Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). (IDN Times/Dhana Kencana)
Ilustrasi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). (IDN Times/Dhana Kencana)

Intinya sih...

  • PLTSa di Indonesia belum mencapai target operasional yang diamanatkan Perpres Nomor 35 Tahun 2018, hanya dua dari 12 kota prioritas yang benar-benar beroperasi.

  • Permasalahan PLTSa meliputi masalah pendanaan, birokrasi, penolakan warga sekitar lokasi pembangunan, dan dampak lingkungan seperti polusi udara.

  • Perpres Nomor 109 Tahun 2025 membawa perubahan signifikan dengan menaikkan tarif listrik PLTSa, memperpanjang durasi kontrak, dan menghapus skema tipping fee dari APBD.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Indonesia sedang menghadapi bom waktu bernama sampah. Setiap hari, negara yang sudah berusia 80 tahun pada 17 Agustus 2025 lalu itu menghasilkan lebih dari 185 ribu ton sampah dari 270 juta penduduknya.

Dari gunungan sampah tersebut, sebagian besar berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), yang sudah kewalahan menampung, kemudian bocor ke sungai dan lautan, atau sekadar dibakar di halaman rumah.

Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup tahun 2024 mencatat, sebanyak 34,2 juta ton sampah dihasilkan dari 317 kabupaten dan kota. Lebih mengkhawatirkan, baru 59,74 persen atau sekitar 20,4 juta ton yang berhasil dikelola secara layak. Sisanya, 40,26 persen atau setara 13,8 juta ton, menumpuk tak terkelola.

Laporan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memproyeksikan, volume sampah nasional akan menembus 82,2 juta ton pada tahun 2045. Sementara Bank Dunia dalam laporan The Atlas of Sustainable Development Goals 2023 menempatkan Indonesia sebagai negara penghasil sampah terbesar kelima di dunia.

Kondisi itu menciptakan krisis lingkungan yang mengancam generasi mendatang. Mulai dari pencemaran air tanah, polusi udara, hingga kontaminasi mikroplastik yang kini terdeteksi dalam tubuh manusia.

Studi kolaboratif Greenpeace Indonesia dan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) yang dilakukan pada Januari 2023--Desember 2024 menemukan fakta mengejutkan: mikroplastik terdeteksi pada 95 persen sampel dari 67 partisipan penelitian. Jenis plastik PET (Polyethylene Terephthalate) dari botol air minum dalam kemasan menjadi kontaminan terbanyak dengan 204 partikel terdeteksi.

"Mereka yang terpapar mikroplastik memiliki risiko mengalami penurunan fungsi kognitif hingga 36 kali lipat. Dampaknya, kemampuan berpikir, mengingat, dan mengambil keputusan juga akan ikut turun," kata ahli saraf dari FKUI, Pukovisa Prawirohardjo, yang menjadi anggota Tim Riset Mikroplastik tersebut.

Janji Tujuh Tahun yang Belum Terpenuhi

Pemerintah tidak tinggal diam. Sejak 2018, proyek ambisius Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) digulirkan dengan janji mengubah sampah menjadi listrik (waste to energy).

Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 35 Tahun 2018 menjadi fondasi awal proyek itu. Beleid tersebut menetapkan 12 kota prioritas: DKI Jakarta, Tangerang, Tangerang Selatan, Bekasi, Bandung, Semarang, Surakarta, Surabaya, Makassar, Denpasar, Palembang, dan Manado. Target operasional keduabelas PLTSa itu ditetapkan tahun 2022. Namun, realitas berbicara lain.

Tujuh tahun berlalu bahkan hingga Desember 2025, dari 12 kota prioritas yang diamanatkan Perpres, hanya dua yang benar-benar beroperasi, yakni PLTSa Benowo di Surabaya dan PLTSa Putri Cempo di Surakarta. Tingkat keberhasilan keduanya juga baru 16,7 persen, jauh dari ekspektasi.

Sisanya? Tersandera oleh masalah pendanaan, birokrasi berbelit, hingga penolakan warga sekitar lokasi pembangunan. Mari melihat lebih dalam kondisi proyek tersebut.

PLTSa Benowo, Surabaya. (IDN Times/Khusnul Hasana)

PLTSa Benowo menjadi satu-satunya kisah sukses yang layak diapresiasi. Dikelola PT Sumber Organik, fasilitas tersebut menggabungkan dua teknologi: sanitary landfill gas berkapasitas 1,65 MW yang beroperasi sejak November 2015 dan gasifikasi 9 MW sejak Maret 2021.

