Presiden Prabowo Subianto menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 109 Tahun 2025 tentang Penanganan Sampah Perkotaan Melalui Pengolahan Sampah Menjadi Energi Terbarukan Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan pada Jumat (10/10/2025). Perpres tersebut membawa perubahan signifikan dari regulasi sebelumnya.
Tarif listrik PLTSa dinaikkan menjadi USD 0,20 per kWh--naik 48,15 persen dari tarif sebelumnya USD 0,135 per kWh. Lalu, durasi kontrak diperpanjang menjadi 30 tahun.
Yang terpenting, skema tipping fee dihapus dan digabungkan ke dalam tarif listrik PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sehingga menghilangkan beban dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pemerintah daerah.
Target pun diperluas dari 12 kota menjadi 33 kota dengan total investasi Rp91 triliun. Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) ditunjuk sebagai pelaksana utama dengan PLN sebagai offtaker yang wajib membeli listrik dari PLTSa.
"Perpres 109 Tahun 2025 adalah wujud komitmen pemerintah dalam memastikan pengelolaan sampah perkotaan yang berkelanjutan. Melalui kolaborasi lintas kementerian, dukungan investasi hijau, serta partisipasi aktif pemerintah daerah, kita menata arah baru menuju Indonesia yang bersih, sehat, dan berkelanjutan," kata Menteri Lingkungan Hidup (LH)/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH), Hanif Faisol Nurofiq, Selasa (14/10/2025).
Minat investor diklaim tinggi. CEO Danantara, Rosan Perkasa Roeslani mengungkapkan, per Oktober 2025 terdapat 204 perusahaan--66 asing termasuk dari Tiongkok, Korea, Belanda, Jerman, Jepang, Australia, Singapura, dan Malaysia--serta 138 dalam negeri yang tertarik untuk berinvestasi pada proyek tersebut.
Adapun, tender untuk proyek batch pertama dibuka pada 6 November 2025 dengan target tujuh kota: Bogor, Denpasar, Yogyakarta, Semarang, Bekasi, Medan, dan Tangerang. Sebanyak 24 perusahaan dari berbagai negara pun disebut Rosan sudah lolos seleksi sebagai penyedia teknologi untuk proyek tersebut.
Di tengah optimisme pemerintah, sejumlah kritik tajam dilontarkan oleh sejumlah pegiat lingkungan. Urban Campaign Team Leader Greenpeace Indonesia, Atha Rasyadi mengatakan, Perpres 109 tahun 2025 minim konsultasi publik dan membuka jalan bagi proyek insinerator mahal dan berisiko tinggi secara fiskal.
"Proyek ini berpotensi menjerat keuangan negara melalui kontrak jangka panjang yang mahal, memperburuk pencemaran, mengancam mata pencaharian jutaan pekerja informal, serta tidak sejalan dengan mandat UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah," kritik Atha.
Ia menghitung, setiap proyek PSEL berkapasitas 1.000 ton per hari dapat membebani PLN hingga Rp600 miliar per tahun sehingga berpotensi menciptakan risiko jebakan fiskal selama 30 tahun kontrak.
Manajer Kampanye Polusi dan Urban Walhi, Abdul Ghofar menyebutkan, proyek PLTSa sebagai investasi menabur benih kerusakan. Studi kasus di Jakarta, Bandung, Surakarta, dan Surabaya organisasinya menemukan, dengan investasi mahal, PLTSa justru mengakibatkan kerusakan, bukan kemanfaatan lingkungan karena munculnya polusi udara baru akibat fly ash dan bottom ash.
Senior Advisor Nexus3 Foundation, Yuyun Ismawati menyoroti lemahnya pengawasan emisi karbon dari sumber tidak bergerak seperti PLTSa di Indonesia.
"Tidak ada sistem pemantauan emisi dioksin, furan, dan logam berat yang berjalan secara berkelanjutan serta transparan seperti yang disyaratkan di banyak negara. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup yang ada sekarang hanya mensyaratkan uji emisi dioksin dan furan dengan rentang waktu lima tahun sekali. Aturan yang akan sangat membahayakan publik karena dioksin dan furan bisa keluar kapan saja," tegasnya.
Sebagaimana diketahui, karakteristik sampah di Indonesia menjadi tantangan teknis terbesar dalam pengimplementasian PLTSa. Mengacu laporan SIPSN, sampah Indonesia berkadar air mencapai 60--70 persen dengan kandungan organik sangat tinggi, mencapai 39--42 persen. Sisa makanan menyumbang proporsi terbesar, yakni 39,36 persen pada tahun 2024, disusul sampah plastik 19,64 persen.
