Blak-blakan Sidang Eks Wali Kota Semarang: Lomba Nasi Goreng sampai TO

- Kepala Bapenda Kota Semarang mendapat peringatan langsung dari Alwin Basri terkait bahaya yang mengintai, termasuk kena Tindak Pidana Korupsi (TPK) KPK.
- Dana iuran kebersamaan pegawai Bapenda digunakan untuk keperluan pribadi Mbak Ita dan Alwin, termasuk kegiatan politik menjelang Pilwalkot.
- Praktik mutasi terhadap pejabat yang vokal, pemusnahan barang bukti, dan desakan Kepala Bapenda Semarang jadi tersangka dalam persidangan.
Semarang, IDN Times – Sidang kasus dugaan korupsi yang menjerat mantan Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu atau Mbak Ita, dan suaminya, Alwin Basri, terus membuka praktik penyalahgunaan kekuasaan di lingkungan Pemerintah Kota Semarang. Dalam lanjutan persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang, Rabu (9/7/2025), sejumlah saksi dari para pejabat Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) mengungkap beberapa skandal, mulai dari pengumpulan dana ilegal, pemusnahan bukti, hingga penggunaan dana untuk keperluan politik pribadi.
1. Bocoran kena TO KPK

Kepala Bidang Pendataan dan Pendaftaran Pajak Daerah Bapenda Kota Semarang, Binawan Febriarto, mengaku pernah mendapat peringatan langsung dari Alwin Basri soal bahaya yang mengintai.
“Januari 2024, Pak Alwin marah, menyampaikan, ‘Kowe di-TO KPK’,” ujar Binawan di persidangan.
Alwin, yang juga terdakwa dalam kasus itu, menyebut Bapenda sudah tidak steril dan kebocoran informasi terkait pemberian uang kepada dirinya dan Mbak Ita telah sampai ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pemberian itu berasal dari dana iuran kebersamaan pegawai Bapenda, yang menurut kesaksian Binawan, sudah mengalir ke Mbak Ita sebesar Rp1,2 miliar dan ke Alwin Rp1 miliar sepanjang 2022-–2023.
Binawan, menyebut jatah Desember 2023 belum sempat diberikan karena Alwin khawatir “masih ada KPK". Namun, pada Januari 2024, Alwin justru menagih kembali jatah tersebut.
Menurut Binawan, skema iuran kebersamaan pegawai Bapenda sebenarnya sudah ada sejak era Wali Kota Hendrar Prihadi (Hendi). Iuran itu berasal dari bonus upah pungut pajak yang diterima pegawai setiap triwulan. Namun, penggunaannya menjadi sorotan karena tidak transparan dan dimanfaatkan untuk kegiatan di luar fungsi kedinasan.
“Sudah ada sejak Hendi, tapi saya lupa laporan penggunaannya. Datanya sudah dihancurkan,” ucap Binawan.
Iuran kebersamaan itu bisa menghimpun hingga Rp4 miliar per tahun. Namun, dalam praktiknya, dana tersebut digunakan untuk keperluan pribadi Mbak Ita dan Alwin, termasuk kegiatan politik dan promosi personal branding menjelang Pilwalkot.
2. Lomba nasi goreng dari uang pegawai

Persidangan juga mengungkap, kegiatan seperti Lomba Nasi Goreng dan Semarak Simpang Lima bukanlah sekadar acara seremonial. Menurut Binawan, kedua kegiatan itu sarat muatan politik dan didanai dari dana iuran pegawai.
“Kegiatan-kegiatan di 2023 itu memang untuk meningkatkan kapasitas dan popularitas Bu Ita menjelang Pilwalkot 2024,” kata Binawan.
Ia menyebut permintaan tambahan hadiah untuk lomba nasi goreng datang langsung dari Mbak Ita setelah mengunjungi salah satu lomba di Kecamatan Mijen. Mbak Ita diduga menunjuk Bapenda untuk mencarikan dana. Dalam rapat internal, Kepala Bapenda Indriyasari menyetujui penggunaan dana iuran kebersamaan senilai Rp230 juta untuk mendanai hadiah lomba tersebut.
Bahkan, penyanyi Denny Caknan dibayar Rp161 juta dari dana yang sama untuk tampil di Semarak Simpang Lima.
"Itu pesanan langsung dari Mbak Ita," kata Anton, perwakilan event organizer yang terlibat dalam acara itu.
3. Ancaman mutasi dan pencopotan jabatan

Kesaksian Binawan juga menyingkap praktik mutasi terhadap pejabat yang vokal. Ia menyebut, Kabid Pelayanan dan Penetapan Pajak Daerah, Yulia Adityorini, dimutasi ke Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) karena dinilai terlalu kritis.
“Ada kepala bidang yang selalu vokal dalam rapat, akhirnya dipindah,” ucap Binawan.
Ia menambahkan, posisi Yulia digantikan oleh Idha Sulistyowati, yang disebut-sebut masih memiliki hubungan saudara dengan Mbak Ita. Meski dibantah oleh Mbak Ita, Binawan tetap pada kesaksiannya berdasarkan pengakuan Idha sendiri.
4. Pemusnahan barang bukti

Salah satu fakta paling mencolok adalah pengakuan Binawan soal perintah untuk memusnahkan barang bukti. Ia menyatakan, laporan penggunaan dana iuran kebersamaan dimusnahkan atas perintah langsung dari Mbak Ita, termasuk buku catatan dan komunikasi di ponsel.
“Alasan dimusnahkan kemungkinan karena berpotensi menjadi barang bukti dan menjadi masalah karena sedang ada pemeriksaan dari KPK,” katanya.
Ia bahkan mengaku diminta mengganti ponsel dan menghapus seluruh pesan sebelumnya. Perintah itu ditujukan agar memberikan keterangan normatif dan formal saat dimintai keterangan oleh KPK.
5. Desakan Kepala Bapenda Semarang jadi tersangka

Alwin Basri, dalam persidangan mendesak Jaksa Penuntut Umum (JPU) ikut menetapkan Kepala Bapenda Indriyasari dan para kepala bidang sebagai tersangka.
“Kepala Bapenda dan para kabid berpotensi sebagai tersangka, sehingga harus ditindaklanjuti JPU,” kata Alwin.
Ia membantah dana lomba nasi goreng berasal dari iuran pegawai.
“Setahu saya, dana berasal dari sponsorship,” ujarnya.
Namun, pengakuan itu bertolak belakang dengan keterangan Binawan, Anton (EO), dan Sasa (perwakilan PKK), yang menjelaskan hadiah lomba dan biaya artis dibayar dari dana iuran pegawai.