Sepanjang 10 tahun beroperasi, PLTSa Benowo menyumbang energi dari sampah sebesar 166,1 GWh ke jaringan kelistrikan Jawa Timur. Setiap hari, fasilitas yang berdiri di lahan seluas 37,4 hektar itu mengolah 1.000--1.600 ton sampah yang menghasilkan listrik 9--12 MW.

Keberhasilan Benowo tidak lepas dari komitmen politik Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya yang kuat dalam menyepakati tipping fee yang layak bagi mitra swasta sejak awal pengoperasian, serta stabilitas kerja sama yang minim gangguan politik. Tipping fee adalah biaya yang dikeluarkan dari anggaran pemerintah selaku pemilik otoritas penanganan sampah maupun swasta pengelola kawasan kepada pengelola sampah, yang besarannya umumnya didasarkan pada jumlah yang dikelola per ton atau satuan volume (m³).

Akan tetapi, kesuksesan tersebut tidak tanpa catatan. Investigasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur mengungkap sisi gelap yang mengkhawatirkan dari PLTSa Benowo.

Pemantauan kualitas udara di sekitar PLTSa Benowo yang dilakukan pada November 2024 hingga Januari 2025 menunjukkan rata-rata konsentrasi partikel debu halus PM2.5 mencapai 26,78 µg/m³--hampir dua kali lipat ambang batas aman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 15 µg/m³. Pada beberapa titik pemantauan, kadar PM2.5 bahkan melampaui 100 µg/m³, yang tergolong sangat berbahaya.

"Bukti menunjukkan bahwa PLTSa ini tidak hanya gagal memenuhi standar kualitas udara, tetapi juga secara langsung mengancam kesehatan masyarakat," ujar Manajer Kampanye Walhi Jawa Timur, Lucky Wahyu Wardhana.

Di sisi lain, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Surabaya, Dedik Irianto, membantah temuan tersebut. Berdasarkan uji kualitas udara yang dilakukan laboratorium terakreditasi, emisi yang dihasilkan PLTSa Benowo berada jauh di bawah ambang batas yang ditetapkan pemerintah.

Pengujian di titik buang aktif menunjukkan kadar PM2.5 sebesar 3,9 µg/Nm³, jauh di bawah baku mutu udara ambien 55 µg/Nm³ sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021.

"Kami tidak hanya memastikan PLTSa Benowo berjalan efisien, tapi juga memastikan seluruh prosesnya aman bagi warga sekitar. Hasil ini membuktikan bahwa udara di sekitar PLTSa tetap bersih dan sehat," klaim Dedik.

Perbedaan hasil pemantauan tersebut menimbulkan pertanyaan tentang metodologi dan waktu pengambilan sampel. Walhi menekankan bahwa kadar emisi dapat melonjak tajam saat pembangkit dinyalakan, dimatikan, atau mengalami gangguan teknis. Tanpa sistem pemantauan emisi secara kontinu dan transparan, klaim tentang keamanan menjadi sulit diverifikasi secara independen.

PLTSA Putri Cempo, Mojosongo, Solo. (IDN Times/Larasati Rey)

Bagaimana dengan PLTSa Putri Cempo di Kota Solo? PLTSa tersebut menggunakan teknologi gasifikasi canggih dan beroperasi sejak Oktober 2023. Dengan investasi Rp300 miliar dari PT Solo Citra Metro Plasma Power (SCMPP), fasilitas tersebut dirancang mengolah 545 ton sampah per hari untuk menghasilkan 8 MW listrik–yang mana 5 MW dijual ke PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Sayang, realitas di lapangan jauh dari target. Pasokan sampahnya hanya sekitar 80--300 ton per hari, jauh di bawah kapasitas desain. Produksi listrik pun hanya mencapai 1--2 MW, jauh dari target 10 MW. Masalah lingkungan ikut mencuat.

Investigasi Yayasan Gita Pertiwi pada 2024 mengungkapkan limbah tar (air lindi) berwarna hitam pekat hasil gasifikasi mengalir ke Sungai Jengglong, mencemari sumber air warga. Kemudian, bau menyengat dan getaran mesin mengganggu tidur warga setempat.

