Derita Gen Z Lunasi Pinjol, Gagal Bayar Cicilan Diteror Penagih Utang

Hidup tak tenang karena gagal bayar pinjol

Pinjaman online (pinjol) dan paylater selain bisa mempermudah memperoleh dana segar juga bisa menjadi lubang jebakan bagi Generasi Millennial dan Gen Z. Data dari OJK pada akhir 2022 lalu jumlah pinjaman macet yang ada di perusahaan Financial Technology (FinTech) atau pinjol mencapai Rp5,09 triliun per September 2022. Kebanyakan pinjaman tidak lancar ini berasal dari nasabah kalangan Gen Z dan millennial dengan rentang umur 19-34 tahun bahkan rerata adalah mahasiswa.

Kemudahan mengajukan pinjaman online seringkali membuat mereka tak menyadari ada konsekuensi yang harus mereka rasakan jika tak mampu membayar cicilan. Alih-alih kebutuhan bisa terpenuhi dengan cepat, layanan pinjol malah memberatkan bagi para Gen Z yang masih belum berpenghasilan, apalagi jika mereka meminjam ke pinjol ilegal yang memiliki bunga tinggi.

Kemudahan akses dan syarat dalam melakukan peminjaman menjadi salah satu faktor millenial dan Gen Z tertarik menggunakan paylater dan pinjol, parahnya pada akhirnya mereka yang rerata masih belum memiliki penghasilan tetap gak mampu membayar pinjaman mereka dan menjadi kredit macet.

Liputan kolaborasi yang dilakukan IDN Times mengumpulkan sejumlah pengakuan Gen Z dan millenial yang melakukan pinjaman online dan paylater, yang bahkan harus gagal bayar dan mendapat perlakuan tak menyenangkan dari pihak penagih utang. Berikut pengalaman para GenZ dan millenial yang harus gagal bayar dan harus menderita karena berurusan dengan pinjol.

Ajukan pinjaman untuk bayar sekolah hingga membeli barang untuk memenuhi hobi

Derita Gen Z Lunasi Pinjol, Gagal Bayar Cicilan Diteror Penagih Utangilustrasi pinjaman online (IDN Times/Aditya Pratama)

Kadek K (24) tidak pernah menyangka keinginan sesaatnya untuk memodifikasi motor bermodalkan pinjaman dari fintech ternyata justru berbuah lilitan utang. Pada Februari tahun 2021 lalu ia nekat mencoba melakukan pinjaman online.

Awalnya ia tertarik pinjol karena menerima SMS yang menawarkan pinjaman online dengan syarat yang mudah. "Saya tidak tahu mereka dapat nomor handphone saya dari mana. Saya hampir setiap hari menerima sms penawaran pinjol, di sms itu ada link untuk akses," ujar Kadek K, Sabtu (28/1/2023).

Lalu Kadek K merasa membutuhkan uang untuk keperluan modifikasi sepeda motor. Ia pun awalnya iseng-iseng untuk mengisi biodata dan mengajukan pinjaman melalui online.

"Saya waktu itu tidak pikir panjang, apakah tempat yang saya pinjami uang itu sudah OJK atau tidak. Waktu itu yang saya pikir, saya bisa bayarnya cicil pakai uang jajan dari orangtua," ungkapnya.

Kadek K juga tidak berpikir panjang, apakah uang jajanya akan cukup untuk membayar cicilan pinjol atau tidak. Kadek K mengaku mengajukan pinjaman dengan jumlah Rp4 juta dalam rentang waktu pembayaran 1 tahun. Ia mendapatkan bunga sekitar 2 persen.

Ternyata kredit yang dilakukan Kadek K tidak sesuai dengan yang direncanakannya. Ia kewalahan hingga dua bulan tidak bisa membayar. Apes bagi Kadek K, selama menunggak ia terus ditelepon oleh orang tidak dikenal dan terus diteror, diminta membayar hutangnya tersebut.

"Walau hanya lewat telepon, saya merasa sangat tertekan. Hari-hari tidak tenang," jelasnya. Parahnya, banyak teman Kadek K yang menerima pesan WhatApps terkait utang tersebut.

"Malu sekali, teman-teman semua dikirimi pesan WA kalau saya punya tunggakan. Entah bagaimana caranya, saya tidak tahu. Sampai akhirnya kakak saya mengetahui saya punya utang pinjol," jelas Kadek K. Teror baru berakhir setelah kakak dari Kadek K melunasi seluruh tunggakan dan pinjaman tersebut. "Kata kakak, ia melunasi sampai Rp8 juta-an. Entah bagaimana perhitungannya, padahal saya pinjam Rp4 juta dan baru nunggak dua bulan," keluhnya.

Cerita lainnya disampaikan oleh Frida (nama samaran) salah satu mahasiswi yang berkuliah di Malang ini menceritakan kisahnya saat ia harus berurusan dengan beberapa aplikasi pinjol karena tak mampu bayar cicilan dan gagal bayar. Ia terpaksa harus memanfaatkan jasa peminjaman uang ini karena merasa terdesak oleh beberapa kebutuhan perkuliahan dan kebutuhan sehari-hari.

