laki dan perempuan. Kami memberikan ruang bagi siapapun yang memiliki kemampuan lebih, berkualitas, berkapabilitas bisa menjabat,’’ ujarnya mahasiswa asal Palu, Sulawesi Tengah itu.

Adapun, mulai tahun ini BEM Undip juga akan menghidupkan kembali Forum Perempuan yang sempat vakum sejak 2019. Melalui Diponegoro Women Forum, organisasi mahasiswa tersebut akan berperan untuk memberdayakan perempuan dengan pengedukasian tentang isu perempuan hingga menyalurkan hak suara perempuan.

Baca Juga: Survei BEM: Pelaku Kekerasan Seksual di Undip Semarang Mayoritas Mahasiswa

Topik:

  • Bandot Arywono

Berita Terkini Lainnya