Adaptasi Mandiri ala Pedagang Bakso Menghindari Rayuan Maut

Penurunan pendapatan saat pandemik membuat pedagang stres

Demak, IDN Times - Semangat Agung berkeliling menjajakan bakso dari satu permukiman ke permukiman lain, tak pernah surut. Ia berjualan dari pukul 4 Sore hingga 9 Malam, saban hari.

Pria berusia 45 tahun itu gigih menawarkan bakso ke semua orang. Baik yang ada di dalam maupun yang di luar rumah, dengan bunyi-bunyian lonceng khas di motornya. Sesekali ia berteriak, "Bakso..bakso!"

Jangkauan wilayah edarnya di dua kelurahan yang ada di Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Yaitu di Kelurahan Batursari dan Kelurahan Kebonbatur, dengan sasaran permukiman dan perkampungan warga.

Mandiri Beradaptasi

Adaptasi Mandiri ala Pedagang Bakso Menghindari Rayuan MautAgung Nugroho, penjual bakso keliling di Demak, Jawa Tengah. (IDN Times-Dhana Kencana)

Pemilik nama lengkap Agung Nugroho itu sudah menekuni usaha berjualan bakso keliling sejak 2018. Sayangnya, bisnis berskala rumah tangga miliknya goyah setelah pandemik COVID-19 melanda Indonesia, pada Maret 2020.

Ia mengaku, pandemik merupakan masa sulit dirinya berdagang bakso keliling. Pasalnya, omzet penjualannya merosot tajam terdampak virus corona drop sampai 50 persen sepanjang tahun 2020.

"Pemasukan menurun, karena sebagian orang takut membeli makanan dari penjual kelilingan kayak saya. Padahal saya juga menjaga protokol kesehatan dengan ketat, demi melindungi konsumen juga. Lha biasanya sebelum pandemik, bakso 4 kilogram (kg) selalu habis, sekarang cuma 2,5 kg bahkan kurang dari itu," kata pemilik bakso Nit_Not itu kepada IDN Times.

Agung bahkan pernah menghadapi situasi berat yang mana dalam beberapa hari ia sama sekali tak mendapatkan pembeli, meski sudah berkeliling selama lima jam menjajakan bakso. Kondisi itu membuatnya frustasi.

Perlahan namun pasti, bapak dua anak itu terus berjuang mandiri untuk tak berputus asa. Ia berinovasi beragam cara supaya dagangannya bisa bertahan dan laku pada masa sulit karena Agung merupakan tulang punggung sang keluarga.

Inovasi-inovasi yang dilakukan Agung bervariasi. Mulai dari penerapan protokol kesehatan COVID-19 sampai menjaga bakso tetap higienis sehingga aman dan nyaman dikonsumsi pembeli.

Memasuki tahun kedua pandemik, penjualan Agung berangsur meningkat, meski masih jauh dari kondisi normal sebelum virus corona terjadi di Indonesia. Perlahan ia bersyukur karena ada kemajuan kenaikan omzet.

"Ya, alhamdulillah. Ada beberapa warga yang sudah percaya bahwa saya menjual bakso dengan benar-benar menjaga kebersihan dan higienis. Termasuk protokol kesehatan, karena ternyata itu juga menjadi pertimbangan konsumen," ujarnya yang tinggal di daerah Kebonbatur, Demak.

Akses Permodalan Unbankable

Adaptasi Mandiri ala Pedagang Bakso Menghindari Rayuan MautLasiman, tukang bakso melayani konsumen di Semarang, Jawa Tengah. (IDN Times/Dhana Kencana)

Rupanya Agung tidak sendirian. Senasib seperti itu jamak dialami para pedagang bakso di Jawa Tengah, baik yang menetap--berjualan di tempat atau tenda--maupun yang berkeliling seperti Agung.

Asosiasi Pedagang Mie dan Bakso (APMISO) Jawa Tengah mengonfirmasi, hampir 80 persen usaha dari total 10 ribu anggotanya yang tersebar di 35 kabupaten/kota, terdampak pandemik COVID-19.

Mereka terpaksa harus bertahan mandiri di tengah seretnya bisnis yang dijalankan. Apalagi, tidak sedikit dari mereka merugi lantaran modal, omzet, dan aset yang dimiliki amblas untuk operasional harian.

"Pandemik, semua (pedagang) terdampak. Ada 80 persen anggota kami yang terkena imbasnya. Mulai dari menurunnya pembeli, lalu omzet juga drop, usaha tidak jalan dan berkembang, sampai ada yang harus pindah berjualan karena tidak bisa membayar tempat sewa," ujar Ketua APMISO Jateng, Lasiman ketika bertemu IDN Times, Selasa (27/4/2021)

Ia menyebut, para pedagang bakso yang notabene merupakan pelaku usaha ultra mikro (UMi), dengan sendirinya harus memutar otak agar usaha mereka tetap bisa berjalan di tengah keterbatasan finansial. Salah satu jalan terakhir ketika sudah buntu adalah mengajukan pinjaman uang (kredit) untuk tambahan modal.