Gadis 22 tahun ini bahkan tidak mampu memberitahu orang tuanya jika sekarang ia dikejar-kejar debt collector karena gagal membayar angsuran. Ia khawatir kondisi ini malah menambah beban orangtuanya.

"Saya meminjam uang karena kebutuhan pembayaran SPP. Karena persyaratan pengambilan ijazah SMA harus lunas SPP terlebih dahulu," bebernya saat ditemui IDN Times pada Sabtu (28/01/2023).

Setelah dinyatakan tidak bisa memenuhi kewajiban membayar angsuran pinjaman plus bunganya, ia mulai ditelepon orang-orang tak dikenal.

Ia diancam dengan berbagai perkataan kasar. Frida juga dipermalukan oleh debt collector yang mulai menelpon nomor teman-temannya dan mengatakan kalau dirinya tidak mampu membayar hutang. "Pusing banget, capek, dan kesel karena ditelepon oleh nomor yang berbeda-beda," bebernya.

Ia bahkan melakukan berbagai macam cara agar terbebas dari teror itu, mulai memblokir nomor mereka sampai mengganti-ganti nomor teleponnya. Namun, mereka tetap selalu bisa melacak nomor barunya.

"Jadi jika ada nomor yang tidak dikenal aku selalu langsung tolak. Lalu selalu hapus pesan jika mendapatkan pesan di WhatsApp atau SMS," ujarnya.

Sampai saat ini, Frida belum tahu bagaimana agar bisa terlepas dari jerat pijol yang menghantui dirinya. Ia pun saat ini berusaha melamar kerja meskipun statusnya masih sebagai mahasiswa. "Untuk sementara ini belum ada solusi dan masih usaha mencari atau melamar pekerjaan sana sini dulu. Karena tidak mungkin juga cerita ke keluarga jika keluarga sendiri masih ada kendala ekonomi," ucapannya.

Pengalaman pengguna pinjol, untuk memenuhi gaya hidup ada juga yang nyaris bercerai

Derita Gen Z Lunasi Pinjol, Gagal Bayar Cicilan Diteror Penagih Utangilustrasi stres (pexels.com/Kelly Lacy)

Pengalaman lain diceritakan oleh Anggi (bukan nama sebenarnya) pengusaha baju mantan pekerja bank swasta di Kota Medan yang terjerat pinjaman online bahkan hingga mencapai Rp100 juta.

Perempuan 27 tahun ini menggunakan pinjaman online untuk mengembangkan usahanya jasa titip baju asal Bangkok Thailand. Namun, sejak adanya pandemik COVID-19, membuat usahanya terpuruk dan kesulitan untuk memutar modal.

"Bangkrut dan akhirnya minjam online," ucapnya. Anggi mengaku, saat hendak mengajukan pinjaman, tidak ada yang mengendalikan dan mengetahui dirinya melakukan hal tersebut.

Kepada IDN Times, ia mengatakan awalnya meminjam uang sebesar Rp20 juta ke salah satu aplikasi pinjaman online legal. Namun, pada saat pembayaran kedelapan, Anggi mengaku tidak sanggup membayar. Pada momen ini pula, ia menambah pinjaman ke aplikasi lain. "Istilahnya, gali lubang, tutup lubang," ujarnya.

Selain untuk modal usaha, kemudahan mendapatkan pinjaman secara digital ini juga disalahgunakan Anggi. "Aku suka belanja-belanja dan traveling ke Thailand, Singapura, Malaysia dan membagikannya ke sosial media," kenangnya.

Kini ia memiliki 16 aplikasi pinjaman online yang telah digunakan. "Awal itu satu aplikasi, sekarang ada 16 aplikasi. Dari yang legal sampai ilegal," ucapnya.

Ia menyebutkan pinjamannya saat ini berjumlah Rp100 juta, ditambah dengan 0,5 persen per hari dari dana pinjaman. "Aku gak sanggup bayar persenannya. Ya sekarang kalau ditotal lebih besar dari itu," katanya.

Ia pun kini merasa takut ketika berurusan dengan pinjaman online yang ilegal. "Yang mengerikan itu yang ilegal, aku mendapat ancaman verbal untuk menyebarkan data ku ke seluruh kontak. Kalau yang legal masih lebih sopan," ungkapnya.

Ia mengaku tak tenang dan merasakan trauma akibat pesan ancaman yang dilakukan dari pihak aplikasi. "Sekarang itu, takut mau ketemu orang, perasaannya kayak ada yang ikuti," tutur Anggi.

Pengalaman yang lebih miris dirasakan oleh Nita (27) warga Ciputat, yang mengaku kehilangan pekerjaan bahkan hampir bercerai gara-gara pinjaman online atau pinjol.

