10 Jurus Bertahan Pedagang Pasar Tradisional Indonesia saat Pandemik

Berjuang sendiri karena pemerintah luput memberi perhatian

Semarang, IDN Times - Wabah COVID-19 berdampak pada semua sektor, tidak terkecuali perekonomian pedagang pasar tradisional di Indonesia. Geliat pasar tradisional diyakini mampu menopang perekonomian negara saat pandemik. Namun tidak bagi para pedagangnya, dengan segala cara terpaksa mereka lakukan agar mampu bertahan pada masa pagebluk saat ini.

Jumlah pembeli terus menurun lantaran beragam sebab. Mulai dari takut terinfeksi virus corona karena tidak sedikit kasus klaster penyebaran COVID-19 terjadi di pasar tradisional.

Belum lagi perilaku pedagang yang kerap dicap membandel menerapkan protokol kesehatan, khususnya tidak benar dalam memakai masker, jarang mencuci tangan, serta tidak mengindahkan kerumunan hingga abai terhadap jaga jarak.

Kenyataan pahit tersebut memengaruhi pendapatan mereka. Bahkan, tidak sedikit dari pedagang yang masuk kategori kurang mampu luput masuk daftar pemberian bantuan sosial maupun program pengentasan ekonomi dari pemerintah.

Berikut kisah pilu mereka mengarungi beratnya kehidupan sebagai pedagang pasar tradisional kala pandemik COVID-19 di beberapa daerah di Indonesia.

Baca Juga: Lika-liku Pedagang Kerajinan Khas di Klungkung, Promo Via TikTok

1. Bersabar menunggu pembeli

10 Jurus Bertahan Pedagang Pasar Tradisional Indonesia saat PandemikIDN Times/Wayan Antara

Tersendatnya aktivitas pariwisata di Bali berimbas terhadap penghasilan para pedagang produk kerajinan di pasar tradisional seni Semarapura, Klungkung, Bali. Mereka mengeluhkan sepinya pembeli baik dari wisatawan maupun pembeli lokal.

Padahal pasar tersebut merupakan salah satu pusat perbelanjaan yang populer menjual produk-produk kerajinan seni di Kabupaten Klungkung, seperti suvenir, kain tradisional endek, juga songket khas Bali.

Salah satu pedagang di blok A, Putu Suniani Antari (32), hanya bisa berpasrah kepada keadaan, dibandingkan harus frustasi memikirkan pendapatannya yang anjlok. Ia mengakui turunnya transaksi, selain akibat pandemik COVID-19 juga dikarenakan rendahnya daya beli masyarakat karena sebagian besar memilih menunda membeli kerajinan yang dianggap sebagai kebutuhan tersier.

Data Dinas Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dan Perdagangan Klungkung, I Wayan Ardiasa, menyebutkan penurunan penjualan yang dialami para pedagang di pasar tersebut sudah terjadi semenjak Februari 2020. Jika para pedagang dalam satu hari mampu mendapat pemasukan Rp1 juta, kini maksimal hanya Rp150 ribu bahkan nihil.

Walaupun dalam keadaan sulit, Pemerintah Kabupaten Klungkung tetap menarik retribusi pasar sebesar Rp5 ribu setiap hari dari para pedagang karena mengklaim belum ada aduan, keluhan, maupun keberatan atas penarikan pungutan tersebut saat pandemik.

Penurunan jumlah pembeli dirasakan pedagang batik dan suvenir yang mengandalkan wisatawan di pasar tradisional Beringharjo dan Klithikan, Yogyakarta. Pendapatan mereka turun 70 persen.

Kisah serupa terjadi di daerah non-pariwisata. Kepasrahan tampak pada raut muka Sarofah, pedagang baju di pasar tradisional Kriyek, Centini, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Meski omzetnya turun sampai 50 persen efek dari sepinya konsumen, ia bersama sang suami masih istikamah berjualan membuka lapak dagangan mulai pukul 06.30-10.30 WIB setiap hari.