"Kalau setiap hari merugi, tidak ada pemasukan, sementara mereka harus tetap berjualan di masa sulit (pandemik), lama kelamaan juga modal habis dan merugi. Gak ada yang beli, modal keluar terus. Untuk yang (penjual) kecil-kecil gak ada pilihan, mereka harus tetap berjualan bakso untuk menghidupi keluarga.Biar usaha tetap, mereka gak ada pilihan juga sehingga memberanikan diri untuk pinjam uang (kredit) membantu dan back-up permodalan. Dengan (pinjaman) Rp1 juta, Rp2 juta sampai Rp3 juta, usaha mereka sudah bisa jalan lagi, sehingga mereka bisa berinovasi dan adaptasi, apa yang kurang dan apa yang perlu dibenahi biar banyak pembeli meskipun masih COVID-19," tutur pria 62 tahun itu.

Adaptasi Mandiri ala Pedagang Bakso Menghindari Rayuan MautLasiman, Ketua APMISO Jateng. (IDN Times/Dhana Kencana)

Lasiman rutin--dalam setiap pertemuan bulanan--mengedukasi dan menyosialisasikan kepada para anggota organisasi nirlaba tersebut untuk tidak takut mengajukan pinjaman permodalan, terutama ke PT Pegadaian (Persero). Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) tersebut paling banyak dituju oleh para pedagang bakso yang mengajukan pendanaan bersifat fresh money (uang tunai).

Selain kemudahan proses pengajuan dan nominal pinjaman yang beragam--mulai Rp1 juta--, mereka ikut dilatih bertanggung jawab karena pinjaman yang diajukan disertai dengan penjaminan (agunan) berupa barang bergerak. Seperti emas, perhiasan, barang elektronik, atau kendaraan bermotor.

"Para pedagang bakso ini wong cilik (rakyat kecil), yang rata-rata tidak dapat dan tidak mampu mengakses perbankan (unbankable). Akeh sing ra ngerti (banyak yang tidak tahu) soal bank, kadang malah ada yang gak punya rekening bank," ungkapnya.

Sebagian besar anggota APMISO Jateng menggunakan layanan gadai skema konvensional (KCA-UMi) Pegadaian. Beragam keuntungan yang didapat dari servis tersebut menjadi alasan produk gadai itu menjadi primadona bagi mereka. Seperti bunga (sewa modal) yang dikenakan berkisar 1--1,2 persen per 15 hari.

Kemudian, lama jangka (tenor) pinjaman maksimal empat bulan dan angsuran dapat dicicil serta dilunasi kapan pun waktunya. Mereka juga tidak khawatir atas kondisi barang agunan karena diasuransikan oleh Pegadaian sehingga aman.

Layanan tersebut merupakan pengejawantahan dari mandat yang diberikan Kementerian Keuangan melalui Badan Layanan Umum (BLU) Pusat Investasi Pemerintah (PIP) kepada Pegadaian sebagai LKBB penyalur pembiayaan UMi, yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 193/PMK.05/2020 tentang Pembiayaan Ultra Mikro (UMi).

Baca Juga: Angkutan Barang KAI: Sang Penerang Kala Pandemik Menghadang

Mangsa Pinjol dan Rentenir

Lasiman selalu merekomendasikan kepada para pedagang bakso seperti Agung untuk memanfaatkan layanan gadai tersebut. APMISO juga mendampingi pedagang yang sama sekali tidak mempunyai barang bergerak namun memerlukan tambahan modal dari Pegadaian.

Hal itu sebagai bentuk komitmen perlindungan para anggota APMISO dari jeratan hutang yang tidak bertanggung jawab. Seperti menggunakan jasa rentenir (bank titil) atau pinjaman online (pinjol) ilegal. Sebab, para pedagang bakso kerap menjadi sasaran empuk rentenir dan pinjol akibat ketidakteraksesan mereka terhadap layanan perbankan.

"Kalau perlu modal kami (APMISO) selalu mengarahkan ke Pegadaian, pakai simpanan emas atau perhiasan atau barang elektronik yang dimiliki untuk agunan. Kalau tidak punya (jaminan), kami dampingi. Jumlah nominalnya juga bisa disesuaikan. Mau pinjam yang berapa? Sampai yang terkecil Rp50 ribu ada (di Pegadaian). Itu tidak memberatkan para pedagang karena mereka bisa mengatur dan menyesuaikan kemampuan masing-masing. Prosesnya gampang, tepercaya, dan cepat, tidak sampai setengah jam cair," akunya.

