Tak Signifikan Bantuan untuk Seniman Semarang saat Pandemik Menerjang

Kisah seniman kontemporer Semarang berdikari di masa sulit

Semarang, IDN Times - Pandemik virus corona (COVID-19) dirasakan dampaknya oleh semua orang. Tak terkecuali para pekerja seni di Semarang, Jawa Tengah, yang terpaksa harus bertahan hidup pada masa sulit ini.

1. Memilih untuk tak minta donatur dari pemerintah

Tak Signifikan Bantuan untuk Seniman Semarang saat Pandemik MenerjangDok. Hysteria Semarang

Aktivitas seni dan budaya terhenti sejak pandemik melanda Indonesia. Hal itu dialami salah satu seniman kontemporer, Ahmad Khairuddin.

Adin sapaan akrabnya berkisah, ia bersama 15 seniman lain yang tergabung dalam komunitas Hysteria, sudah sejak Januari 2020 setop dari kegiatan sampai saat ini. Padahal pada tahun 2019, mereka mampu produktif secara kolektif menggelar kegiatan seni dan budaya hingga 70-an event. Baik itu workshop, pameran, maupun program seni budaya bulanan lainnya.

Kondisi diperparah dengan adanya pemberlakuan pembatasan sosial di sejumlah daerah yang berimbas pada batalnya kerjasama beberapa mitra maupun sponsor. Mereka akhirnya memilih cara lain agar bisa bertahan hidup.

"Daripada kita minta-minta donatur atau bantuan ke pemerintah, ah tidak lah (untuk bertahan hidup). Lebih baik tidak usah. Akhirnya kami memilih membuat produk karya yang bisa di-share dan benefit-nya untuk masa depan seni di Semarang. Itu cara kami untuk bisa bertahan saat pandemik ini," kata Adin yang juga Direktur Hysteria secara khusus kepada IDN Times.

Baca Juga: [FOTO] Kala Seniman Demak Pentas di Daerah Tenggelam akibat Banjir Rob

2. Tetap berkarya saat pandemik dengan cara lain

Tak Signifikan Bantuan untuk Seniman Semarang saat Pandemik MenerjangDok. Hysteria Semarang

Paket karya mereka berupa zine dan kaos, yang dijual dengan sistem pra-pesan (pre-order). Zine dan kaos tersebut dijual semata-mata untuk penggalangan dana keberlangsungan komunitas mereka serta sokongan aktivitas-aktivitas kebudayaan di Semarang.

"Seperti pembiayaan operasional Rp2 juta per bulan rumah kontrakan yang digunakan untuk basecamp komunitas dan biaya sewa tahunan rumah sebesar Rp25 juta. Kami perlu itu. Saat ini uang sekecil berapa pun cukup berharga bagi kami," jelas lulusan Magister Antropologi Universitas Indonesia tahun 2018 itu.

Zine berisikan dokumentasi pengarsipan selama 16 tahun terakhir kegiatan seni di Semarang, yang di-collect komunitas Hysteria sejak tahun 2004. Zine berjudul Propaganda Hysteria Edisi 100: Membasuh itu mempunyai 2.124 halaman mencakup 1.850 file, yang terdiri dari 77 berupa sampul, 820 kliping koran, dan 953 poster acara.

"Selama ini kalau berbicara terutama kategori seni maupun seni rupa kontemporer di Semarang selalu kebingungan. Tidak ada yang mengurus database mereka. Seperti apa, kayak gimana. Lha wong di Semarang tidak punya catatan dan kita hanya merapikan dokumentasi (aktivitas seni) yang kita punya (simpan arsipnya). Harapannya tracking pada kelompok atau komunitas seni yang lama bisa tahu. Seperti kisah Teater Waktu, Lengkong Cilik, Sanggar Paramesti," ungkapnya.

Isi dalam zine tersebut merupakan data aktivitas kolektif Hysteria selama 16 tahun dalam ranah kebudayaan dan isu kota yang harapannya bisa digunakan oleh siapapun sebagai materi untuk kebutuhan riset, maupun kajian akedemis maupun non-akademis, atau lintas disiplin ilmu lainnya. Dengan begitu juga dapat digunakan sebagai bahan masukan kepada pemerintah dalam penentuan kebijakan terhadap kelompok seni secara umum.

