Jalan Tol Balikpapan-Samarinda sepanjang 97,99 km siap beroperasi (dok. Jasa Marga)
Kritikan tajam juga mengarah kepada Gubernur Jateng Ganjar Pranowo sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat untuk mensukseskan rencana pembangunan bendungan Bener. Ganjar pun akhirnya meminta maaf dan berupaya untuk membangun komunikasi yang lebih elegan dan manusiawi kepada warga yang menolak.
Pembangunan Bendungan Bener sebenarnya merupakan satu diantara 58 Program Strategis Nasional (PSN) Sektor Bendungan dan Irigasi yang disahkan oleh Presiden Joko Widodo. Total investasi proyek ini bernilai Rp2,06 triliun dari pos anggaran APBN dan APBD.
Penanggung jawab proyek Bendungan Bener yakni Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Serayu Opak. Pembangunannya melibatkan tiga BUMN yakni PT Brantas Abipraya (Persero), PT PP (Persero), dan PT Waskita Karya (Persero). Diharapkan setelah selasai Bendungan Bener akan menyuplai air untuk lahan irigasi sawah seluas 13.589 hektar di area lama dan 1.110 hektar di area baru.
Program Strategis Nasional untuk pembangunan Bendungan Bener sebenarnya tidak ada masalah bagi warga di Desa Wadas bahkan disambut baik. Hanya saja pendekatan yang dilakukan pemerintah melalui cara represif intimidasi dan kekerasan membuat warga bangkit dan melawan. Selain itu warga juga menolak rencana penambangan yang dikhawatirkan dapat merusak lingkungan dan hilangnya mata pencaharian warga.
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo tetap tidak bergeming meski warga mendesak pencabutan Izin Penguasaan Lahan (IPL) yang mengeluarkan Wadas sebagai lokasi penambangan. Rencana proyek penambangan andesit di Wadas pun akan terus dikawal agar tidak menimbulkan masalah seperti yang dikhawatirkan banyak orang, mulai dari permasalahan kerusakan lingkungan hidup, warga desa kehilangan mata pencaharian, dan terjadinya konflik sosial antar warga.
Ganjar mengaku tidak bisa membatalkan pengambilan batu andesit bagi Bendungan Bener karena mempertimbangkan sejumlah faktor. Ganjar berdalih segala penghitungan sudah dilakukan dengan cermat termasuk melihat dampak yang ditimbulkan bagi masyarakat.
"Maka saya sampaikan informasinya, pada saat bendungan itu diusulkan untuk dibangun, tujuannya memang supaya bisa menangkap aliran Sungai Bogowonto sehingga sawah sekitarnya dapat aliran irigasi. Dan menurut hitung-hitungannya, tempat itu yang bisa dipakai. Saya udah ngomong sama BBWS (Serayu Opak) dan Kementerian PUPR," ujar Ganjar, Kamis (17/2/2022).
Pengambilan batu andesit di Desa Wadas dari kajian teknis tergolong efisien sehingga Kementerian PUPR memilih lokasi proyeknya di desa tersebut. Jika lokasi pengukurannya dipindahkan ke tempat lainnya, dirinya justru pesimistis bisa terlaksana dengan lancar. Sebab ia mengklaim harga tanah di Wadas jauh lebih murah ketimbang kawasan lainnya.
"Kalau pindah dan beli di tempat lain akan jauh lebih mahal harganya. Jadi kenapa dipilihnya di situ, ya memang dipilih yang paling efisien dan sudah ada pembahasannya dari PUPR. Merekalah yang lebih pintar menjelaskan ketimbang saya," cetusnya.
Proyek lain atas nama PSN yang kenyataannya malah menimbulkan masalah yakni konflik agraria Jalan tol Balikpapan-Samarinda di Kalimantan Timur (Kaltim)
Pada proyek itu masih banyak warga pemilik lahan belum mendapat kompensasi atas beton yang berdiri di tanah mereka. Yang akhirnya menjadi konflik berkepanjangan.
Meski berkali-kali disuarakan, nyatanya hingga kini belum ada titik terang untuk persoalan tersebut. Drinus Arruan, warga Kilometer 38 Samboja mengaku Dia harus berjuang mendapatkan haknya dari 2 hektare tanahnya yang kini menjadi akses jalur cepat di Kaltim.
Jika diingat-ingatnya, saat itu sekitar tahun 2018 soal pembangunan jalan tol ini memang sudah pernah dibicarakan oleh pemerintah kepadanya dan puluhan warga lainnya. Tapi siapa sangka, belum ada pembicaraan lebih jauh proyek itu tetap dijalankan dan telah diubah menjadi hak pengelolaan lahan (HPL) negara.