"Ya kuncinya kita harus telaten membuka lapak dagangan dan selalu berdoa (kepada Tuhan) agar ada pembeli yang datang. Karena sudah 30 tahun berjualan (konvensional) seperti ini, tidak bisa online," harap perempuan berusia 55 tahun itu kepada IDN Times.

Isnaini (28) merespon hal yang sama seperti Sarofah. Ia berharap pemerintah dapat memberikan bantuan kepada para pedagang pasar tradisional yang kesulitan secara perekonomian. Pedagang tas dan aksesoris mainan di pasar tersebut mengaku pernah mengajukan program bantuan dari pemerintah pusat, namun sampai saat ini tidak kunjung ada kabar mengenai hal tersebut.

Kepala Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Lamongan, Agus Suyanto mengaku sudah 74 ribu pelaku UMKM diusulkan kepada Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (KUKM) untuk mendapatkan bantuan. Ihwal apakah dari daftar tersebut ada nama Isnaini dan para pedagang dari pasar tradisional lainnya, Agus berkilah bahwa wewenang evaluasi dan validasi data siapa saja yang berhak menerima bantuan berada di tangan Kementerian KUKM.

2. Berserah kepada Tuhan dan keadaan

10 Jurus Bertahan Pedagang Pasar Tradisional Indonesia saat PandemikPedagang Pasar Ciroyom, Kota Bandung. IDN Times/Azzis Zulkhairil

Tidak adanya bantuan serta keterbatasan pengetahuan teknologi informasi mengharuskan beradaptasi dengan cara mereka sendiri. Keberanian untuk tetap berjualan dengan penerapan protokol kesehatan dilakukan supaya ada pemasukan sehingga ekonomi keluarga perlahan-lahan pulih.

Ujang Andi, penjual ikan Tongkol di pasar tradisional Ciroyom, Kota Bandung, Jawa Barat legawa meski pendapatannya terus anjlok sejak pandemik melanda Indonesia. Ia tidak berusaha beralih berjualan secara daring atau online.

Kini, Andi hanya mampu menjual 1 kuintal ikan Tongkol dalam satu bulan. Sebelum pandemik, 2 kuintal ikan bernama latin Euthynnus affinis itu ludes terjual selama dua minggu.

Jejak Andi diikuti Bagus Ismail. Penjual daging sapi bagian kepala di pasar tradisional Astana Anyar, Kota Bandung berharap supaya pemerintah lebih memperhatikan nasib para pedagang pasar tradisional.

"Jangan tebang pilih, dicarikan solusinya agar orang-orang seperti saya (pedagang pasar tradisional) tidak mengalami kesulitan berjualan. Jangan sampai (kami) gulung tikar," katanya.

Senasib, Nurhayati yang sudah 15 tahun berjualan di pasar tradisional Peterongan, Semarang, Jawa Tengah juga tidak bisa berbuat banyak ditengah sepinya pembeli barang dagangannya. Ibu tiga anak dan tiga cucu itu selalu menyemangati diri bahwa mereka yang bersabar dan telaten menunggu datangnya rejeki merupakan pedagang sejati.

Ketabahan Wayan Sutiningsih (40) kembali berjualan di pasar tradisional Pesiapan, Banjar Dauh Pala, Tabanan, Bali menjadi penyemangat dalam kondisi serba sulit saat ini. Ia sempat menjual sembako, sayur mayur, dan bumbu dapur melalui online memanfaatkan media sosial. Sayangnya, upaya tersebut tidak membuahkan hasil karena barang yang ditawarkan tidak ada yang terjual.

"Sekarang (di pasar tradisional) malah lebih banyak pedagangnya dibandingkan pembelinya. Masih bersyukur ada saja yang beli setiap hari. Yah, walaupun tidak ramai saya masih bisa berjualan dan masih bisa dapat rejeki untuk makan," akunya kepada IDN Times.

