Seniman Mural Semarang Pilih Main Cantik untuk Mengkritik 

Arief Hadinata bawa pesan dalam setiap mural karyanya

Semarang, IDN Times - Seni mural belakangan ini viral dan menjadi sorotan di media sosial maupun pemberitaan. Lukisan di dinding yang diduga wajah Presiden Joko Widodo dan bertuliskan 404 Not Found di wilayah Batuceper, Kota Tangerang Banten mengundang reaksi berbagai pihak termasuk para seniman mural di Tanah Air. 

1. Tidak semua gambar di dinding disebut mural

Seniman Mural Semarang Pilih Main Cantik untuk Mengkritik Seniman mural asal Kota Semarang, Arief Hadinata dari HOKGSTUDIO sedang berkarya di sebuah dinding. (dok. IDN Times/Arief Hadinata/bt)

Seniman mural asal Semarang, Arief Hadinata pun turut buka suara terkait kasus yang sedang hangat tersebut. Menurut pria berusia 30 tahun itu, ada kekeliruan persepsi terhadap semua yang sedang ramai ini. Tidak semua gambar atau lukisan dengan media dinding itu disebut mural, sebab ada juga grafiti.

‘’Ini kemudian menjadi rancu, membuat nama baik mural tercemar, dan melukai para seniman mural yang tekun berkarya di luar sana,’’ ungkapnya saat dihubungi IDN Times, Jumat (3/9/2021).

Adapun, mural yang memiliki arti dinding itu harus memiliki banyak unsur visual berupa gambar. Mural umumnya juga minim tulisan, walaupun ada itu sebagai penekanan saja. Melalui mural pun pelaku seni bisa menyampaikan kritik asalkan secara visual dan tahu penempatannya.

‘’Mural sebagai media ekspresif sah-sah saja, tapi kalau dijadikan media yang terlalu kritis nanti akhirnya bisa menjadi bumerang. Padahal salah satu fungsi mural adalah membuat estetik sebuah ruang,’’ tutur mural artist dari HOKGSTUDIO itu.

2. Seniman mural harus paham tentang penempatan sebuah karya

Seniman Mural Semarang Pilih Main Cantik untuk Mengkritik Ilustrasi mural. (IDN Times/Anggun Puspitoningrum)

Maka, lanjut dia, seseorang seniman mural harus paham koridor atau penempatan seni lukis tersebut. ‘’Misalnya, untuk membuat satu elemen di tempat publik indah it’s okay, mau membawa pesan kritis juga nggak masalah. Namun, harus bisa membedakan seni tersebut pantas ditempatkan dimana,’’ katanya.

Menurut Arief, ruang publik dan ruang pamer itu hal yang berbeda. Jangan jadikan kedua ruang itu samar. ‘’Pada ruang pamer kamu boleh beralibi apa saja, sesukanya, dan semua orang akan terpaku oleh pesona karyamu. Tapi ingat, lain jika karya itu dihadirkan ke ruang publik dimana banyak mata segala umur menyaksikannya. Pada ruang itu, seorang seniman bukan lagi seniman, karyanya bukan lagi miliknya,’’ ujar Manager Artlab Komunitas Hysteria Semarang itu.

Sehingga, imbuh dia, setiap muralist jangan hanya menghadirkan ego dan idealisme saja. Pikirkan dampak dari itu semua. Apakah memberi manfaat atau tidak, sebab menurut diri sendiri bagus belum tentu di mata yang lain. Hal demikian perlu diedukasi kepada mereka yang baru saja belajar tentang seni mural. Bukan berarti mural tidak boleh untuk media kritik, tapi setiap kritik perlu ada filternya.

Baca Juga: Kota Semarang Rangkul Seniman Mural untuk Ubah Wajah Perkotaan

3. Arief Hadinata menekuni mural sejak 13 tahun lalu

Seniman Mural Semarang Pilih Main Cantik untuk Mengkritik Seniman mural asal Kota Semarang, Arief Hadinata dari HOKGSTUDIO di depan karya mural buatannya di sebuah kafe di Semarang. (dok. IDN Times/Arief Hadinata/bt)

Kendati demikian, setiap seniman mural memiliki jalan sendiri-sendiri. Arief sendiri memulai kiprahnya sebagai seniman mural sejak tahun 2008. Ketika ia menempuh pendidikan di Jurusan Seni Rupa di Universitas Negeri Semarang (Unnes). Namun, ketertarikannya pada seni mural sudah sejak duduk di bangku SMP dan SMA.

‘’Saat SMP dan SMA saya sudah senang menggambar, apalagi kalau lihat tembok. Senang banget, seperti dikasih ruang untuk belajar. Belum kalau ikut lomba-lomba, menang dan dapat hadiah uang. Dari situ saya berpikir ternyata seni mural bisa menghasilkan uang. Kemudian, project pertama menggambar di sebuah distro, berlanjut hingga bertemu Hysteria, kuliah seni rupa dan memutuskan serius menjadi profesional mural artist pada tahun 2008,’’ jelas Arief yang sudah 13 tahun menggeluti seni mural itu.

Selama menjadi seniman mural ada dua jalan yang ditempuh lelaki kelahiran Batang, 3 Oktober 1990 itu. Ia menjadikan mural untuk aksi sosial dan komersial. ‘’Saya memilih jalan tersebut karena nggak punya hobi lain selain nggambar. Lalu, nggak punya pekerjaan lain selain jadi seniman mural, maka saya memutuskan ini sebagai jalan hidup. Jadi mau nggak mau dompet dan otak ya harus seimbang,’’ tutur suami dari Amanda Rizqyana itu.