"Sampai sekarang itu jadinya belum diganti. Sekarang sih lagi diurus di Jakarta," kata dia.
Usai pembalikan lahan warga menjadi HPL itu, Drinus mengungkapkan jika pemerintah hanya baru mengganti tanaman yang ada di lahan itu saja. Padahal seharusnya tanahnya juga turut diganti rugi.
Inilah yang menjadi kebingungan warga. Apalagi sampai menginjak tahun 2022 ini persoalan ganti rugi itu tak kunjung selesai.
"Kami sampai melakukan banyak cara agar dapat didengar, melakukan aksi di saat pak Jokowi datang tapi tetap saja belum ada kelanjutannya," terang pria berusia 60 tahun ini.
Sebenarnya sempat sekali dirinya sudah bertemu dengan Jokowi saat kunjungan kerja orang nomor 1 di Indonesia itu pada tahun 2019 lalu. Bahkan sudah menyerahkan data terkait ganti rugi dan lahan yang terdampak.
Tapi lagi-lagi Drinus tak tahu sudah sampai mana dan apa yang terjadi pada data itu di Jakarta. Dan lagi dirinya sebenarnya tak habis pikir dengan segala tindakan pemerintah dan aparat yang selalu saja meredam mereka, saat akan menyampaikan aspirasi.
Padahal itu mereka lakukan demi bisa mendapatkan kembali hak mereka yang dipakai oleh pemerintah.
Sebagai contoh diberikan Drinus, ketika ia bersama puluhan warga lainnya hendak turun ke jalan tol untuk melakukan aksi selalu berhadapan dengan TNI-Polri.
"Kami dibilangin, jangan mengganggu jalan karena itu proyek strategis. Bahkan kadang dua minggu sebelum kami turun TNI-Polri sudah tahu duluan," tutur dia.
Lanjutnya, hal ini pastinya memberikan rasa kecewa bagi warga di sana. Belum lagi ketika jika jumlah aparat yang datang tak sebanding dengan mereka yang dapat dihitung dalam beberapa ke depan saja. Yang membuat suara mereka berujung kembali tak terdengar.
Proyek strategi nasional (PSN) juga dinilai menjadi konflik agraria di Sumatera Utara, akibat proses pengadaan tanah untuk pembangunan infrastuktur. Salah satunya pembangunan di kawasan Danau Toba masyarakat Adat Sigapiton.
“Konflik-konflik agraria yang asalnya akibat program pembangunan strategi nasional gitu, ada program pembangunan strategi nasional yang dibangun di Sumtera Utara seperti di kawasan Danau Toba, pembangunan jalan tol, pembangunan pelabuhan dan sebagainya juga selalu menimbulkan konflik konflik ditengah tengah masyarakat,” ujar Koordinator KontraS Sumut Amin Multazam Lubis.
Namun kebanyakan menurut Amin konflik agraria di Sumatera Utara pemanfaatan Hak Guna Usaha (HGU).
Satu diantaranya yakni konflik eks HGU PTPN II, seluas 5873,06 hektar tanah Eks Hak Guna Usaha (HGU) PTPN II. Lahan yang dulunya jadi HGU setelah habis masa berlakunya maka tanah itu jadi eks HGU, kemudian ada mekanisme yang dikembalikan ke negara dan ada mekanisme penyelesainya.
“Yang pertama di atas tanah tanah eks HGU, yang paling menonjol adalah eks HGU di PTPN II ada 5873,06 hektar tanah eks HGU yang sampai hari ini jadi persoalan dan selalu aja menimbulkan angka konflik di lapangan,” kata Amin.
Selain itu Amin juga menyebutkan, izin HGU yang tumpang tindih akhirnya juga memicu konflik agraria. Secara geografis konflik seperti itu berpotensi dijumpai pada wilayah pantai timur Sumatera yang merupakan wilayah perkebunan dan tambang.
“Persoalan di Sumatera Utara disebabkan di tanah-tanah yang ada HGU-nya, artinya ada tumpang tindih HGU di atas tanah itu. Dalam artian disatu sisi perusahaan menganggap bahwa mereka punya hak secara kuat bahwa mereka memiliki HGU tadi, tapi di sisi lain HGU masyarakat yang ada di wilayah itu keberatan dengan terbitnya HGU. Dari geografis konflik kayak gini bisa kita lihat di wilayah pantai timur Sumatera yang menjadi wilayah perkebunan dan tambang potensial,” katanya.