Baca Juga: Kisah Pedagang Pasar Tradisional yang Gulung Tikar Gara-gara Pandemik

3. Pindah berjualan melalui online

10 Jurus Bertahan Pedagang Pasar Tradisional Indonesia saat PandemikPedagang di Pasar Prambanan, Sleman. IDN Times/Febriana Sinta

Tidak mau hanya berpangku tangan, Ni Ketut Sonia (28) membuat akun Instagram untuk memasarkan produknya berupa pakaian adat khas Bali. Selain media sosial, ia juga mencoba peruntungan membuat etalase digital melalui laman perdagangan elektronik atau e-commerce Tokopedia dan Shopee.

Inovasi tersebut ia lakukan karena penjualannya di pasar tradisional seni Semarapura, Klungkung, Bali merosot tajam. Bahkan akhir-akhir ini, aktivitas hariannya hanya membuka dan menutup kios, dari pagi ke sore hari, saking tidak adanya pembeli yang mampir.

Berdagang secara daring diakui Sonia menjadi hal baru meski hasil penjualannya masih jauh dari yang diharapkan. Ia meyakini ada sedikit asa dan manfaat bagi dirinya, selain tambahan ilmu mengenai teknologi informasi, juga jejaring dunia maya. Salah satunya menentukan kalangan dan pangsa pasar mana yang bakal dibidik untuk pemasaran.

"Misal kalau target pembeli anak muda, marketplace Facebook kurang efektif. Tapi efektif pakai Instagram, dan kalau mau coba juga promonya pakai TikTok. Hasilnya belum seberapa, tapi lumayan untuk menjangkau pasar yang lebih luas. Sekarang sedang berproses, semoga saja dari online juga lancar," harapnya.

Berjualan via online sempat membingungkan Darmi. Berdagang di pasar tradisional Prambanan lebih dari 10 tahun, dirinya sama sekali tidak pernah mengenyam wawasan teknologi digital sebagai modal berdagang di dunia maya.

Pada usianya yang sudah 69 tahun, Darmi harus belajar menggunakan WhatsApp sebagai sarana komunikasi dengan pembeli, serta aplikasi belanja online yang sudah ia daftarkan. Sekarang, ia lihai menerima pesanan buah-buahan menggunakan WhatsApp. Sesekali, Darmi meminta tolong sang Anak untuk mengantar pesanan ke rumah pembeli, yang jaraknya tidak terlalu jauh dari pasar.

Ia menjadikan rumah sebagai kios kedua, untuk menampung pesanan yang tidak terlayani setelah jam pasar tutup, sampai malam hari.

Perputaran uang yang lamban dialami Wiwit, pedagang baju di pasar tradisional 16 Palembang, Sumatera Selatan. Aktivitas jual beli di kiosnya masih sepi meskipun ia sudah menurunkan harga untuk menarik minat pembeli. Supaya tidak semakin terpuruk, ia merambah berjualan secara online sebagaimana Darmi lakukan.

"Dulu mikirnya orang Palembang lebih suka datang ke toko. (Pandemik) makin ke sini, banyak yang memilih belanja online, kurir juga sudah banyak. Saya baru menjalankan bisnis online," ungkapnya.

4. Bekerjasama dengan lokapasar lokal

10 Jurus Bertahan Pedagang Pasar Tradisional Indonesia saat PandemikLokapasar pasar Pandansari, Balikpapan melalui aplikasi pandansari.id. Dok. pandansari.id

Misbahul Arifin menggagas lokapasar atau marketplace pandansari.id untuk membantu pedagang dan pembeli di pasar tradisional Pandansari, Balikpapan, Kalimantan Timur. Melalui laman tersebut, pedagang terbantu menaikkan transaksi penjualan. Sementara bagi pembeli, fasilitas tersebut membantu dalam penerapan protokol kesehatan untuk tetap menjaga jarak dan menghindari kerumunan.