Nita mengaku ia terpaksa mengajukan pinjaman uang senilai Rp1 juta kepada salah satu aplikasi pinjaman online (pinjol) ilegal yang tersedia di Google Play Store.

Setelah memenuhi persayarata peminjaman, pinjaman pun cair. Namun Nita merasakan keanehan karena tak berselang lama pinjamannya cair, ada lagi uang masuk ke rekeningnya dengan nama pengirim yang berbeda. Belakangan ia ketahui, bahwa uang tersebut adalah dana pinjaman dari pinjol ilegal lain. Dia mengaku gak pernah mengajukan pinjaman kedua itu.

"Transfer kedua itu Rp1 juta juga, saya ga ajuin. Tiba-tiba ada chat bahwa yang kedua itu jatuh temponya cuma 15 hari, dengan bunga yang tinggi," kata kata Nita, Sabtu (28/1/2023).

Ketika dana dari pinjaman yang tak ia pernah ajukan sudah jatuh tempo, teror para penagih dimulai. "Mereka nelponin, saya jelasin saya gak mengajukan yang ini, tapi mereka ga mau tahu, bentak-bentak saya, gila deh pokoknya, kalau saya ingat-ingat," kata dia.

Tak sampai di situ, para penagih juga menyebar foto ia memegang KTP ke semua kontak yang ada di handphonenya dengan narasi bahwa siapapun harus mengingatkannya untuk membayar pinjaman.

"Jadi memang aplikasinya mengharuskan saya membolehkan untuk akses kontak, dan foto memegang KTP itu kan jadi syarat mereka," kata dia.

Dari situ, kehidupan normal Nita berubah jadi kacau. Suaminya tahu dan merasa malu. Atasan Nita di kantornya yang menerima pesan dari penagih juga turut menanyakan langsung ke dirinya terhadap persoalan itu.

"Suami ngamuk, hampir pegat (cerai) waktu itu, atasan saya negur, ya akhirnya saya resign karena malu, sekarang saya ganti nomor, uang pinjamannya saya kembalikan dengan bunga, pokoknya saya hancur dan sangat trauma," ungkapnya.

mahasiswi Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al Banjari (Uniska) Banjarmasin bernama Dwi juga mengaku trauma melakukan pinjaman online. Menurutnya, di balik kemudahan pinjol sebagian lain bisa jadi merupakan jebakan. 

Ia mengaku meminjam uang di salah satu layanan pinjol sebesar Rp10 juta untuk keperluan investasi. Tapi apesnya, investasinya ternyata gagal total sehingga ia harus menanggung beban utang yang besar. 

Dwi  harus mengangsur beban utang sekaligus bunga sebesar Rp1,3 juta per bulan. 

"Karena tertipu investasi senilai Rp10 juta, jadi sekarang saya menanggung bayar cicilan 1,3 juta perbulannya. Mau tidak mau, meski bunganya besar harus tetap saya bayar," katanya.

Baca Juga: Pinjaman Online yang Menjadi Opsi Pilihan bagi Mahasiswa Banjarmasin

Akal-akalan untuk lepas dari utang Pinjol, kong kali kong dengan teman hingga pakai jasa joki

Derita Gen Z Lunasi Pinjol, Gagal Bayar Cicilan Diteror Penagih Utangilustrasi pinjaman online ilegal (IDN Times/Aditya Pratama)

IA (24) pegawai swasta di Palembang tak menyangka urusan pinjol bakal berpengaruh buruk untuk kehidupannya, utangnya menumpuk ia pun diteror perusahaan yang menaungi pinjol.

IA mengakui terjerat pinjol lantaran gaya hidup. Dirinya sering menggunakan uang pinjol untuk bermain judi online maupun foya-foya bersama temannya.

"Berbagai pinjol sudah saya coba, dari yang legal sampai yang ilegal. Uang pinjol itu saya gunakan biasanya untuk main slot," ungkap IA kepada IDN Times, Jumat (23/1/2023).

Sebagai pekerja, IA mengaku uang gajinya tak mampu memuaskan gaya hidupnya. IA pun memilih pinjol sebagai langkah cepat untuk mendapat uang tambahan.

"Daftarnya waktu awal dulu gak terlalu ketat, mengajukan dengan data pribadi langsung cair. Setelah cair saya sempat bayar, setelahnya gak pernah saya cicil lagi karena berbunga," jelas dia.

Kebiasaannya mengajukan pinjol dan tak mencicilnya membuat IA sering diteror melalui telepon oleh pihak operator. Tapi dirinya mengaku tak takut karena merasa perusahaan pinjol tersebut tidak akan mencari atau menggunakan kekerasan.

"Kalau penagihan di kota-kota besar mungkin ada dicari, kalau di sini belum pernah dengar atau merasakan ada penagihan dengan kekerasan. Paling hanya diteror dengan cara ditelepon, spam WA, atau menghubungi orang terdekat," jelas dia.