Selain itu, kolam penampung tar belum dilapisi atap sehingga menyebabkan limbah berbahaya dari sampah meluber ke permukiman sekitar saat hujan.

Kawasan calon PLTSa Gedebage, Kota Bandung. (IDN Times/Azzis Zulkhairil)

Sepuluh kota prioritas lainnya terjebak dalam berbagai hambatan struktural. DKI Jakarta menjadi contoh yang paling dramatis. Proyek Intermediate Treatment Facility (ITF) Sunter yang berstatus Proyek Strategis Nasional (PSN) dibatalkan penganggarannya lantaran ketidaksanggupan fiskal daerah menanggung tipping fee yang sangat besar dalam jangka panjang.

Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung menyoroti bahwa tipping fee di Jakarta saat ini berada di angka USD 13,5 per ton, yang dinilai terlalu rendah untuk menarik minat investor membangun insinerator yang layak secara finansial. Menurutnya, tanpa penyesuaian tarif ke level USD 20--30 per ton, investor swasta tidak berani mengambil risiko.

PLTSa Bandung Gedebage malah mangkrak sejak rencana awal tahun 2012. PT Bandung Raya Indah Lestari sebagai pemenang lelang 2013 tidak menunjukkan progres signifikan sejak 2022. Kendala utamanya meliputi teknologi yang sudah usang, tipping fee Rp88 miliar per tahun yang memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), masalah hukum, dan penolakan warga sekitar.

Satu lagi, PLTSa Jatibarang di Semarang yang dibangun dengan bantuan Denmark mengalami kegagalan operasional. Dari kapasitas terpasang 954 kWh, realisasinya hanya 60--200 kWh karena produksi gas metana menurun drastis.

Penyebabnya unik: sampah organik dimakan ribuan sapi yang berkeliaran di TPA. Lalu, kontrak dengan PLN rupanya sudah berakhir pada Desember 2024 dan aset PLTSa itu dikembalikan ke Pemkot Semarang.

Harapan Baru atau Pengulangan Kesalahan?

Presiden Prabowo Subianto menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 109 Tahun 2025 tentang Penanganan Sampah Perkotaan Melalui Pengolahan Sampah Menjadi Energi Terbarukan Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan pada Jumat (10/10/2025). Perpres tersebut membawa perubahan signifikan dari regulasi sebelumnya.

Tarif listrik PLTSa dinaikkan menjadi USD 0,20 per kWh--naik 48,15 persen dari tarif sebelumnya USD 0,135 per kWh. Lalu, durasi kontrak diperpanjang menjadi 30 tahun.

Yang terpenting, skema tipping fee dihapus dan digabungkan ke dalam tarif listrik PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sehingga menghilangkan beban dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pemerintah daerah.

Target pun diperluas dari 12 kota menjadi 33 kota dengan total investasi Rp91 triliun. Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) ditunjuk sebagai pelaksana utama dengan PLN sebagai offtaker yang wajib membeli listrik dari PLTSa.

"Perpres 109 Tahun 2025 adalah wujud komitmen pemerintah dalam memastikan pengelolaan sampah perkotaan yang berkelanjutan. Melalui kolaborasi lintas kementerian, dukungan investasi hijau, serta partisipasi aktif pemerintah daerah, kita menata arah baru menuju Indonesia yang bersih, sehat, dan berkelanjutan," kata Menteri Lingkungan Hidup (LH)/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH), Hanif Faisol Nurofiq, Selasa (14/10/2025).

Minat investor diklaim tinggi. CEO Danantara, Rosan Perkasa Roeslani mengungkapkan, per Oktober 2025 terdapat 204 perusahaan--66 asing termasuk dari Tiongkok, Korea, Belanda, Jerman, Jepang, Australia, Singapura, dan Malaysia--serta 138 dalam negeri yang tertarik untuk berinvestasi pada proyek tersebut.

Adapun, tender untuk proyek batch pertama dibuka pada 6 November 2025 dengan target tujuh kota: Bogor, Denpasar, Yogyakarta, Semarang, Bekasi, Medan, dan Tangerang. Sebanyak 24 perusahaan dari berbagai negara pun disebut Rosan sudah lolos seleksi sebagai penyedia teknologi untuk proyek tersebut.