Situs web yang diluncurkan sejak 2018 itu menyediakan fitur penjualan sayur mayur, daging, ikan dan bahan makanan lainnya, dilengkapi dengan harga terbaru. Belakangan semenjak pandemik COVID-19 melanda, order melalui laman tersebut meningkat. Tetapi akhir-akhir ini, diakui Arifin malah melandai.

Semula, Arifin membuat pandansari.id guna membantu usaha orangtuanya yang terkendala penjualan saat pandemik di pasar tersebut. Berjalannya waktu, penjual lain ikut terbantu mendapatkan pembeli lewat online, ditengah keterbatasan pengetahuan teknologi digital mereka.

Arifin mengaku sampai saat ini belum mendapatkan dukungan dari Pemerintah Kota (Pemkot) Balikpapan meskipun ia telah menyampaikan terobosan tersebut.

Penerapan serupa dibuat Tim Pengabdian Masyarakat Tanggap Darurat COVID-19 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (Fisipol UGM) bekerja sama dengan Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (Pustek) UGM di Yogyakarta. , Mereka membuat pasarsambilegi.id sejak Juni 2020. Beragam produk dijual melalui laman tersebut, seperti sayuran, makanan tradisional, dan jamu tradisional.

Baca Juga: Jurus Pedagang Jahe di Semarang Bertahan kala Pandemik COVID-19

5. Menurunkan harga meski harus merugi

10 Jurus Bertahan Pedagang Pasar Tradisional Indonesia saat PandemikHermanto Manalu, seorang pedagang di pasar tradisional jalan Tanjung Selamat. IDN Times/Indah Permata Sari

Pasar tradisional menjadi sorotan publik karena maraknya klaster COVID-19 dari tempat tersebut. Tetapi Hermanto Manalu (36) tidak punya opsi lain sehingga tetap berjualan sembako dan sayur mayur di pasar tradisional Tanjung Selamat di Jalan Besar Tanjung Selamat, Deli Serdang, Sumatera Utara. Ia pun waspada dengan menerapkan protokol kesehatan virus corona dengan cermat.

"Mau gak mau harus tetap jualan apapun ceritanya karena itu lah, yang membuat kita bisa bertahan. Walaupun adanya dampak karena sepi tadi. Kalau kita gak jualan dapat income dari mana. Dari pemerintah gak ada, walaupun mungkin ada bantuan-bantuan tapi gak semua (pedagang pasar tradisional) dapat," ujarnya.

Hermanto yang sudah berdagang selama 4 tahun menyadari jika selama pandemik COVID-19 daya beli masyarakat menurun, terlebih apabila ditambah adanya kenaikan sejumlah komoditas, sehingga memengaruhi perputaran uang dan barang dagangannya. Ia pun rela mendapat untung sedikit dengan menurunkan harga penjualan lebih rendah dari pedagang lainnya demi menarik perhatian pembeli.

6. Menjual produk yang laku keras

10 Jurus Bertahan Pedagang Pasar Tradisional Indonesia saat PandemikSeorang pedagang tampak memotong jahe merah. IDN Times/Fariz Fardianto

Menjadi pedagang pasar tradisional pada situasi yang serba dibatasi saat ini tidak gampang. Triyani, pedagang empon-empon di pasar tradisional Peterongan, Semarang, Jawa Tengah merasakan betul perjuangannya memutar otak agar bisa bertahan pada masa pandemik COVID-19.

Yani, sapaan akrabnya mengaku mujur karena diuntungkan dengan tren masyarakat yang gemar mengonsumsi minuman-minuman rimpang tersebut. Meski menyediakan berbagai jenis empon-empon, ia selektif hanya fokus menjual bahan yang laku keras di pasaran.