Adaptasi Mandiri ala Pedagang Bakso Menghindari Rayuan MautIlustrasi pinjaman online ilegal (IDN Times/Aditya Pratama)

Iming-iming kemudahan persyaratan pinjaman dan pencairan yang ditawarkan rentenir--yang secara konvensional banyak beroperasi di pasar--dan pinjol--secara digital masif melalui handphone--rawan membelenggu para pedagang bakso.

Banyak dari mereka yang tidak menyadari bahwa pinjaman tersebut berisiko besar. Terlebih bunga yang dikenakan cukup tinggi sehingga memberatkan pedagang dan rentan terjerat hutang yang tidak berkesudahan.

"Saya selalu mewanti-wanti jangan sampai (pedagang) terjerat rentenir atau pinjol. Mereka membujuk kalau prosesnya mudah, tanpa survei, cuma modal KTP. Kalau tidak waspada, bisa memberatkan (pedagang) terperangkap hutang. Misal pinjam Rp1 juta, nanti mengembalikannya jadi 1,2 juta. Pinjam Rp2 juta jadi Rp2,4 juta. Kadang jangka waktunya pembayarannya hanya seminggu atau dua minggu," ucap Lasiman, yang asli Sukoharjo, Jawa Tengah.

Lasiman turut menggunakan layanan pembiayaan UMi untuk mendiversifikasi produk baksonya. Ia membuka saluran usaha dengan mengemas dan menjual bakso sapi beku (frozen).

Penjualannya banyak menyasar konsumen dari luar kota Semarang, seperti Salatiga, Jakarta, Klaten, Surakarta, dan Surabaya. Sebagian besar pemasaran dilakukan Lasiman secara online.

Bakso sapi beku tersebut dijual per kilogram (kg) seharga Rp90 ribu. Dalam sehari, ia mampu menjual sekitar 10 kg.

"Saya dulu punya (warung) Bakso Petruk, pandemik akhirnya tutup. Sekarang berjualan sama kakak di Bakso Kliwon. Alhamdulillah, bakso frozen lumayan bisa menutup penghasilan dari penjualan bakso biasa yang masih sepi. Saya buat inovasi lain dari modal pengajuan KCA-UMi. Fokusnya memang berjualan di online. Mau tidak mau mengikuti pasar dan perkembangan teknologi," ujar Lasiman.

Adaptasi Mandiri ala Pedagang Bakso Menghindari Rayuan MautPerajin bakso di Semarang. (IDN Times/Dhana Kencana)

Lasiman merupakan satu dari total 74.206 penerima pembiayaan UMi--per 31 Maret 2021--dari Pegadaian. Hingga periode yang sama itu, Pegadaian telah menyalurkan UMi sebesar Rp336 miliar kepada mereka, baik nasabah gadai KCA-UMi, Rahn-Umi, atau Kreasi Ultra Mikro.

Secara keseluruhan, Jumlah nasabah UMi di Jawa Tengah terus naik setiap tahun. Dirjen Perbendaharaan (DJPb) Kanwil Jateng dalam data resminya yang diterima IDN Times melansir, pada 2019 jumlah debitur mencapai 147.728 pelaku dengan angka penyaluran sebanyak Rp528 triliun.

Kemudian, pada 2020 naik menjadi 193.550 pelaku dengan nominal pembiayaan Rp751 triliun. Untuk tahun 2021--per 27 April 2021--sudah 35.946 pelaku yang menerima penyaluran UMi dengan total sebesar Rp138 triliun.

Untuk data lebih detail bisa dilihat pada visualisasi berikut ini.

Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo mengatakan, penyaluran UMi melalui lembaga pembiayaan pemerintah--seperti Pegadaian--berhasil menjembatani pelaku usaha berskala rumah tangga atau ultra mikro dalam mengakses permodalan.

Kiprah LKBB seperti Pegadaian menjadi pelayan wong cilik dengan produk yang mudah dijangkau, sukses membentuk ekosistem baru yang tidak terpisahkan satu dengan lainnya, sebagai ikhtiar dalam Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

“Jangan sampai kalah bersaing dengan rentenir. Kalau bisa pegawai pembiayaan pemerintah proaktif turun ke lapangan, jangan menunggu mereka mengajukan pinjaman. (Pegadaian) harus berinisiatif memberikan penawaran pinjaman kepada mereka,” katanya dalam keterangan resmi yang diterima IDN Times.

Adaptasi Mandiri ala Pedagang Bakso Menghindari Rayuan MautInfografis Stimulus Ekonomi Indonesia selama Pandemik COVID-19 (IDN Times/Arief Rahmat)

Baca Juga: Kopi Owa, Buah Konservasi Berkelanjutan untuk Masa Depan Indonesia

Topik:

  • Dhana Kencana

Berita Terkini Lainnya