Agar tak melibatkan keluarganya saat perusahaan pinjol melakukan penagihan, dirinya memberikan kontak darurat teman dekat. Ia pun sudah berkoordinasi dengan temannya agar tak menghiraukan setiap chat atau spam yang masuk.

"Untuk mengatasi itu, terkadang kita kasih kontak darurat temen yang sama-sama melakukan pinjaman online. Jadi data pribadi yang disebarkan masih aman," jelas dia.

Hal serupa dilakukan WK (28) pegawai swasta di Palembang. Dirinya juga mengaku sering menggunakan pinjol saat kepepet butuh uang. "Prinsipnya kalau pinjol harus menebalkan muka. Saya gak ambil pusing kalau harus di-spam, dan gak merasa rugi karena duit sudah cair," jelas dia.

Beberapa pinjol legal dan sebagian ilegal telah dicobanya. Untuk pinjol legal. dirinya sudah tak bisa mengajukan karena terganjal BI Checking. Ia pun memilih meminjam uang dari pinjol ilegal.

"Saya pakai joki untuk mengatasi statistik buruk saya di perusahaan pinjol. Jadi kalau mau coba pinjol bisa tembus, dengan catatan berbagi, biasanya joki motong uang hingga 30 persen," jelas dia.

WK menyadari dampak buruk dari pinjol yang tak dibayar akan menjadi masalah di kemudian hari. Ia menyadari akan terganjal dalam setiap transaksi di massa yang akan datang.

"Saya tahu risikonya kalau sudah BI Checking. Tapi mau gimana, terkadang kebutuhan mendesak, pinjaman ke bank ribet dan sulit. Kalau pinjol cukup data diri saja, mau yang legal maupun ilegal," jelas dia.

MFA (22) seorang mahasiswa perguruan tinggi di Yogyakarta mengaku meminjam dari Pinjol Ilegal karena ia berpikir pengajuannya mudah dan tidak tercatat dalam BI Checking.

Dari grup Facebook ia mencari informasi seputar pinjol. MFA sengaja mencari pinjol ilegal dengan alasan semisal tidak bisa membayar tidak terkena BI Checking. "Mikir awalnya, karena semisal gak bisa bayar gak ada sangkut pautnya dengan BI Checking," ujar MFA.

Baca Juga: Sumsel Peringkat 7 Nasabah Pinjaman Online Terbanyak Nasional

Pelajari bunga dan denda saat mengajukan pinjol atau Paylater jangan mudah tergoda promo

Derita Gen Z Lunasi Pinjol, Gagal Bayar Cicilan Diteror Penagih UtangGoogle Image


Tak hanya pinjol, fasilitas paylater juga kini menjadi daya tarik tersendiri bagi GenZ dan millenial untuk pembelian barang kebutuhan mereka. Fasilitas di aplikasi digital ini satu sisi akan memudahkan konsumen dalam bertransaksi, tapi di sisi lain bisa berujung petaka karena mendorong sikap konsumtif hingga terlilit hutang.

Sari, seorang mahasiswa semester 4 di salah satu universitas di Lampung mengatakan meski dirinya belum bekerja ia merupakan pengguna aktif layanan paylater di salah satu e-commerce terkenal. Hal itu dilakukannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari di kos.

“Saya bilang ke orang tua dan kakak juga kalau pinjam. Karena memang yang membayar kalau gak kakak ya orang tua. Tapi saya belinya untuk kebutuhan harian kayak pulsa, listrik, yang seperti itu. Soalnya saya kan ngekos di Bandar Lampung,” katanya, Jumat (27/1/2023).

Senada dengan Sari, Faiza lulusan Universitas Lampung 2020 ini mengaku telah menggunakan fasilitas paylater sejak dirinya masih mahasiswa. “Waktu itu kebetulan lagi ngurus skripsi sambil freelance, jadi udah mulai gak pernah minta uang ke orang tua lagi kecuali untuk UKT. Jadi kebutuhan sehari-hari dan lainnya mulai bayar sendiri, kadang uangnya belum ada tapi udah harus beli ini itu jadi cobalah pake paylater,” katanya.

Karena harus membayar dan bertanggung jawab sendiri atas pinjamannya, Faiza merasa tidak perlu meminta izin kepada orang tuanya terkait hal ini. Ia tetap berusaha membayar sendiri tanpa melibatkan keluarganya meski pernah mengalami telat membayar satu kali.

“Waktu itu agak kaget kirain bunganya kecil, ternyata kalau gak salah 10 persen dari yang dipinjem. Untung waktu itu nominal denda telatnya cuma 18 ribu/hari. Dari situ langsung dilunasi dan gak pernah telat bayar lagi,” katanya.

Meski begitu hingga saat ini dirinya mengaku masih menggunakan jasa paylater untuk memudahkan transaksi karena uangnya sudah tersedia. Selain itu pengguna paylater juga mendapat keuntungan khusus seperti promo dan gratis ongkir sehingga menguntungkan baginya.