Di tengah optimisme pemerintah, sejumlah kritik tajam dilontarkan oleh sejumlah pegiat lingkungan. Urban Campaign Team Leader Greenpeace Indonesia, Atha Rasyadi mengatakan, Perpres 109 tahun 2025 minim konsultasi publik dan membuka jalan bagi proyek insinerator mahal dan berisiko tinggi secara fiskal.

"Proyek ini berpotensi menjerat keuangan negara melalui kontrak jangka panjang yang mahal, memperburuk pencemaran, mengancam mata pencaharian jutaan pekerja informal, serta tidak sejalan dengan mandat UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah," kritik Atha.

Ia menghitung, setiap proyek PSEL berkapasitas 1.000 ton per hari dapat membebani PLN hingga Rp600 miliar per tahun sehingga berpotensi menciptakan risiko jebakan fiskal selama 30 tahun kontrak.

Manajer Kampanye Polusi dan Urban Walhi, Abdul Ghofar menyebutkan, proyek PLTSa sebagai investasi menabur benih kerusakan. Studi kasus di Jakarta, Bandung, Surakarta, dan Surabaya organisasinya menemukan, dengan investasi mahal, PLTSa justru mengakibatkan kerusakan, bukan kemanfaatan lingkungan karena munculnya polusi udara baru akibat fly ash dan bottom ash.

Senior Advisor Nexus3 Foundation, Yuyun Ismawati menyoroti lemahnya pengawasan emisi karbon dari sumber tidak bergerak seperti PLTSa di Indonesia.

"Tidak ada sistem pemantauan emisi dioksin, furan, dan logam berat yang berjalan secara berkelanjutan serta transparan seperti yang disyaratkan di banyak negara. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup yang ada sekarang hanya mensyaratkan uji emisi dioksin dan furan dengan rentang waktu lima tahun sekali. Aturan yang akan sangat membahayakan publik karena dioksin dan furan bisa keluar kapan saja," tegasnya.

Sebagaimana diketahui, karakteristik sampah di Indonesia menjadi tantangan teknis terbesar dalam pengimplementasian PLTSa. Mengacu laporan SIPSN, sampah Indonesia berkadar air mencapai 60--70 persen dengan kandungan organik sangat tinggi, mencapai 39--42 persen. Sisa makanan menyumbang proporsi terbesar, yakni 39,36 persen pada tahun 2024, disusul sampah plastik 19,64 persen.

Kondisi tersebut tidak ideal untuk teknologi insinerasi atau gasifikasi pada PLTSa yang membutuhkan sampah dengan nilai kalori tinggi dan kadar air rendah. Sampah basah bernilai kalori rendah, kurang dari 1.200 kilokalori (kkal) per kilogram (kg). Untuk dibakar secara autogenic (tanpa bahan bakar bantu), nilai kalori idealnya harus di atas 1.500--2.000 kkal per kg. Jika dipaksakan, insinerator membutuhkan bahan bakar minyak atau gas tambahan untuk menjaga suhu pembakaran, yang membuat biaya operasional membengkak.

"Tanpa sistem pemilahan yang matang, PLTSa hanya akan mengolah sampah campuran secara tidak efisien dan justru memperparah kerusakan lingkungan. Kita tidak bisa hanya meniru tanpa adaptasi lokal yang sesuai," tegas Direktur Eksekutif Walhi Lampung, Irfan Tri Musri.

Investasi PLTSa sendiri mahal, sekitar Rp2–3 triliun per unit untuk kapasitas 1.000 ton per hari. Total kebutuhan investasi untuk 33 PLTSa mencapai Rp91 triliun. Meskipun Perpres baru menghapus beban tipping fee dari APBD, keberlangsungan proyek utnuk 33 kota itu tetap bergantung pada pasokan sampah yang stabil.

Di situlah muncul paradoks. Secara tidak langsung, PLTSa memerlukan pasokan sampah yang konstan sebagai bahan bakarnya--minimal 1.000 ton per hari. Lebih dati itu, kontrak jangka panjang dengan klausul take-or-pay justru dapat mendisinsentifkan upaya pengurangan sampah di sektor hulu (rumah tangga, sekolah, kantor). Artinya, jalannya program 3R (Reduce, Reuse, Recycle) akan mengancam keberlangsungan proyek PLTSa. 

"Persoalan sampah harus diselesaikan dari sumbernya, bukan hanya diolah di akhir. Tanpa penguatan bank sampah, pengelolaan Tempat Pengolahan Sampah (TPS) 3R, dan perubahan perilaku masyarakat, PLTSa hanya akan menjadi solusi semu," kata Direktur Yayasan Menjaga Pantai Barat (Yamantab), Damai Mendrofa.

