Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
WhatsApp Image 2025-08-24 at 08.22.08.jpeg
Maestro tari lengger Banyumas, Rianto, menari saat kegiatan Bisik Serayu Festival 2025. (Dok. Panitia Bisik Serayu Festival 2025)

Intinya sih...

  • Ritual pembukaan festival dengan Ngarak Larung dan Umbul Donga.

  • Festival rakyat dengan napas ekologi.

  • Menghadirkan puluhan maestro dan seniman, dari parade kesenian rakyat.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Banyumas, IDN Times – Derai aliran Sungai Serayu sore itu terasa berbeda. Di atas sebatang gethek (rakit bambu), maestro tari lengger Banyumas, Rianto, menari dengan khidmat. Tubuhnya meliuk dalam ritual “Labuhan Lengger Gethek” sambil melarungkan doa, sesaji, bibit ikan, dan itik ke sungai yang membentang 181 kilometer dari Wonosobo hingga Cilacap.

Momen tersebut bukan sekadar pertunjukan seni. Bagi Rianto, lengger adalah laku spiritual, sebuah cara untuk merawat adat sekaligus meruwat jagat.

“Labuhan Lengger Gethek adalah perwujudan tanggung jawab suci lengger. Saya ingin mengajak masyarakat menjaga harmoni alam dengan melestarikan lingkungan, khususnya Kali Serayu yang menjadi sumber kehidupan Banyumas Raya,” ungkap Rianto saat pembukaan Bisik Serayu Festival 2025, Sabtu (23/8/2025).

1. Ritual mistis di tepi Serayu

Maestro tari lengger Banyumas, Rianto, menari saat kegiatan Bisik Serayu Festival 2025. (Dok. Panitia Bisik Serayu Festival 2025)

Ritual pembukaan festival diawali dengan Ngarak Larung dan Umbul Donga yang dipersembahkan para dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, antara lain Hari Mulyatno, Theresia Sri Kurniati, dan Wahyu Santoso Prabowo. Iringan musik tarawangsa menambah nuansa mistis, diperkuat dengan live painting maestro lukis Nasirun.

Menurut Rianto, ancaman kerusakan alam di sepanjang Serayu adalah panggilan tubuhnya untuk bertindak.

“Tubuh ini hanyalah medium untuk menyatukan energi alam dan manusia. Serayu harus diruwat, agar manusia dan lingkungannya terhindar dari bencana,” jelasnya.

Ritual itu juga menjadi simbol baritan—tolak bala—agar masyarakat terhindar dari malapetaka.

2. Festival rakyat dengan napas ekologi

Kegiatan Bisik Serayu Festival 2025. (Dok. Panitia Bisik Serayu Festival 2025)

Hari kedua festival, Minggu (24/8/2025), diisi sepuluh pertunjukan musik, tari, dan sastra. Diskusi budaya bersama penulis Elisabeth D. Inandiak membuka rangkaian acara, dilanjutkan penampilan sanggar-sanggar dari Purwokerto, Cilacap, Purbalingga, hingga Jakarta.

Seniman internasional juga ambil bagian, seperti Walter Sebastian Vities dari Argentina dan maestro kendang Daeng Serang dari Makassar. Puncaknya, festival menghadirkan kolaborasi lintas negara bertajuk Golden Water (Ogo no Mizu) yang melibatkan Dewandaru Dance Company, Kulu-kulu, Lambangsari Group, dan Rianto Dance Studio bersama seniman Jepang.

Rianto menegaskan, Bisik Serayu Festival bukan sekadar agenda tahunan, melainkan ruang pertemuan budaya dan ekologi.

“Kolaborasi ini membuka dialog lintas budaya lewat ekspresi seni. Saya berharap ini jadi pengalaman kreatif bagi seniman muda, memantik lahirnya karya-karya baru di masa depan,” tuturnya.

3. Terjalin ruang dialog budaya dan ekologi

Maestro tari lengger Banyumas, Rianto, menari saat kegiatan Bisik Serayu Festival 2025. (Dok. Panitia Bisik Serayu Festival 2025)

Untuk diketahui, Bisik Serayu Festival 2025 mengusung tema “Nguripi, Ngruwat Serayu” dan berlangsung di Joglo Gayatri—yang juga menjadi studio tari Rianto—selama 23--24 Agustus 2025.

Produser festival, Abdul Azis Rasjid menjelaskan, event tersebut menjadi ruang kolaborasi seniman lintas daerah dan negara.

“Festival ini menghadirkan puluhan maestro dan seniman, dari parade kesenian rakyat Banyumas hingga pertunjukan internasional. Tujuannya bukan sekadar hiburan, tapi membangun kesadaran bersama untuk merawat Serayu,” ujarnya dalam keterangan resmi yang diterima IDN Times.

Pada malam pembukaan, panggung festival dimeriahkan seniman dalam dan luar negeri, di antaranya Yuliana Mar (Meksiko), Rodrigo Parejo, grup musik Jepang Yamato No Tamashii, serta kolaborasi lengger, calung, dan ketoprak Desa Kaliori yang sehari-hari hidup berdampingan dengan Serayu.

Editorial Team