“Sebenernya (paylater) bermanfaat, bunganya juga kecil tapi sebaiknya digunakan dengan bijak. Lebih baik pakai kalau bisa bayarnya, kalau gak bisa bayar kayaknya bakal keteteran banget, takutnya jadi merugikan kita nantinya kalau dendanya udah terlalu banyak,” imbuhnya.

Annissah Rachmayanti (23) mengaku pernah menggunakan fasilitas paylater yang disediakan di sejumlah aplikasi digital saat ia merantau dari Surabaya ke Semarang untuk melanjutkan kuliah S2 di sebuah perguruan tinggi Ibu Kota Jawa Tengah.

“Pertama kali pakai paylater itu saat pindah di Semarang. Saya butuh membeli perabotan untuk mengisi kos seperti setrika, kipas angin, dan lainnya. Namun, karena belum dapat kiriman (transfer) dari orang tua, akhirnya saya putuskan pakai paylater,” ujarnya.

Annissah pun langsung berbelanja perabotan yang dibutuhkan dan membayar tagihan senilai Rp280 ribuan. Sebulan kemudian, saat hendak membayar tagihan ia kaget dengan nilai cicilan yang ditagihkan paylater. Sebab, selain menagihkan angsuran pokok dan bunga, paylater dari aplikasi belanja online tersebut juga menagihkan biaya administrasi dan biaya penangguhan. Sehingga ia harus membayar angsuran yang membengkak dari Rp108 ribu menjadi Rp120ribu.

“Ya, aku kaget kok tagihannya tidak sesuai dengan yang ditagihkan di awal senilai Rp108 ribu malah jadi Rp120 ribu. Ini kan pembohongan publik. Mau dicancel juga tidak bisa, akhirnya ya harus tetap mencicil tiga kali selama tiga bulan dan tepat waktu. Sebab, kalau melebihi waktu jatuh tempo bakal kena denda Rp10 ribu per hari. Kalau melebihi tiga hari denda jadi Rp15 ribu per hari,” jelas anak Gen Z itu.

Meski punya pengalaman pahit membeli barang dengan fasilitas paylater di aplikasi belanja, namun Annisah mengaku masih memanfaatkan paylater namun dari aplikasi aplikasi digital serba bisa yang melayani transportasi hingga pemesanan makanan secara online. Alasannya karena aplikasi tersebut memberikan berbagai kemudahan dan promo. Sebagai anak kos ia sering memanfaatkan paylater untuk memesan makanan atau transportasi kalau ke kampus.

“Jadi, sebenarnya pembayaran paylater ini nilai plusnya memang membantu, tapi minusnya jadi terlalu konsumtif. Kadang-kadang bikin lupa budgetku cuma segini, trus pengen beli sesuatu lalu nambah lagi pengajuan dana. Sehingga, memang kalau memang butuh pakai paylater harus cerdas dan bijak memanfaatkannya,” tandasnya.

Prakosa (23) asal Klaten Jawa Tengah yang menjalankan usaha servis ponsel mengaku terbantu dengan adanya paylater ini, Ia kerap memanfaatkan fasilitas ini untuk membeli spare part yang dibutuhkan untuk memperbaiki ponsel pelanggannya yang rusak. "Para pelanggan ini biasanya bayar belakangan setelah HP selesai diperbaiki, sementara kadang kita gak cukup uang untuk beli spare part, ya saya pakai paylater," katanya. Uang jasa perbaikan dari pelanggan tersebut menurut Prakosa yang digunakan untuk melunasi pinjaman di paylater.        

Baca Juga: Cerita Gen Z Pengguna Paylater, Tagihan Membengkak saat Bayar Tagihan

Baca Juga: Ini Alasan Mahasiswa Lampung Belum Berpenghasilan tapi Pakai Paylater

Gen Z harus paham skema cicilan sebelum mengajukan pinjol

Derita Gen Z Lunasi Pinjol, Gagal Bayar Cicilan Diteror Penagih UtangIlustrasi menggunakan media sosial (Pexels.com/Porapak Apichodilok)

Menanggapi fenomena makin banyaknya Gen Z dan juga millenial yang memilih menggunakan pinjol maupun paylater, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung, Nairobi mengatakan ada beberapa faktor mahasiswa masih belum memiliki penghasilan namun mengajukan pinjol atau paylater ini.

“Satu gaya hidup, bisa saja dia ini lingkungannya mendukung supaya dia berperilaku seperti menengah ke atas tapi keuangannya tidak mencukupi. Pengin punya HP bagus tapi gak punya uang, akhirnya minjem atau utang (paylater),” katanya.

Kemudian faktor kedua adalah ketidakjelasan bentuk promosi atau sosialisasi jasa pinjol/paylater dalam mengiklankan jasanya. Sehingga calon pengguna kemungkinan tidak mengetahui detail pinjaman atau bahkan tak merasa itu adalah utang.

