Petugas mesin insinerator pengolahan sampah residu bantuan BLDF di Desa Jati Kulo Kabupaten Kudus. (IDN Times/Dhana Kencana)
Menurut Program Director BLDF, Jemmy Chayadi, pengelolaan sampah tidak bisa hanya bergantung pada teknologi.
“Insinerator ini hanyalah alat. Yang paling penting adalah pola pikir dan keterlibatan individu sebagai produsen sampah. Kalau tidak ada kesadaran dari masyarakat, alat secanggih apa pun tidak akan menyelesaikan masalah,” ujarnya saat acara serah terima bantuan, Senin (23/6/2025).
Insinerator yang diberikan secara khusus diperuntukkan untuk mengelola sampah residu, yakni jenis sampah nonorganik. Mulai dari plastik kemasan, popok, dan limbah rumah tangga lain yang tidak bisa dikomposkan atau didaur ulang. Termasuk juga sampah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Sebagai contoh limbah pertanian seperti buangan pestisida dan sampah medis.
Setiap hari, masing-masing unit insinerator mampu mengolah hingga 6,5 ton sampah residu. Kapasitas itu cukup untuk menampung kiriman dari tiga desa di sekitar Desa Jati Kulon dan Kedungdowo.
“Teknologi ini dirancang ramah lingkungan dan aman karena tidak memerlukan bahan bakar tambahan. Panasnya berasal dari pembakaran residu (sampah) itu sendiri, tidak menggunakan tambahan atau perlu bahan bakar fosil,” jelas Deputy Manager Program BLDF, Redi Joko Prasetyo.
Ia menekankan, kunci keberhasilan pengelolaan sampah di Kudus terletak pada pemilahan sampah dari rumah tangga.
“Sampah organik tidak boleh tercampur agar proses insinerasi tidak merusak lingkungan,” imbuh Redi