Kondisi tersebut tidak ideal untuk teknologi insinerasi atau gasifikasi pada PLTSa yang membutuhkan sampah dengan nilai kalori tinggi dan kadar air rendah. Sampah basah bernilai kalori rendah, kurang dari 1.200 kilokalori (kkal) per kilogram (kg). Untuk dibakar secara autogenic (tanpa bahan bakar bantu), nilai kalori idealnya harus di atas 1.500--2.000 kkal per kg. Jika dipaksakan, insinerator membutuhkan bahan bakar minyak atau gas tambahan untuk menjaga suhu pembakaran, yang membuat biaya operasional membengkak.
"Tanpa sistem pemilahan yang matang, PLTSa hanya akan mengolah sampah campuran secara tidak efisien dan justru memperparah kerusakan lingkungan. Kita tidak bisa hanya meniru tanpa adaptasi lokal yang sesuai," tegas Direktur Eksekutif Walhi Lampung, Irfan Tri Musri.
Investasi PLTSa sendiri mahal, sekitar Rp2–3 triliun per unit untuk kapasitas 1.000 ton per hari. Total kebutuhan investasi untuk 33 PLTSa mencapai Rp91 triliun. Meskipun Perpres baru menghapus beban tipping fee dari APBD, keberlangsungan proyek utnuk 33 kota itu tetap bergantung pada pasokan sampah yang stabil.
Di situlah muncul paradoks. Secara tidak langsung, PLTSa memerlukan pasokan sampah yang konstan sebagai bahan bakarnya--minimal 1.000 ton per hari. Lebih dati itu, kontrak jangka panjang dengan klausul take-or-pay justru dapat mendisinsentifkan upaya pengurangan sampah di sektor hulu (rumah tangga, sekolah, kantor). Artinya, jalannya program 3R (Reduce, Reuse, Recycle) akan mengancam keberlangsungan proyek PLTSa.
"Persoalan sampah harus diselesaikan dari sumbernya, bukan hanya diolah di akhir. Tanpa penguatan bank sampah, pengelolaan Tempat Pengolahan Sampah (TPS) 3R, dan perubahan perilaku masyarakat, PLTSa hanya akan menjadi solusi semu," kata Direktur Yayasan Menjaga Pantai Barat (Yamantab), Damai Mendrofa.
Saenggok Land Fill, TPA di Busan (IDN Times/ Satria Permana)
Indonesia dapat belajar dari negara-negara yang sukses mengelola sampah dengan pendekatan terintegrasi. Korea Selatan, melalui fasilitas BECO di Busan dan Saenggok Landfill, membuktikan bahwa teknologi hanyalah pelengkap dari kedisiplinan pemilahan.
Kunci keberhasilan mereka terletak pada pemilahan super ketat. Contohnya sampah organik dijadikan pakan ternak atau biogas, sampah daur ulang masuk pabrik pengolahan, dan hanya residu yang benar-benar tidak berguna yang dibakar untuk energi.
Jepang memimpin dalam teknologi gasifikasi dengan 1.016 insinerator dan 404 di antaranya memiliki fasilitas pembangkit listrik. Hanya 1,1 persen total sampah secara nasional di Jepang yang berakhir di landfill.
Filosofi Mottainai (tidak menyia-nyiakan) tertanam dalam budaya mereka, dengan tingkat pemilahan sampah hingga 45 kategori untuk mencapai tingkat daur ulang tinggi di beberapa kota seperti Kamikatsu dan Tokyo.
Model Skandinavia juga patut ditiru. Swedia mencapai lebih dari 99 persen sampah rumah tangga didaur ulang atau diubah menjadi energi, dengan hampir tidak ada landfill.
Denmark menargetkan pengurangan emisi Gas Rumah Kaca sebesar 70 persen pada tahun 2030 dengan memperluas recycling, di mana kepemilikan dan pembiayaan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah sehingga dapat mengontrol langsung untuk menyesuaikan strategi dan perencanaan jangka panjangnya.
Para ahli sepakat bahwa PLTSa seharusnya menjadi solusi terakhir, bukan utama. Hierarki pengelolaan sampah yang benar dimulai dari Prevention (pencegahan), Reuse (penggunaan ulang), Recycling (daur ulang), Recovery termasuk PLTSa, dan terakhir Disposal (pembuangan). PLTSa idealnya hanya mengolah sampah residu yang tidak dapat didaur ulang.
"Misalnya sekarang pemilahan sampah. Habis dipilah, mau diapakan? Kan tidak ada industrinya. Itu yang tidak dikedepankan pemerintah," kritik Direktur Eksekutif Walhi NTB, Amri Nuryadin.