“Jadi tahunya hanya sekadar belanja terus bayar nanti, konsepnya begitu. Padahal paylater sebenarnya juga ada bunganya, ada dendanya. Itu gak dimunculkan sama mereka. Kalaupun ada penjelasan berupa tulisan pasti sedikit yang baca karena panjang sekali. Sehingga saya rasa perlu juga ada aturan jelas paylater itu iklannya seperti apa,” paparnya.

Sehingga satu-satu tips darinya yakni agar mahasiswa mengubah gaya hidupnya sendiri. Ia menyarankan agar mahasiswa harus tahu risiko berutang dengan bunga seperti itu apa. Apalagi jika belum memiliki penghasilan sendiri.

Guru Besar Fakultas Ekonomi dari Universitas Sriwijaya (Unsri), Bernadette Robiani melihat fenomena semakin banyaknya millenial dan GenZ terjerat utang fintech dari dua sisi.

Pertama, kemudahan pencairan dana dari pinjol ilegal yang tak terawasi oleh OJK. Kedua, ada kebutuhan masyarakat yang meningkat dan hal tersebut tidak bisa dipenuhi oleh perbankan.

"Ada sisi konsumen yang bisa dilihat, di mana meningkatnya kebutuhan dan keperluan dana yang tidak bisa diakses dengan mudah jika berurusan dengan perbankan," jelas dia.

Menurutnya, pinjol yang diawasi oleh OJK memiliki aturan yang hampir sama dengan perbankan. Sedangkan pinjol ilegal seperti halnya renternir tak terawasi. Kondisi ini menjadi pekerjaan rumah bagi OJK untuk menerbitkan regulasi, agar tak semakin banyak orang yang terjerat.

"Bank tidak akan memberi kredit di luar kemampuan konsumen. Mereka dinilai dari pendapatan. Kebanyakan orang melakukan pinjol karena tak ada pengecekan atau agunan yang harus disertakan, cukup KTP saja dan mereka bisa mendapatkan pinjaman," jelas dia.

Bernadette Robiani menambahkan, peminjaman yang diberikan perusahaan FinTech ilegal kerap memberi bunga yang tak sesuai aturan perbankan. Kondisi itu akhirnya membuat orang berstatus gagal bayar.

"Masalah ini (Pinjol Ilegal) sudah jadi rahasia umum. Idealnya ada pengawasan dari OJK, hanya saja OJK hanya mengawasi yang legal saja. Sulit juga mengawasi pinjol ilegal, seperti halnya rentenir tidak ada pengawasan," jelas dia.

Bernadette menyayangkan jika banyak anak muda yang harus terjerat pinjol. Menurutnya, gaya hidup konsumtif harusnya dihindari dengan menimbang-nimbang untung maupun rugi dari melakukan peminjaman.

"Mahasiswa kebanyakan tidak memiliki penghasilan, dari mana mereka uang untuk melakukan cicilan? Terlebih kalau hanya untuk keperluan konsumtif karena orangtuanya tidak membelikan handphone, misalnya," jelas dia.

Sedangkan mahasiswa yang berasal dari keluarga kurang mampu diimbau tidak melakukan pinjol untuk keperluan kampus. Mereka dinilai bisa mencoba cara lain, seperti mengakses beasiswa atau menghubungi universitas tempatnya belajar agar mencari solusi bersama-sama.

"Perlunya pengawasan perusahaan FinTech agar terkoneksi dengan OJK, sehingga mahasiswa yang akan meminjam uang sulit mengakses karena datanya terkoneksi," tutup dia.

Senada Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mataram Muhammad Firmansyah mengatakan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus mengatur teknis pemberian kredit pinjol agar tidak membebani masyarakat.

"Pinjol ini kredit meringankan dalam prosesnya. Tapi setelah itu baru kelihatan memberatkan peminjam. Fenomena orang terjerat utang pinjol saya prediksi akan meledak," katanya saat berbincang dengan IDN Times di Mataram, Sabtu (28/1/2023).

Untuk itu, OJK diminta rajin turun melakukan sosialisasi ke kampus-kampus memberikan edukasi kepada mahasiswa. "Jangan sampai mahasiswa menjadi terganggu studinya. Dikejar-kejar oleh penagih utang maka tidak akan bisa konsentrasi untuk kuliah," tandasnya.

Baca Juga: Gaya Hidup yang Berujung Jeratan Utang Pinjol, Gen Z Butuh Edukasi 

Upaya agar mahasiswa tak terjerat pinjol, kampus sediakan beasiswa dan program kewirausahaan

Derita Gen Z Lunasi Pinjol, Gagal Bayar Cicilan Diteror Penagih Utangblog.ub.ac.id


Universitas Brawijaya (UB) mengingatkan mahasiswanya agar tidak sembarangan mengakses layanan pinjol dan paylater.

