Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
KLabs, One Piece 2.jpeg
Bendera One Piece berkibar di acara Festival Penta K Labs V di Kota Semaran, belum lama ini. (X/Festival K Labs V)

Intinya sih...

  • Bendera One Piece diibaratkan sebagai simbol kekecewaan masyarakat terhadap negara.

  • Peristiwa terjadi di Festival Penta K Labs V di Kota Semarang.

  • Pengunjung ditangkap polisi karena mengibarkan bendera One Piece yang tengah fenomena belakangan ini.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Semarang, IDN Times - Belum lama ini terjadi sebuah peristiwa di Festival Penta K Labs V di Kota Semarang. Sejumlah pengunjung yang hadir dalam perhelatan seni dan konser musik itu ditangkap polisi karena mengibarkan bendera One Piece yang tengah fenomena belakangan ini. 

1. Jolly Roger curi perhatian masyarakat

Infografis fenomena pengibaran bendera One Piece (IDN Times/Aditya Pratama)

Peristiwa tersebut ramai di media sosial ‘X’ pada awal bulan Agustus ini. Sejumlah warganet bereaksi menanyakan apa dasar hukumnya, hanya memegang bendera One Piece saja bisa ditangkap polisi. Warganet lain juga berkomentar, bahwa Indonesia sebagai negara demokrasi sudah luntur.

Viralnya bendera dengan logo tengkorak dan topi jerami yang bernama Jolly Roger ini memang mencuri perhatian masyarakat termasuk pemerintah yang reaktif dan menanggapi hal itu sebagai bentuk provokasi. Pengibaran bendera dari anime asal Jepang itu dianggap sebagai pelanggaran hukum dan merendahkan martabat bangsa. 

Menurut pengamat budaya dari Kota Semarang, Akhmad Khaerudin, fenomena bendera Jolly Roger simbol khas kelompok bajak laut pimpinan Monkey D. Luffy dari anime One Piece ini merupakan kritik sosial yang dilakukan secara kreatif oleh masyarakat sebagai bentuk kekecewaan pada negara.

2. Bendera One Piece bentuk perlawanan simbolik

Bendera Jolly Roger milik Straw Hat Pirates (dok. Shueisha/One Piece)

‘’Kenapa memilih bendera Jolly Roger? Karena Monkey D. Luffy yang merupakan pemimpin kelompok bajak laut itu dianggap sebagai ksatria pembebasan. Masyarakat yang kecewa ini merefleksikan itu seperti halnya mitos tentang Mesias maupun Imam Mahdi sebagai juru selamat,’’ ungkapnya saat dihubungi IDN Times, Sabtu (16/8/2025).

Untuk diketahui, awal mula pengibaran bendera bajak laut One Piece ini dilakukan oleh sopir truk alih-alih mengibarkan bendera merah putih untuk menyambut Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. 

Pria yang akrab disapa Adin itu menerangkan, upaya sopir truk melakukan aksi pengibaran bendera One Piece ini sebagai bentuk perlawanan simbolik karena aspirasi mereka tidak didengarkan.

3. Budaya populer efektif sampaikan kritik sosial

adegan dalam anime One Piece. (dok. Toei Animation/One Piece)

‘’Kebijakan ODOL membuat sopir truk terbebani. Mereka bisa kena denda jika mengangkut barang secara berlebihan, sedangkan yang memberi muatan atau mengirim barang tidak mendapatkan sanksi. Mau demo juga nggak mungkin. Maka ini tidak adil, sehingga akhirnya mereka menggunakan simbol sederhana untuk menyuarakan aspirasi sampai viral dan direspons berlebihan oleh pemerintah,’’ katanya. 

Menurut Direktur komunitas seni dan budaya Hysteria itu, budaya populer memang sangat efektif untuk menyampaikan kritik sosial karena bisa menjangkau seluruh umat manusia. Budaya massa yang bisa dipantau oleh banyak orang. Letupan ini menjadi indikator bahwa ada yang perlu dibenahi saat ini

“Bukan di bendera One Piece semata, tapi lebih pada nilai simbolik yang dikandung dalam bendera itu yang direlevansi dengan kondisi kegeraman warga hari ini. Semestinya aksi tersebut ditanggapi oleh pemerintah dengan bijak, bukan reaktif seperti yang terjadi beberapa waktu belakangan ini,” terang Adin.

4. Anak muda punya banyak cara untuk bersuara

Bendera One Piece berkibar di acara Festival Penta K Labs V di Kota Semaran, belum lama ini. (X/Festival K Labs V)

Sikap reaktif pemerintah yang menilai bahwa pengibaran bendera One Piece sebagai pelanggaran hukum atau aksi makar, lanjut dia, justru terkesan bahwa kebebasan berekspresi semakin sempit.

“Padahal anak muda sekarang memiliki banyak cara untuk bersuara. Lewat budaya populer bagi mereka lebih mudah dipahami dan pesannya bisa diterima secara luas. Namun sayangnya pemerintah menanggapi perlawanan simbolik tersebut dengan berlebihan dan reaktif,” tandasnya.

Editorial Team