Sudah Upah Tak Layak, Buruh Perempuan Juga Jadi Korban Kekerasan 

Mayoritas menimpa buruh pabrik tekstil dan garmen

Semarang, IDN Times - Nasib kaum buruh masih jauh dari kata sejahtera. Selain terus berjuang untuk menuntut upah layak, buruh perempuan juga masih mengalami kekerasan di lingkungan kerja. 

1. Sepanjang 2021 ada 20 kasus kekerasan buruh perempuan terungkap

Sudah Upah Tak Layak, Buruh Perempuan Juga Jadi Korban Kekerasan Ilustrasi aktivitas buruh di salah satu pabrik kopi di Sumatra Utara. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Yayasan Annisa Swasti (Yasanti) mencatat sepanjang tahun 2021 terdapat 20 kasus kekerasan yang menimpa buruh perempuan di Kabupaten dan Kota Semarang. Kasus yang terjadi di tempat kerja itu berupa kekerasan seksual, psikis, dan verbal.

Koordinator Divisi Advokasi dan pengorganisasian Yasanti, Rima Astuti mengatakan, mayoritas kekerasan seksual telah menimpa buruh di pabrik tekstil dan garmen. Tidak hanya di tempat kerja, sebagian dari mereka juga masih mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) akibat budaya patriarki.

"Kasus kekerasan buruh perempuan kian tahun semakin meningkat. Sebenarnya angka ini pun juga masih seperti fenomena gunung es, artinya di luar sana masih banyak korban tapi enggan melaporkan karena berbagai pertimbangan," ungkapnya, Rabu (1/12/2021).

2. Kekerasan fisik dan verbal kerap menimpa buruh perempuan

Sudah Upah Tak Layak, Buruh Perempuan Juga Jadi Korban Kekerasan Ilustrasi Kekerasan. IDN Times/Sukma Shakti

Kejadian kekerasan terhadap buruh perempuan kerap terjadi di tempat kerja, jalan dan rumah. Di tempat kerja buruh perempuan masih sering mengalami kekerasan seksual seperti peremasan payudara, pantat dicolek, dirangkul dari belakang dan lainnya.

Sedangkan untuk kekerasan verbal, para buruh perempuan juga harus menanggungnya imbas dari situasi kerja yang mana buruh mendapatkan perkataan hinaan.

Rima menjelaskan, kasus-kasus tersebut sebenarnya sudah bisa ditempuh melalui jalur hukum. Namun, sejauh ini penyelesaian kasus itu masih ditempuh secara non litigasi, sebab korban masih mempertimbangkan ketergantungan pada pekerjaan apalagi saat ini masa pandemik.

"Dari deretan kasus tersebut terbukti bahwa tempat kerja masih menjadi tempat yang tak aman. Begitupun di rumah, setelah mereka bekerja di pabrik dengan banyak tugas yang menuntut, sampai rumah buruh perempuan masih berjibaku dengan tugas domestik. Kondisi itu menyebabkan kekerasan berlapis yang menjadikan buruh rawan mendapatkan kekerasan," jelasnya.

Baca Juga: Sahkan RUU PKS! Paling Mempan Lindungi Masa Depan Perempuan Indonesia

3. Indonesia darurat kekerasan perempuan

Sudah Upah Tak Layak, Buruh Perempuan Juga Jadi Korban Kekerasan ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

Ia mencontohkan, ada satu kasus buruh perempuan di pabrik jamu mendapatkan kekerasan KDRT oleh suaminya.

Korban kesulitan melaporkan diri ke polisi lantaran polisi menyatakan korban agar rujuk dengan suaminya. Dari pihak pabrik juga tak memberikan kepastian hukum bagi karyawannya. Akhirnya korban memilih bercerai selepas mendapatkan kekerasan yang cukup luar biasa.

"Dari beragam kasus yang menimpa buruh perempuan, kami berkesimpulan Indonesia saat ini darurat kekerasan bagi perempuan khususnya buruh perempuan karena tak ada payung hukum yang pasti baik dari pemerintah dan perusahaan," katanya.

4. Banyak perusahaan belum punya serikat pekerja

Sudah Upah Tak Layak, Buruh Perempuan Juga Jadi Korban Kekerasan Ilustrasi buruh pabrik (ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi)

Kasus kekerasan yang menimpa buruh perempuan ini memang menjadi perhatian khusus. Sebab, banyak pabrik yang belum memiliki serikat pekerja. Seperti di Kabupaten Semarang terdapat sekitar 850 perusahaan besar. Dari jumlah itu, tak sampai 10 persen perusahaan yang memiliki serikat pekerja.

"Nah saat tak punya serikat, bagaimana hak-hak perlindungan buruhnya? apalagi di situ mayoritas adalah buruh perempuan. Ketika terjadi sesuatu mereka mau lapor kemana?," ujar Rima.

Selain tak adanya serikat buruh, lanjut dia, kekerasan buruh perempuan bukan menjadi isu penting bagi perusahaan. Seperti soal kekerasan seksual dianggap menjadi hal biasa akibat kentalnya budaya patriarki.

‘’Padahal saat perusahaan konsen memperhatikan hal itu baik dari SOP maupun dituangkan di perjanjian kerja bersama, tentu akan meningkatkan produktivitas buruh perempuan. Begitupun dengan pemerintah yang selama ini juga kurang dalam memaksimalkan peran soal pengawasan,’’ tandasnya.

Baca Juga: Duh! Upah UMK 2022 di Semarang Cuma Naik Rp25 Ribu, Buruh Teriak

Topik:

  • Bandot Arywono

Berita Terkini Lainnya