"Saya mengingat kepada mahasiswa karena Pinjol ini yang sering membuat resah. Jadi kita mengimbau kalau bisa tidak perlu meminjam uang di pinjol yang tidak jelas. Supaya tidak terjadi masalah di kemudian hari," terang Humas Universitas Brawijaya, Kotok Guritno kepada jurnalis IDN Times pada Sabtu (28/01/2023).

Tidak hanya memberikan imbauan saja, UB memberikan berbagai bantuan kepada mahasiswa yang kurang mampu. Di antaranya adalah beasiswa yang bisa diakses oleh semua mahasiswa yang berkuliah di kampus biru ini.

"Selain beasiswa yang ditawarkan perusahaan atau pemerintah, UB sendiri menyediakan bantuan untuk orangtua yang terdampak ekonominya. Misalnya karena pensiun, meninggal, atau PHK, atau juga usahanya terdampak COVID-19. Bisa mengajukan bantuan di bantuankeuangan.ub.ac.id," jelas Kotok.

Selain itu, UB juga menyediakan bantuan keuangan melalui Basis UB yang dananya digalang dari para dosen UB. Jadi tidak ada alasan bagi mahasiswa UB tidak melanjutkan kuliah gara-gara biaya.

Kotok juga mengatakan kalau ada mahasiswa UB yang terjerumus oleh pijol bisa melaporkan kepada pihak Kemahasiswaan Universitas Brawijaya. "Langkah-langkah dari kampus sudah membagikan informasi bahayanya pinjaman online ini melalui media sosial sampai melalui perwakilan mahasiswa," bebernya.

Kotok menyebut banyak mahasiwa yang terjerat pinjol dan paylater karena gaya hidup yang hedonisme, mengikuti gaya selebriti di media sosial dan pergaulan yang tidak sehat. Oleh karena itu, ia mengimbau agar para mahasiswa/mahasiswi agar hidup sederhana dan apa adanya.

"Kalau memang membutuhkan dana tambahan bisa dengan memulai wirausaha atau kerja part time. Karena dari kampus ada Program Kewirausahaan Mahasiswa (PKM) sehingga mahasiswa bisa kuliah sambil bekerja," tukasnya.

Sementara itu Wakil Rektor IV Universitas Lampung Suharso mengatakan pihaknya belum memiliki kebijakan khusus terkait masalah pinjol atau paylater dikalangan mahasiswa.

“Belum ada kebijakan soal itu dan sebenarnya bukan hanya mahasiswa ya. Dosen juga sepertinya pernah ada masalah soal pinjol ini tapi bukan telat bayar atau apa tapi lebih ke namanya dipakai orang buat minjam pinjol. Itulah maka kita perlu hati-hati juga sekarang soal bagi-bagi data kita, jangan sembarangan,” katanya.

Terlepas dari legal maupun ilegal jasa tersebut, Suharso tetap menyarankan mahasiswa untuk tidak menggunakan jasa tersebut. Pasalnya, mahasiswa notabene belum memiliki penghasilan sendiri. Sehingga jika bermasalah secara finansial bisa dikomunikasikan pada orang tua atau orang terdekat.

“Lihat kebutuhannya juga ya untuk apa. Kalau misalnya masalah makan ya bisa lah sama kawan nebeng-nebeng dulu, kecuali untuk bayar kuliah lain cerita ya harus diskusikan dengan orang tuanya. Jangan sampai salah jalan dan menyusahkan diri sendiri nantinya,” ujarnya.

Baca Juga: UB Tawarkan Bantuan Agar Mahasiswa Tak Terjerumus Pinjol 

Gali lobang dan tutup lobang seringkali merupakan strategi pinjol ilegal, masyarakat harus waspada

Derita Gen Z Lunasi Pinjol, Gagal Bayar Cicilan Diteror Penagih UtangOtoritas Jasa Keuangan (OJK). (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra)

Lalu bolehkah mahasiswa mengajukan pinjaman online? Kepala OJK Lampung Bambang Hermanto mengatakan, peraturan terkait pinjaman berbasis online tercantum dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77/POJK.01/2016 mengenai Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI).

Dalam peraturan tersebut, peminjam merupakan individu atau badan hukum yang memenuhi kriteria ditentukan oleh Penyelenggara Fintech Lending untuk menerima dana pinjaman.

“Jadi syarat pinjamannya di tiap fintech itu sebenarnya berbeda-beda. Ketika memang syaratnya sudah terpenuhi dan disetujui oleh fintech lending tersebut maka penerima bisa dapat pinjaman. Karena di fintech leding yang legal itu tidak sembarangan memberikan pinjaman pada semua orang, ada seleksinya,” jelasnya.

Bambang menyampaikan, ada beberapa cara untuk membedakan antara fintech lending dengan pinjol ilegal. Pertama adalah wajib mengecek legalitas jasa pinjol melalui website www.sikapiuangmu.ojk.go.id, www.ojk.go.id atau bit.ly/daftarfintechlendingOJK.

