Peneliti ahli utama di Pusat Riset dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Thomas Djamaluddin mengatakan, penurunan muka tanah di wilayah pantai merupakan salah satu penyebab meningkatkan risiko banjir rob di daerah pesisir yang landai.
Selain dipengaruhi karena kenaikan muka air laut efek pemanasan global, semakin mengkhawatirkannya banjir rob yang terjadi di wilayah pesisir pantai Indonesia juga dipengaruhi efek siklus nodal bulan yang menyebabkan pasang air laut, dan penurunan muka tanah.
"Penurunan muka tanah ini berpotensi meningkatkan banjir rob," kata Thomas dalam Webinar Lesson Learned: Banjir Rob di Musim Kemarau yang diadakan oleh Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN seperti dilansir dari Antara.
Pantai Utara Jawa merupakan wilayah dengan faktor penurunan muka tanah yang paling signifikan.
Thomas menuturkan kajian yang telah dilakukan oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), yang sekarang sudah terintegrasi ke BRIN, dengan menggunakan data-data satelit radar apertur sintetis (synthetic-aperture radar), menunjukkan penurunan muka tanah dari pantai-pantai di wilayah Pantai Utara Jawa cukup tinggi.
Untuk Semarang dan sekitarnya, laju rata-rata penurunan permukaan tanah selama periode 2015-2020 adalah 0,9-6 cm per tahun.
Pada perhitungan yang dilakukan Lapan, penurunan muka tanah tertinggi terjadi di Kota Pekalongan dengan kisaran 2,1-11 cm per tahun.
Laju rata-rata penurunan muka tanah di DKI Jakarta berkisar 0,1-8 cm per tahun, Kota Bandung berkisar 0,1-4,3 cm per tahun, Kota Cirebon berkisar 0,28-4 cm per tahun, dan Kota Surabaya berkisar antara 0,3-4,3 cm per tahun.
Thomas menekankan bahwa penurunan muka tanah tersebut perlu diwaspadai karena bisa meningkatkan risiko banjir rob.
"Perlu dilakukan mitigasi jangka panjang untuk mengantisipasi pemanasan global dan penurunan muka tanah wilayah pantai yang berpotensi makin sering banjir rob dan makin tinggi genangannya," katanya.
Pakar Tata Ruang dan Perkotaan Fakultas Teknik Universitas Sultan Agung Semarang (Unissula), Dr Mila Karmila mengatakan, penurunan muka tanah di kawasan pesisir Semarang sampai Demak disebabkan oleh berbagai faktor.
"Penyebab utamanya industrialisasi, tapi ada sebab-sebab lain seperti pembebanan bangunan di atas, pengambilan air bawah tanah, dan tanah muda yang belum stabil," ungkapnya saat dihubungi IDN Times, Jumat (5/8/2022).
Penurunan muka tanah tersebut sudah terjadi sejak tahun 1980-an. Tingginya penurunan sangat bervariasi, bisa 8–10 sentimeter per tahun.
"Misalnya di Kampung Tambaklorok itu penurunan tanahnya sekitar 10 cm per tahun. Kemudian, di Pelabuhan Tanjung Emas Semarang penurunan tanahnya mencapai 1,2 meter di bawah permukaan laut. Itu terjadi sejak ada pembangunan di sana sekitar tahun 1980an. Kemudian, juga ada pembangunan Perumahan Marina tahun 1990-an bikin kawasan pesisir makin ambles," tutur Ketua Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Unissula itu.
Mila menambahkan, industrialisasi makin memperparah penurunan muka tanah. Pertumbuhan industri di pesisir ini untuk mendekati jalur transportasi yang juga berada di kawasan tersebut.
Sementara, hasil penelitian para akademisi dan kelompok masyarakat sipil tentang akses terhadap air dan risiko terkait air yang tergabung dalam Konsorsium Ground Up menemukan bahwa warga Semarang sangat tergantung pada air tanah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Direktur Amrta Institute for Water Literacy, Nila Ardhianie mengatakan, temuan pertama yang relevan dengan banjir yang baru saja terjadi adalah ketergantungan warga Semarang dengan air tanah untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari.
"Sebanyak 79,7 persen dari 319 responden mengakui hal tersebut. Dari 79,9 persen itu, sebanyak 48,6 persen menggunakan air tanah dalam (ATDm) dan 31,1 persen menggunakan air tanah dangkal (ATDl)," ungkapnya.
Dampak dari pengambilan air tanah yang berlebihan itu menyebabkan amblesan tanah. Air tanah yang diambil secara terus-menerus menyebabkan perubahan struktur di bawah tanah hingga terjadi ambles.
"Setelah air banyak disedot kemudian air hujan masuk ke dalam tanah terjadi ketidakseimbangan dalam pembentukan air tanah lagi. Amblesan tanah ini berkontribusi cukup besar terhadap banjir, karena ketika hujan deras saluran tidak bisa menampung," tutur Nila yang juga mahasiswa Program Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro Semarang itu.
Dosen Teknik Geofisika Institute Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Ira Mutiara Anjasmara menjelaskan, penurunan muka tanah juga terjadi di wilayah Surabaya, penelitian tentang Land Subsidence atau penurunan muka tanah yang dilakukan ITS sejak tahun 2007, hasilnya terdapat penurunan muka tanah terutama di wilayah Surabaya Utara.
"Dari hasil teknologi inSAR kita menggunakan time series inSAR, kita masih melalukan pengolahan data. Kita telah dapatkan, terjadi penurunan tanah, terutama di wilayah utara dan timur. Penurunan tanah di Surabaya Utara cukup signifikan walaupun tidak terlalu besar, maksimal hanya sekitar 4 cm," ujar Ira saat menggelar Webinar tentang Banjir Rob dan Penurunan Muka Tanah, Sabtu (18/6/2022).
Ira pun menjelaskan, penurunan muka tanah disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama adalah penggunaan air tanah yang berlebihan. Faktor kedua adalah beban konstruksi.
"Faktor berikutnya karena tanah aluvium, Surabaya didominasi oleh endapan aluvium, dan faktor terakhir adalah adanya aktivitas tektonik," jelas Ira.