Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
antarafoto-peringatan-hut-ke-80-tni-1759910495.jpg
Prajurit Komando Pasukan Khusus (Kopassus) mengikuti defile pasukan saat peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Monas, Jakarta, Minggu (5/10/2025). (ANTARA FOTO/Fauzan)

Intinya sih...

  • Chakra News fokus pada liputan pertahanan, keamanan nasional, geopolitik, dan teknologi strategis di India.

  • Jurnalis perlu adaptif dalam meliput dengan keterbatasan akses dan menjaga independensi serta hindari bias pribadi.

  • Penting bagi jurnalis untuk menyaring narasumber dan bahan sumber serta kuat di praproduksi melalui riset, arsip, dan glosarium istilah teknis.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Semarang, IDN Times - Pemimpin Redaksi Chakra News, Sandeep Unnithan, membagikan tujuh strategi penting bagi jurnalis yang meliput isu pertahanan dan keamanan nasional. Dalam workshop Voices of Tomorrow seri ke-6 yang diselenggarakan India News Desk bersama Kedutaan Besar India secara daring, Sabtu (4/10/2025), Sandeep menekankan jika liputan di bidang tersebut menuntut disiplin tinggi, wawasan lintas bidang, serta tanggung jawab etis yang kuat.

1. Perlu akurasi tinggi

Pemimpin Redaksi Chakra News, Sandeep Unnithan saat workshop Voices of Tomorrow seri ke-6 yang diadakan India News Desk bersama Kedutaan Besar India secara daring, Sabtu (4/10/2025). (IDN Times/Dhana Kencana)

Chakra News merupakan platform media digital khusus yang berfokus pada liputan mendalam mengenai pertahanan, keamanan nasional, geopolitik, dan teknologi strategis di India. Di tengah perubahan cepat dinamika global, media tersebut berupaya menghadirkan perspektif India-sentris atas isu-isu yang menentukan arah strategis negara tersebut. Mulai dari perkembangan di sektor kedirgantaraan, inovasi pertahanan, kebijakan semikonduktor, hingga strategi militer.

Sandeep sendiri selama hampir dua dekade terakhir dikenal sebagai pakar liputan keamanan nasional yang menyoroti operasi militer, intelijen, dan kebijakan strategis.

“Di pertahanan dan intelijen, bacalah lebih banyak daripada beat lain. Ada ilmu sejarah, geopolitik, fisika, hingga teknologi yang bertemu dalam satu liputan. Informasi primer mungkin terbatas atau sulit didapat, tetapi dengan pemahaman konteks yang kuat, jurnalis dapat menulis dengan akurasi tinggi,” kata Sandeep.

2. Meliput dengan keterbatasan akses

Pesawat Hercules TNI Angkatan Udara bersiap untuk lepas landas di Bandara Husein Sastranegara, Bandung, Jawa Barat, Rabu (1/10/2025). (ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi)

Menurut Sandeep, ada tujuh prinsip dasar yang wajib dimiliki jurnalis pertahanan dan keamanan nasional. Pertama adalah membangun fondasi pengetahuan lintas disiplin. Baginya, meliput di sektor tersebut memerlukan pemahaman politik, sejarah militer, teknologi, dan ilmu sosial.

"Ada politik, sejarah militer, sains, dan teknologi di setiap isu pertahanan. Tanpa itu, seorang jurnalis mudah tersesat dalam jargon teknis atau propaganda," ujarnya.

Penguasaan dasar tersebut membuat jurnalis mampu menilai kapasitas alutsista, membaca peta geopolitik, dan memahami istilah teknis tanpa bergantung pada satu narasumber.

Kemudian yang kedua adalah menuliskan dari sebuah tren besar ketika data terbatas. Akses ke isu strategis diakuinya kerap dibatasi. Meski demikian, jurnalis tetap dapat menulis akurat dengan membaca arah kebijakan, memantau rantai pasok, serta menelusuri dampak ekonomi dan sosial dari keputusan pertahanan.

"Karena akses kerap dibatasi, fokus pada gambaran makro. Seperti ketergantungan impor senjata, dampak perang global pada rantai pasok suku cadang, atau pergeseran postur militer. Dengan memantau tren besar, jurnalis tetap dapat menyajikan cerita yang kuat dan akurat,” ucap Sandeep yang juga alumnus Sejarah India Kuno dari St Xavier’s College, Mumbai.