“Pakai WA pun sekarang bisa. Tanya saja pinjol apa yang mau diperiksa chat ke 0811-5715-7157 atau telepon 157 juga bisa. Kemudian periksa juga data pinjol seperti alamat kantor pinjol, layanan konsumen, dan pengurus,” jelasnya.

Kemudian pinjol legal hanya boleh mengakses CAMILAN saja yakni Camera, Microphone, dan Location. Jadi tidak ada pinjol legal meminta kontak, foto atau video.

“Terus cek kewajaran suku bunga dan denda. Wajib teliti membaca syarat dan perjanjian pinjaman. Besaran cicilan juga wajib tahu dan sebaiknya tidak tergiur dengan iming-iming pinjaman cepat tanpa agunan. Jangan lupa simpan bukti percakapan,” tambahnya.

Bambang juga mengimbau agar masyarakat tidak gali lobang tutup lobang. Artinya tidak meminjam uang untuk menutup utang sebelumnya hingga menjadi lingkaran setan mematikan.

“Karena sering kejadian yang sudah-sudah, biasanya kan udah minjem di pinjol 1 nih, gak bisa bayar. Nanti ada pinjol 2 yang nawarin. Nah ini modus yang ada kemungkinan pinjol 1 dan 2 ini satu grup. Ketika mereka menemukan kesulitan di pinjol pertama mereka akan menawarkan di pinjol kedua. Itu satu owner atau satu pemilik,” katanya.

”Maka kita bersama dengan Asosiasi Fintech Indonesia selain membuat kode etik juga memberikan eduksi pada masyarakat agar bisa membedakan mana pinjol yang ilegal dan fintech yang legal. Kami juga selalu bekerja sama dengan satgas waspada investasi yang ada di seluruh daerah melakukan identifikasi terhadap pinjol yang mungkin dari laporan masyarakat atau cyber patroli,” jelasnya.

Tips dari OJK Hindari Kredit Macet Pinjol, pinjam sesuai kebutuhan

Sementara itu agar tak terjerat di kredit macet pinjol Kepala Otoritas Jasa Keuangan Daerah Istimewa Yogyakrta (OJK DIY), Parjiman, memberikan saran bagi yang ingin melakukan pinjaman secara daring.

Parjiman mengingatkan sebelum melakukan pinjaman melalui aplikasi pinjaman online atau paylater, konsumen dan/atau masyarakat dapat memastikan beberapa hal, seperti meminjam pada fintech peer to peer (P2P) lending yang terdaftar di OJK.

Tidak hanya memastikan legalitas perusahaan yang memberikan pinjaman. Parjiman juga mengingatkan agar meminjam sesuai kebutuhan dan kemampuan. "Memahami manfaat, biaya, bunga, jangka waktu, denda, dan risikonya. Serta, meminjam untuk kepentingan yang produktif," kata Parjiman.

Parjiman juga menyinggung ada sejumlah faktor yang membuat pinjaman macet. Mulai dari kualitas penilaian kelayakan pemberian pendanaan (credit scoring), kegiatan collection, tidak adanya mitigasi risiko pendanaan yang memadai, ataupun faktor kondisi keuangan peminjam pada saat jatuh tempo.

"Sampai dengan saat ini, masing-masing penyelenggara fintech P2P lending memiliki variasi penyebab permasalahan pinjaman macet karena kompleksitas dan perbedaan model bisnis yang dilakukan. OJK terus melakukan monitoring terhadap perubahan tingkat pinjaman macet setiap penyelenggara agar penyelenggara memitigasi peningkatan risiko gagal bayar dalam penyelenggaran kegiatan usaha fintech P2P lending," ucap Parjiman.

Terkait siapa saja yang melakukan pinjaman, OJK telah mengatur dalam POJK 10/2022 yang mendefinisikan penerima dana (borrower) dapat berupa orang perseorangan, badan hukum, dan/atau badan usaha yang menerima pendanaan (pinjaman).

"Adapun pihak yang dapat menjadi penerima dana yaitu warga negara Indonesia, badan hukum Indonesia, dan/atau badan usaha Indonesia. Selain itu, penyelenggara fintech P2P lending diwajibkan untuk memerhatikan kesesuaian antara kebutuhan dan kemampuan penerima dana dalam memfasilitasi pemberian pendanaan," ujar Parjiman.

Tim penulis: Rohmah, Mustaurida (Lampung), Herlambang Jati Kusumo (Yogyakarta), Anggun Puspitoningrum (Jateng), Bandot Arywono (Jateng) Muhammad Iqbal (Banten), Masdalena Napitupulu (Sumut), Rangga Erfizal (Sumsel), Rizal Adhi Pratama (Jatim), M Nasir (NTB), Wayan Antara (Bali), Sri Wibisono (Kaltim)

Baca Juga: Tips dari OJK DIY Hindari Kredit Macet Pinjol

Topik:

  • Bandot Arywono

Berita Terkini Lainnya