Dalam melaksanakan tugasnya itu, hujan dan badai sudah menjadi kawan bagi ayah dua anak ini. Pasalnya, dalam menjalankan tugas selama 24 jam itu ia harus siaga setiap saat. Sebab, ketika ada kapal tanker merapat di SPM untuk bongkar muat BBM, kru mooring boat yang membantu pemanduan dan penambatan harus siap berangkat baik pagi, siang, sore atau malam, bahkan ketika cuaca tidak bersahabat.
‘’Tantangannya ketika memasuki musim Barat pada bulan Desember hingga Maret. Pada saat itu cuaca sudah tidak dapat diperkirakan dan ombak tinggi pun siap menghadang. Namun, jika angin sudah di atas 20 knot dan ombak lebih dari dua meter, demi keselamatan kami diminta tidak berangkat,’’ kata Yogi.
Kendati demikian, tugas tetap tugas. Kondisi dan situasi seperti apapun harus tetap ditunaikan. Mengingat BBM yang akan didistribusikan itu untuk kebutuhan masyarakat dan tidak boleh terlambat dalam pengirimannya, kru mooring boat harus pandai mencuri waktu di sela cuaca yang tidak bersahabat sekalipun demi kelancaran pasokan energi.
‘’Kami lihat di jam-jam yang memungkinkan untuk berangkat. Biasanya pada pukul 03.00 dini hari hingga 09.00 pagi masih bisa buat berlayar ke tengah laut dan membantu penyaluran BBM dari tanker ke SPM saat musim Barat. Ya, mau nggak mau kalau cuaca ekstrem harus lebih sabar dan kami baru bisa tenang jika pekerjaan kami berjalan baik dan BBM berhasil dialirkan tepat waktu dan tidak ada keterlambatan. Pasalnya jika terlambat, pasokan BBM ke terminal BBM dan SPBU akan terganggu,’’ tuturnya yang rela bertemu keluarganya di Cilacap setiap dua bulan sekali demi tugas tersebut.
Tidak berbeda dengan Yogi, Eriawan Budi Hartanto yang juga awak kapal Mooring Boat Patin 03 memiliki tugas yang kurang lebih sama. Lelaki berusia 46 tahun itu sudah 11 tahun terakhir bertugas melayani kapal sandar. Mulai menyiapkan hingga mengecek sarana prasarana penambatan kapal dan penyaluran BBM.
‘’Saya harus stand by 24 jam non stop demi tugas ini. Sudah komitmen pada awal bekerja, meskipun itu cuaca ekstrem,’’ katanya yang sudah mengabdi di Pertamina sejak tahun 1996 itu.
Ayah satu anak ini sebelumnya bekerja sebagai regu darat di Port Marine Pertamina atau sekarang Pertamina Trans Kontinental. Namun, karena panggilan jiwa ia melamar dan mengisi posisi yang kosong di mooring boat. Ia lebih memilih berteman dengan gelombang ombak demi membantu kapal tanker BBM sandar.
‘’Kendala cuaca ekstrem sih sudah biasa kami hadapi. Begitupun pandemik, kami rela tidak pulang ke rumah demi pengabdian mengantarkan dan mengamankan BBM hingga ke masyarakat,’’ tuturnya.