4. Melukis mural di kampung-kampung tematik di Semarang

Seniman Mural Semarang Pilih Main Cantik untuk Mengkritik Seniman mural asal Kota Semarang, Arief Hadinata dari HOKGSTUDIO di depan karya mural buatannya di kampung tematik di Semarang. (dok. IDN Times/Arief Hadinata/bt)

Dalam menjalani profesi seniman mural untuk sosial, Arief bergabung dalam Hysteria. Bersama komunitas anak muda tersebut ia memanfaatkan kemampuannya untuk memberikan pendampingan kepada warga melalui mural di sejumlah kampung tematik di Kota Semarang.

‘’Setelah membuat mural di kampung tematik, saya edukasi ke warga tentang bagaimana merawatnya. Misalnya saya bilang kalau mural ini ada harganya jadi mohon untuk dirawat dan tidak sembarang mengotori. Sebab, ini kan karya seni bukan sekadar pekerjaan mencorat-coret tembok. Sehingga, kalau mereka merawat itu sudah bagus sekali,’’ katanya yang pernah menjadi pengajar seni rupa pada Program Seniman Mengajar yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu.

Cara yang dilakukan ayah satu anak ini akhirnya bisa memunculkan komunikasi dan interaksi yang baik antara seniman dengan warga. Bagi seniman mereka bisa belajar ber-atitude di ruang publik dan bagi warga mereka bisa belajar menerima karya seni seperti mural dengan baik.

‘’Misalnya waktu saya dapat order gambar mural di Kampung Bustaman. Saya minta kepada warga di sana memberikan ide tentang kampung itu di masa depan. Mereka sangat antusias, ada yang ingin ada tugu kambing, ada yang ingin kolam renang, ada yang ingin ada tamannya. Semua ide saya tampung dan realisasikan menjadi mural tiga dimensi. Warga di Kampung Bustaman senang banget, akhirnya mural ini menjadi gambar paten yang menyimpan masa depan mereka,’’ jelasnya.

5. Mengedukasi masyarakat tentang cara mengapresiasi mural

Seniman Mural Semarang Pilih Main Cantik untuk Mengkritik Seniman mural asal Kota Semarang, Arief Hadinata dari HOKGSTUDIO berkolaborasi dengan sebuah perusahaan minuman di Semarang. (dok. IDN Times/Arief Hadinata/bt)

Masih bersama Hysteria, Arief baru-baru ini juga membuat mural di Kampung Bandarharjo di tembok rusunawa. Ia mengangkat tema ‘Udan Salah Mongso’ untuk menyikapi isu perubahan iklim saat ini. Mural tersebut diikutkan dalam pameran di Galeri Nasional Jakarta.

Sementara secara komersial, Arief telah memilih berkarya lewat mural sebagai mata pencahariannya. Namun, tidak sekadar menjual jasanya, ia juga mengedukasi para pelaku usaha mulai UMKM hingga kelas menengah atas agar paham cara mengapresiasi karya mural secara tepat.

‘’Karena membuat mural ini sebagai pekerjaan, maka saya juga punya tanggung jawab kepada klien yang menggunakan tenaga saya. Secara bargaining saya mengutamakan kualitas dan konsep, maka klien juga harus tahu maksud dan tujuannya membuat mural. Ini agar kami sama-sama paham dan puas. Mereka bayar lebih mahal tapi muralnya jadi signature buat usahanya. Kemudian, mereka juga paham bayar mahal sedikit tapi karya ini terlindungi. Sebab, ada klien sebuah restoran di Jakarta yang sudah mematenkan desain dan mural buatan saya,’’ katanya.

Maka, mural ini menjadi penting buat Arief secara pribadi, apalagi bermanfaat bagi masyarakat. Tentu itu juga harus disertai dengan penempatan yang tetap dan bisa menyampaikan pesan melalui ilustrasi yang digambarkan.

6. Bermimpi punya studio untuk membagikan ilmu seni mural ke generasi muda

Seniman Mural Semarang Pilih Main Cantik untuk Mengkritik Seniman mural asal Kota Semarang, Arief Hadinata dari HOKGSTUDIO berkolaborasi dengan sebuah perusahaan minuman di Semarang. (dok. IDN Times/Arief Hadinata/bt)

‘’Misalnya sekarang ini saya ingin mengangkat kultur Semarangan yang ditinggalkan oleh warganya. Sampaikan saja lewat ilustrasi mural seperti menggambar tukang kopi keliling, karena budaya minum kopi sudah beralih ke kafe. Saya tidak perlu bilang itu tukang kopi keliling sudah langka atau menyindir barista, tapi orang yang melihat akan berargumen dan punya kenangan tersendiri atas gambar itu. Akhirnya, mereka bisa menghargai dengan caranya sendiri-sendiri terhadap budaya yang sudah ditinggalkan itu,’’ jelasnya.

Bagi seniman mural seperti Arief, hingga sekarang ia merasa senang bahwa dari tahun ke tahun masyarakat semakin bisa mengapresiasi karya seni mural. Bahkan, dari kejadian yang viral belakangan justru membawa hikmah positif bagi para mural artist bahwa karya dan pekerjaan mereka mendapat perhatian dari masyarakat.

‘’Syukurlah perjuangan kami tidak sia sia. Seniman mural malah banyak yang dapat orderan. Namun, saya punya harapan ke depan agar bidang ini makin maju dan banyak generasi muda yang mau belajar tentang mural. Saya pun juga ingin membuat studio atau sanggar tempat belajar untuk bikin kelas, pelatihan, atau workshop. Agar ilmu ini dapat diwariskan pada generasi berikutnya,’’ tandasnya.

Baca Juga: Polda Jateng Bertindak Lebih Halus Hadapi Seniman Mural

Topik:

  • Bandot Arywono

Berita Terkini Lainnya