Saenggok Land Fill, TPA di Busan (IDN Times/ Satria Permana)

Indonesia dapat belajar dari negara-negara yang sukses mengelola sampah dengan pendekatan terintegrasi. Korea Selatan, melalui fasilitas BECO di Busan dan Saenggok Landfill, membuktikan bahwa teknologi hanyalah pelengkap dari kedisiplinan pemilahan.

Kunci keberhasilan mereka terletak pada pemilahan super ketat. Contohnya sampah organik dijadikan pakan ternak atau biogas, sampah daur ulang masuk pabrik pengolahan, dan hanya residu yang benar-benar tidak berguna yang dibakar untuk energi.

Jepang memimpin dalam teknologi gasifikasi dengan 1.016 insinerator dan 404 di antaranya memiliki fasilitas pembangkit listrik. Hanya 1,1 persen total sampah secara nasional di Jepang yang berakhir di landfill.

Filosofi Mottainai (tidak menyia-nyiakan) tertanam dalam budaya mereka, dengan tingkat pemilahan sampah hingga 45 kategori untuk mencapai tingkat daur ulang tinggi di beberapa kota seperti Kamikatsu dan Tokyo.

Model Skandinavia juga patut ditiru. Swedia mencapai lebih dari 99 persen sampah rumah tangga didaur ulang atau diubah menjadi energi, dengan hampir tidak ada landfill.

Denmark menargetkan pengurangan emisi Gas Rumah Kaca sebesar 70 persen pada tahun 2030 dengan memperluas recycling, di mana kepemilikan dan pembiayaan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah sehingga dapat mengontrol langsung untuk menyesuaikan strategi dan perencanaan jangka panjangnya.

Para ahli sepakat bahwa PLTSa seharusnya menjadi solusi terakhir, bukan utama. Hierarki pengelolaan sampah yang benar dimulai dari Prevention (pencegahan), Reuse (penggunaan ulang), Recycling (daur ulang), Recovery termasuk PLTSa, dan terakhir Disposal (pembuangan). PLTSa idealnya hanya mengolah sampah residu yang tidak dapat didaur ulang.

"Misalnya sekarang pemilahan sampah. Habis dipilah, mau diapakan? Kan tidak ada industrinya. Itu yang tidak dikedepankan pemerintah," kritik Direktur Eksekutif Walhi NTB, Amri Nuryadin.

Sampah organik yang mendominasi 40--50 persen dari total idealnya ikut dikelola di sumber melalui pengomposan komunal, biodigester, atau teknologi Black Soldier Flies--bukan dikirim ke PLTSa.

Skema Refuse Derived Fuel (RDF) juga bisa menjadi alternatif yang lebih ekonomis dengan biaya investasi jauh lebih rendah sekitar Rp500 miliar--Rp1 triliun dibandingkan PLTSa yang mencapai Rp2 hingga 3 triliun. Hasil RDF pun dapat dijual ke industri semen sebagai bahan bakar alternatif.

"PLTSa butuh investasi besar dan biaya operasional tinggi. Jika sampah tidak dipilah, biaya makin membengkak dan alat cepat rusak. Keterlibatan masyarakat menjadi kunci—edukasi tentang pemilahan sampah sejak dari sumber harus terus digencarkan agar proses pengolahan menjadi lebih efisien," ucap pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi.

Indonesia juga perlu mengintegrasikan sektor informal dalam pengelolaan sampah. Ekosistem daur ulang informal yang digerakkan oleh pemulung sangat masif di dalam negeri.

Teknologi PLTSa yang bersifat mass-burn cenderung memagari akses sampah mereka dan mengancam mata pencaharian ribuan pemulung. Direktur Eksekutif Yayasan Bina Karya Lestari (Bintari), Amalia Wulansari mengatakan, model yang sukses dari pengelolaan sampah harus mengintegrasikan mereka dalam tahap pre-treatment atau Material Recovery Facility sebelum sampah masuk ke mesin pengolah.