3. Adaptif dan terus menjaga independensi

(dari kiri ke kanan) KRI Ahmad Yani (351), KRI Yos Sudarso (353), KRI Oswald Siahaan (354) dan KRI Abdul Halim Perdanakusuma (355) mengikuti Sailing Pass di perairaan Teluk Jakarta, Kamis (2/10/2025). (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Ketiga adalah menjaga independensi dan hindari bias pribadi. Sandeep menyebutkan tantangan abadi jurnalis adalah menjaga jarak dari bias pribadi.

"Di tengah banjirnya disinformasi dan polarisasi politik, verifikasi berlapis dan keseimbangan sumber menjadi pilar utama," akunya.

Nomor empat, Sandeep mengatakan, jurnalis harus tetap beretika ketika mengajukan pertanyaan yang tidak nyaman. Caranya dengn menyiapkan pertanyaan berbasis data, mencari atau merujuk dokumen publik, dan menjaga rekam jejak on/off the record secara ketat.

“Tugas kita (jurnalis) adalah menuntut akuntabilitas dari pengambil keputusan tanpa melampaui batas etik profesi,” katanya yang pernah menjadi Editor untuk News9 Plus, aplikasi berita OTT (platform streaming) pertama di India.

Kemudian yang kelima, Sandeep menjelaskan jika jurnalis harus adaptif terhadap “politik Think 20 (T20)”. Istilah tersebut ia gunakan untuk menggambarkan perubahan cepat politik global. Pasalnya, di era media sosial, isu geopolitik dapat berubah menjadi isu domestik dalam hitungan jam.

“Politisi dapat menyiarkan langsung ke publik, isu geopolitik cepat menjelma menjadi isu domestik (misalnya perdebatan tarif pangan). Jurnalis perlu ritme kerja gesit tanpa mengorbankan akurasi,” ujarnya.

4. Saring narasumber dan bahan sumber

Prajurit Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD berbaris lengkap persenjataan saat mengikuti upacara peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Monas, Jakarta, Minggu (5/10/2025).(ANTARA FOTO/Fauzan)

Sandeep menambahkan, yang keenam, kemunculan influencer atau pemengaruh membuat ekosistem informasi menjadi bising. Oleh karena itu, jurnalis harus menyaring narasumber dengan mengutamakan sumber dari dokumen resmi, audit, pakar kredibel, dan laporan teknis.

“Banyak yang bukan jurnalis tapi jadi rujukan. Gunakan pernyataan viral hanya sebagai pelengkap, bukan pijakan.” ungkapnya.

jurnalis harus membedakan mana suara ahli dari pengeras suara. Menurutnya, banyak influencer berbicara tentang isu pertahanan tanpa pemahaman mendalam. Karena itu, jurnalis wajib mengandalkan pakar kredibel dan dokumen resmi.

5. Penguatan di praproduksi

Prajurit TNI bersiaga dengan memegang senjata saat upacara peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Lapangan I Gusti Ngurah Rai, Asrama Prajaraksaka Kepaon Denpasar, Bali, Minggu (5/10/2025). (ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo)

Terakhir atau yang ketujuh, jurnalis harus kuat di praproduksi melalui riset, arsip, dan glosarium istilah teknis. Maka dari itu, jurnalis perlu memahami terminologi teknis seperti payload atau interoperability agar tidak salah tafsir, serta memiliki peta aktor dan kronologi kebijakan pertahanan untuk memberi konteks yang akurat.

Dengan itu, jurnalis mampu menjelaskan isu kompleks dengan bahasa yang mudah dimengerti publik.

"Siapkan peta aktor (kementerian, TNI/angkatan, pemasok luar negeri), linimasa kebijakan/anggaran, serta glosarium teknis. Misalnya range, payload, interoperability. Tools tersebut mempercepat cek silang (crosscheck) dan mencegah kekeliruan istilah," tandasnya.

Sandeep menjelaskan, liputan pertahanan bukan sekadar mencatat peristiwa, tetapi memetakan konsekuensi kebijakan terhadap rakyat dan kedaulatan negara.

“Di beat pertahanan, standar mainnya lebih tinggi. Baca lebih luas, verifikasi lebih ketat, dan jaga independensi,” imbuhnya.

Dengan ketujuh prinsip, Sandeep berharap jurnalis di Asia, termasuk Indonesia, dapat memperkuat literasi strategis dan menghadirkan jurnalisme yang akurat, kontekstual, dan berimbang di tengah dunia yang kian sarat ketegangan geopolitik.

Editorial Team