"Saya enam bulan terakhir kan juga jualan temulawak, serai, kayu manis, kencur, jahe dan kunir. Tapi pembeli malah sering borongnya yang jahe. Terutama yang laris jahe merah, jahe emprit, dan jahe gajah. Sehari jahe merah saya laku sampai 10 kilogram. Selain memiliki khasiat menghangatkan tenggorokan, jahe juga bisa mengurangi gejala batuk dahak, pilek dan flu," kata perempuan berusia 56 tahun itu kepada IDN Times sembari melayani para pelanggannya.

Yani berterus terang apabila dirinya dapat meraup untung berlipat ganda, sampai lima kali lipat dibandingkan kondisi sebelum pandemik. Dari penjualan jahe, Yani sukses meraup untung berlipat ganda. Pembelinya mayoritas berasal dari para pedagang warung kecil maupun angkringan.

Baca Juga: Pandansari Online, Bantu Pedagang Pasar Tradisional di Masa Pandemik 

7. Menciptakan inovasi produk baru

10 Jurus Bertahan Pedagang Pasar Tradisional Indonesia saat PandemikJamu corona dari bahan kunyit, serai, temulawak, dan jahe. IDN Times/Anggun Puspitoningrum.

Inovasi dilakukan tidak hanya dari sisi marketing atau pemasaran, tetapi juga produk yang dijual semata untuk memantik atensi pembeli. Hal itu dilakukan Siswati, pedagang jamu di pasar tradisional BK Simongan, Semarang, Jawa Tengah yang mengkreasi produk minumannya sehingga unik dan eye catching (menarik perhatian) di mata konsumen.

Ia membuat menu baru bernama jamu corona. Jamu tersebut merupakan ramuan pribadi perempuan berusia 45 tahun itu, dari berbagai jenis empon-empon, mulai dari temulawak, serai, kunyit, dan jahe. Jamu corona sengaja dikemas dalam botol berukuran 300 mililiter supaya mudah dikonsumsi.

Jamu yang dijual dengan harga Rp5.000 per botol itu laris manis selama pandemik COVID-19. Siswati menyebut tidak sedikit pembeli yang meyakini jamu corona dapat meningkatkan stamina, imunitas serta daya tahan tubuh.

"Dari awal pandemik sampai sekarang jamu corona laris manis. Setiap orang pasti beli lebih dari satu botol. Bahkan pada awal-awal (pandemik) dulu, satu orang bisa beli 10 botol jamu corona, bahkan sampai rebutan. Mereka bawa pulang ke rumah untuk diminum sekeluarga atau bawa ke kantor," tuturnya.

Pesanan demi pesanan mengalir dan jumlah konsumen semakin bertambah. Siswati, yang menekuni dunia perjamuan sejak 2015 melebarkan sayap dengan membuka layanan delivery order melalui Whatsapp dengan batas minimal pemesanan. Saking ramainya, tidak sedikit dari pembeli yang menawarkan diri menjualkan kembali jamu corona dengan sistem reseller.

8. Mengubah barang yang dijual

10 Jurus Bertahan Pedagang Pasar Tradisional Indonesia saat PandemikBudi salah satu pedagang buah di Pasar Bambu Kuning Tanjungkarang. IDN Times/Silviana

Banyak yang berusaha untuk bertahan. Akan tetapi tidak sedikit juga yang menyerah pada kondisi terkini.

Budi Satriadi terpaksa menutup toko bajunya di pasar tradisional Bambu Kuning, Tanjung Karang, Lampung sejak Juni 2020, imbas dari pandemik COVID-19.

Ia beralih berjualan buah karena dianggap selalu dicari masyarakat dan menyehatkan. Apalagi saat wabah virus corona melanda sekarang, bapak dua anak itu sering menerima pesanan buah dari rumah sakit.

Budi tidak terlalu pusing mencari siasat untuk meningkatkan penjualannya karena sepinya konsumen yang pergi ke pasar tradisional. Ia cukup mengandalkan pembeli yang kerap memesan buah di kiosnya.