Aktivitas penimbangan sampah dari warga di Bank Sampah Ngudi Lestari, Tinjomoyo, Semarang, Minggu (28/9/2025). (IDN Times/Dhana Kencana)

Di tengah perdebatan soal proyek triliunan itu, solusi berbasis komunitas justru menunjukkan hasil nyata. Salah satunya oleh Bank Sampah Ngudi Lestari di Kelurahan Tinjomoyo, Kota Semarang.

Bank sampah yang dikomandoi Umi Taslim itu berhasil mencegah 72 ton sampah anorganik per tahun masuk ke TPA setempat melalui pemilahan dan konversi ke tabungan emas. Insentif berupa tabungan emas terbukti efektif mendorong partisipasi warga setempat.

Hingga Juni 2025, mereka sukses mengumpulkan lebih dari 3.030 ton sampah plastik. Kiprahnya tersebut membuat PT Pegadaian menggandeng mereka ikut Program The Gade Clean and Gold, yang melibatkan 425 bank sampah di seluruh Indonesia, dengan 56.204 nasabah.

Program The Gade Clean and Gold dari PT Pegadaian yang bermitra dengan bank sampah tersebut sudah mengumpulkan lebih dari 3.030 ton sampah plastik secara nasional hingga Juni 2025. Insentif berupa tabungan emas terbukti efektif mendorong partisipasi warga setempat.

Amalia menyatakan pentingnya pendekatan bisnis sosial dalam pengelolaan bank sampah di tingkat akar rumput.

"Bank sampah harus mempunyai strategi bisnis, bukan sekadar hobi. Kemitraan dengan sektor swasta memberikan nilai ekonomi nyata yang membuat sistem di bank sampah bisa berkelanjutan," ujarnya.

Pembangunan PLTSa di Indonesia berada di persimpangan: antara solusi progresif atau ancaman baru yang menambah beban lingkungan. Pengalaman tujuh tahun terakhir menunjukkan bahwa teknologi canggih saja tidak cukup tanpa dukungan sistem yang komprehensif, finansial yang stabil, inklusivitas sosial, dan tata kelola yang transparan.

Perpres 109/2025 dan program Danantara membawa harapan baru dengan tarif yang lebih menarik dan penghapusan beban tipping fee dari APBD. Meski demikian, tantangan fundamental, mulai dari karakteristik sampah yang tidak sesuai, minimnya infrastruktur pemilahan, dan potensi dampak kesehatan, tetap harus dijawab dengan serius.

Target ambisius 33 PLTSa hingga tahun 2029 dengan investasi Rp91 triliun menjadi realistis jika disertai transformasi fundamental dalam pengelolaan sampah dari hulu hingga hilir. Pemerintah tidak boleh terobsesi pada solusi hilir yang mahal, sementara fondasi di hulu masih rapuh.

Indonesia tidak harus memilih salah satu karena membutuhkan keduanya: teknologi modern dan gerakan berbasis komunitas. Akan tetapi, urutan yang benar adalah memperkuat hulu terlebih dahulu, baru kemudian mengoptimalkan di sisi hilir. Kisah kontras antara PLTSa yang tersendat di 10 lokasi dan program bank sampah yang melesat memberikan pelajaran berharga: solusi yang paling efektif justru yang paling dekat dengan masyarakat, dengan edukasi, partisipasi, dan insentif ekonomi langsung.

Tanpa pendekatan holistik tersebut, risiko program gagal atau menghasilkan pencemaran lingkungan baru sangat tinggi. Dan yang menanggung akibatnya bukan para pembuat kebijakan, melainkan masyarakat biasa yang harus menghirup udara yang tercemar dan meminum air terkontaminasi mikroplastik.

Indonesia tidak harus memilih salah satu karena membutuhkan keduanya: teknologi modern dan gerakan berbasis komunitas. Akan tetapi, urutan yang benar adalah memperkuat hulu terlebih dahulu, baru kemudian mengoptimalkan di sisi hilir. Kisah kontras antara PLTSa yang tersendat di 10 lokasi dan program bank sampah yang melesat memberikan pelajaran berharga: solusi yang paling efektif justru yang paling dekat dengan masyarakat, dengan edukasi, partisipasi, dan insentif ekonomi langsung.

Tanpa pendekatan holistik tersebut, risiko program gagal atau menghasilkan pencemaran lingkungan baru sangat tinggi. Dan yang menanggung akibatnya bukan para pembuat kebijakan, melainkan masyarakat biasa yang harus menghirup udara yang tercemar dan meminum air terkontaminasi mikroplastik.

Editorial Team