Sementara untuk kaos bertemakan 16 tahun kolektif Hysteria Kota yang Tak Pernah Histeris adalah kolaborasi desainer Dina Prasetyawan. Kaos tersebut dicetak pada katun kombed 30s menggunakan mesin DTG (Direct To Garment) high quality bekerjasama dengan ADoNAI Cloth.

"Paket tersebut dijual dengan harga Rp600 ribu dan hanya tersedia 100 paket dimana nama 100 pemesan nantinya akan ditulis pada akhir halaman zine. Bagi yang berminat atau tanya-tanya juga boleh ke Pupung (085875109109)," terangnya.

3. Terbantu atas kerja sukarela para seniman lain

Tak Signifikan Bantuan untuk Seniman Semarang saat Pandemik MenerjangDok. Hysteria Semarang

Sebelum muncul ide menjual zine dan kaos, Adin sempat frustasi menyikapi pandemik COVID-19 yang masih berlangsung saat ini. Sebanyak 5-6 kontrak kegiatan seni mereka batal diadakan tahun ini. Termasuk sejumlah proposal kerjasama dan riset soal seni budaya yang mereka sebar sama sekali tidak ada yang tembus.

"Pandemik ini gila buat kami! Karena kita tidak ngapa-ngapain tetap keluar duit. Semua program kita sistemnya subsidi silang. Saat ini tidak ada (project) sama sekali yang approved. 3 kegiatan budaya kami gagal, pameran gagal, riset seni juga," keluhnya yang kelahiran Rembang, Jawa Tengah itu.

Beruntung dalam komunitas Hysteria berjumlah 16 orang, termasuk dirinya, bisa bekerja secara sukarela.

"Komunitas kami ini semi pondok pesantren. Anak-anak bekerja sifatnya kerelawanan. Ya bayaran pas ada project. Kalau tidak ada ya mereka cari (pemasukan) sendiri. Yang paling berat adalah opersional kami untuk listrik, sewa rumah, maintenance alat, lampu, sound system. Kayak lampu dan instalasi seni yang ada kalau lama gak kita pakai juga akan rusak. Gini aja sudah berat," imbuhnya.

Berjalannya waktu, kini kegiatan Hysteria lebih banyak dilakukan secara daring. Sejak Januari 2020 lalu sudah ada sekitar 30-an aktivitas seni berupa webinar yang mereka lakukan.

4. Bantuan pemerintah belum menyentuh mereka secara nyata

Tak Signifikan Bantuan untuk Seniman Semarang saat Pandemik MenerjangDok. Hysteria Semarang

Disinggung soal bantuan dari pemerintah, pria kelahiran 7 Juli 1985 itu secara tegas menyatakan belum ada sama sekali.

"Pemerintah tidak ada, apalagi Pemerintah Kota Semarang tidak sama seklai. Kementerian terkait yang punya duit banyak tidak bisa diharapkan juga dalam kondisi saat ini. Pemprov Jateng juga tidak siginifikan. Secara umum bantuan dari mereka belum menjawab kebutuhan teman-teman pekerja seni," ujarnya.

Sebagai catatan, Komunitas Hysteria sempat mendapatkan bantuan sebesar Rp2,5 juta pada Mei 2020. Bantuan dari Pemprov Jateng itu, lanjut Adin, tak cukup bisa dirasakan seniman yang juga mempunyai keluarga.

"Uang segitu (Rp2,5 juta) sudah habis untuk buat program. Padahal mereka juga ada yang sudah punya keluarga. Soalnya kami dapatnya juga bukan untuk bantuan secara nyata, tapi untuk digunakan bikin program, seolah agar kami bisa eksis lagi," tandas Adin yang juga sebagai kurator seni.

Dirinya berharap jajaran pemerintahan Presiden Joko "Jokowi" Widodo bisa memperhatikan nasib para seniman kala pandemik virus corona saat ini.

"Jokowi masih punya budget besar untuk COVID-19. Informasinya ada bantuan bentuknya project padat karya. Kita belum tahu skemanya. Di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) sendiri yang jadi tumpuan (seniman) tapi sampai saat ini belum ada pogram-progam. Kami berharap seniman juga ikut dipikirkan sebagai bentuk Keadilan Sosial bagi Seluruh Bangsa Indonesia" harapnya.

Baca Juga: Komunitas Hysteria Bertahan dengan Jualan Zine hingga Merchandise  

Topik:

  • Dhana Kencana

Berita Terkini Lainnya