Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Program Kampung Iklim di Jateng Kurang Manjur Kurangi Pemanasan Global

ilustrasi pemandangan alam (ANTARA FOTO/Adeng Bustomi)

Semarang, IDN Times - Isu pemanasan global menjadi perhatian banyak pihak. Salah satunya Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Untuk menguranginya, Pemprov Jateng membentuk Program Kampung Iklim (Proklim) di seluruh daerah.

Program tersebut sebagai tindak lanjut dari program yang sama, yang telah dicanangkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sejak 2016.

Meski demikian, pegiat lingkungan menganggap Proklim kurang efektif untuk mitigasi emisi GRK jangka panjang.

1. Jateng punya Proklim paling banyak di Indonesia

ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan

Berdasarkan data dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Jawa Tengah jumlah kampung iklim sudah mencapai 338, tersebar di seluruh Jawa Tengah. Jumlah tersebut akan ditingkatkan keberadaannya.

Dari jumlah tersebut, Jawa Tengah menjadi provinsi dengan jumlah kampung iklim terbanyak di Indonesia.

"Untuk mempercepat pertumbuhan kampung iklim, telah ditandatangani perjanjian kerja sama dengan sejumlah perusahaan dan desa-desa di Jateng. Dalam waktu dekat, ditargetkan terdapat 700 kampung iklim di provinsi ini," kata Kepala Dinas LHK, Teguh Dwi Paryono sebagaimana dikutip dari laman resmi Pemprov Jateng.

2. Diklaim mampu menjaga lingkungan

Ilustrasi perkebunan teh (ANTARA FOTO/Adeng Bustomi)

Kementerian Lingkungan Hidup pun mengapresiasi tingginya jumlah kampung iklim di Jawa Tengah. Hal itu bisa menjadi percontohan daerah lain, dalam rangka membantu persoalan pemanasan global.

Proklim menjadi upaya nyata dalam upaya pengurangan pemanasan global, dengan melibatkan masyarakat dalam menjaga iklim. Seperti giat melakukan penanaman pohon serta tidak membuang sampah sembarangan.

"Proklim ini memberikan dampak yang sangat luas untuk menjaga lingkungan kita menjadi lebih baik," ungkap Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian LHK, Ruandha Agung Sugardiman.

3. Kurang efektif untuk jangka panjang

(Aktivis yang tergabung dalam Koalisi Keadilan untuk Keadilan Energi melakukan aksi menyambut pelaksanaan KTT G20 di Jepang dengan membawa poster di Jalan MH Thamrin, Jakarta, Jumat (21/6/2019). Dalam aksinya mereka mendesak tiga perusahaan Jepang yang beroperasi di Indonesia yakni Marubeni, Sumitomo dan Mizuho Bank Ltd untuk memotong kebijakan investasi energi dalam bahan bakar fosil yang berkontribusi dalam pemanasan global dan perubahan iklim.) ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

Pegiat lingkungan, Arief Khristanto mengapresiasi adanya program Proklim. Sebagai aspek mitigasi perubahan iklim, progam tersebut dianggap mampu menyerap emisi gas rumah kaca (GRK) di Jawa Tengah.

Namun yang patut diwaspadai, imbuh Arief adalah adanya penambahan emisi GRK pada tahun-tahun berikutnya, akibat perubahan tutupan lahan karena alih fungsi yang banyak digunakan untuk kawasan industri.

"Proklim patut diapresiasi. Hanya untuk tahap selanjutnya, proklim tidak lagi efektif untuk mitigasi emisi GRK," jelasnya saat dikonfirmasi IDN Times pada Kamis (25/7) di Semarang, Jawa Tengah.

4. Menjaga tutupan lahan lebih utama

ilustrasi daerah tropis (ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan)

Arief menambahkan bahwa untuk adaptasi perubahan iklim, penerapan Proklim pada beberapa daerah tidak berdasarkan pada aspek kerentanan terhadap perubahan iklim.

"Pokoknya ada desa yang hijau-hijau, masyarakat rajin menanam menjaga kebersihan, sudah masuk Proklim. Padahal terdapat paramenter lain untuk bisa benar-benar menjadi Proklim," tegas Arief.

Hingga saat ini dirinya juga belum mendapatkan perhitungan secara pasti dan persentase pengurangan emisi GRK sebagai dampak banyaknya Proklim di Jawa Tengah. Karena penyerapan emisi lebih efektif dengan menjaga tutupan lahan, agar tersedia stok karbon dioksida yang cukup.

"Untuk kota-kota (perkotaan) Jawa Tengah, emisi GRK tertinggi dihasilkan oleh sektor energi khususnya transportasi. Secara serapa emisi bisa berdampak adanya tutupan lahan. Karena dengan menjaga tutupan lahan, stok karbon tinggi. Selain itu juga mendorong penggunaan transportasi massal (umum) yang lebih baik," urainya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dhana Kencana
Paulus Risang
Dhana Kencana
EditorDhana Kencana
Follow Us