Baca Juga: Terdampak Pandemik, Pedagang Tradisional Bandung Hanya Bisa Pasrah

9. Nekat berjualan dengan protokol kesehatan

10 Jurus Bertahan Pedagang Pasar Tradisional Indonesia saat PandemikSuasana di Pasar Pesiapan Tabanan selama penerapan PPKM. IDNTimes/Wira Sanjiwani

Kasus pasar tradisional sebagai klaster COVID-19 terjadi hampir merata di Indonesia. Penyebab salah satunya adalah pedagang yang tidak benar mengenakan masker.

Hal tersebut diakui Dewi, pedagang pindang -ikan yang digarami dan dibumbui kemudian diasapi atau direbus sampai kering agar dapat tahan lama- dan ayam potong di pasar tradisional Pesiapan, Banjar Dauh Pala, Tabanan, Bali. Ia lebih sering menurunkan masker meski berisiko tertular virus corona.

Dewi mengakui penjualannya menurun sejak COVID-19 mewabah. Supaya tidak terus menerus merugi, ia membatasi pemesanan pindang dan ayam potong yang dijual.

"Terus terang kalau pakai sepanjang hari, sesak. Jadi kadang saya turunkan. Itu juga kalau sedang sepi dan tidak ada pembeli. Pindang saya ambil di produsen pindang, tidak buat sendiri. Dulu (sebelum pandemik) pindang sehari bisa habis. Kalau ayam, saya potong sendiri. Jadi jika ada yang beli, baru dipotong. Sehingga tidak rugi," jelasnya.

Dalam sebuah operasi yustisi oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) setempat pada 18 Januari 2021, sejumlah pedagang di pasar tradisional tersebut diberikan sanksi berupa teguran lisan dan tindakan fisik seperti hukuman kegiatan sosial dan push-up lantaran tidak memakai masker dengan benar.

10. Pasrah karena bangkrut

10 Jurus Bertahan Pedagang Pasar Tradisional Indonesia saat PandemikIlustrasi pasar tradisional. IDN Times/Besse Fadhilah

Pendapatan pedagang di pasar tradisional mengalami penurunan yang signifikan selama pandemik COVID-19. Tak sedikit dari mereka yang gulung tikar karena macetnya penjualan.

Ida (38), pedagang buah-buahan di pasar tradisional Binuangeun, Kabupaten Lebak, Banten mengalami hal tersebut. Pendapatan yang surut mencapai 70 persen memicu Ida menutup lapak usaha yang sudah digelutinya selama lima tahun.

Selama pagebluk, dalam satu hari dia hanya mendapatkan omzet Rp100 ribu sampai Rp200 ribu dari berdagang buah-buahan. Padahal, sebelum pandemik bisa menghasilkan Rp1 juta bahkan sampai Rp2 juta per hari. Penghasilan yang pas-pasan itu, hanya cukup untuk makan sehari-hari dan jajan dua anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar.

Keputusannya tersebut karena penghasilan dari penjualan yang terus menurun sehingga tidak mencukupi untuk setor ke distributor buah-buahan, tempat Ida mengambil bahan dagangan. Alhasil, ia terlilit utang.

Saat ini, untuk menopang kebutuhan keluarga dan membayar utang, Ida hanya menggantungkan pada usaha berdagang jengkol milik sang suami, Rudi (36) di pasar tersebut.

Sebagian besar pedagang pasar tradisional terdampak pandemik COVID-19, yang hampir satu tahun melanda Indonesia. Hiruk pikuk serta lalu lalang pembeli menjadi kenangan tersendiri bagi mereka saat ini. Semoga pandemik segera selesai dan kehidupan dapat terurai kembali seperti sediakala.

Baca Juga: Pedagang Pasar di Semarang Bertahan dengan Jamu Corona

Topik:

  • Dhana Kencana
  • Yogie Fadila

Berita Terkini Lainnya