Sampah organik yang mendominasi 40--50 persen dari total idealnya ikut dikelola di sumber melalui pengomposan komunal, biodigester, atau teknologi Black Soldier Flies--bukan dikirim ke PLTSa.
Skema Refuse Derived Fuel (RDF) juga bisa menjadi alternatif yang lebih ekonomis dengan biaya investasi jauh lebih rendah sekitar Rp500 miliar--Rp1 triliun dibandingkan PLTSa yang mencapai Rp2 hingga 3 triliun. Hasil RDF pun dapat dijual ke industri semen sebagai bahan bakar alternatif.
"PLTSa butuh investasi besar dan biaya operasional tinggi. Jika sampah tidak dipilah, biaya makin membengkak dan alat cepat rusak. Keterlibatan masyarakat menjadi kunci—edukasi tentang pemilahan sampah sejak dari sumber harus terus digencarkan agar proses pengolahan menjadi lebih efisien," ucap pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi.
Indonesia juga perlu mengintegrasikan sektor informal dalam pengelolaan sampah. Ekosistem daur ulang informal yang digerakkan oleh pemulung sangat masif di dalam negeri.
Teknologi PLTSa yang bersifat mass-burn cenderung memagari akses sampah mereka dan mengancam mata pencaharian ribuan pemulung. Direktur Eksekutif Yayasan Bina Karya Lestari (Bintari), Amalia Wulansari mengatakan, model yang sukses dari pengelolaan sampah harus mengintegrasikan mereka dalam tahap pre-treatment atau Material Recovery Facility sebelum sampah masuk ke mesin pengolah.
Aktivitas penimbangan sampah dari warga di Bank Sampah Ngudi Lestari, Tinjomoyo, Semarang, Minggu (28/9/2025). (IDN Times/Dhana Kencana)
Di tengah perdebatan soal proyek triliunan itu, solusi berbasis komunitas justru menunjukkan hasil nyata. Salah satunya oleh Bank Sampah Ngudi Lestari di Kelurahan Tinjomoyo, Kota Semarang.
Bank sampah yang dikomandoi Umi Taslim itu berhasil mencegah 72 ton sampah anorganik per tahun masuk ke TPA setempat melalui pemilahan dan konversi ke tabungan emas. Insentif berupa tabungan emas terbukti efektif mendorong partisipasi warga setempat.
Hingga Juni 2025, mereka sukses mengumpulkan lebih dari 3.030 ton sampah plastik. Kiprahnya tersebut membuat PT Pegadaian menggandeng mereka ikut Program The Gade Clean and Gold, yang melibatkan 425 bank sampah di seluruh Indonesia, dengan 56.204 nasabah.
Program The Gade Clean and Gold dari PT Pegadaian yang bermitra dengan bank sampah tersebut sudah mengumpulkan lebih dari 3.030 ton sampah plastik secara nasional hingga Juni 2025. Insentif berupa tabungan emas terbukti efektif mendorong partisipasi warga setempat.
Amalia menyatakan pentingnya pendekatan bisnis sosial dalam pengelolaan bank sampah di tingkat akar rumput.
"Bank sampah harus mempunyai strategi bisnis, bukan sekadar hobi. Kemitraan dengan sektor swasta memberikan nilai ekonomi nyata yang membuat sistem di bank sampah bisa berkelanjutan," ujarnya.
Pembangunan PLTSa di Indonesia berada di persimpangan: antara solusi progresif atau ancaman baru yang menambah beban lingkungan. Pengalaman tujuh tahun terakhir menunjukkan bahwa teknologi canggih saja tidak cukup tanpa dukungan sistem yang komprehensif, finansial yang stabil, inklusivitas sosial, dan tata kelola yang transparan.
Perpres 109/2025 dan program Danantara membawa harapan baru dengan tarif yang lebih menarik dan penghapusan beban tipping fee dari APBD. Meski demikian, tantangan fundamental, mulai dari karakteristik sampah yang tidak sesuai, minimnya infrastruktur pemilahan, dan potensi dampak kesehatan, tetap harus dijawab dengan serius.
Target ambisius 33 PLTSa hingga tahun 2029 dengan investasi Rp91 triliun menjadi realistis jika disertai transformasi fundamental dalam pengelolaan sampah dari hulu hingga hilir. Pemerintah tidak boleh terobsesi pada solusi hilir yang mahal, sementara fondasi di hulu masih rapuh.
Indonesia tidak harus memilih salah satu karena membutuhkan keduanya: teknologi modern dan gerakan berbasis komunitas. Akan tetapi, urutan yang benar adalah memperkuat hulu terlebih dahulu, baru kemudian mengoptimalkan di sisi hilir. Kisah kontras antara PLTSa yang tersendat di 10 lokasi dan program bank sampah yang melesat memberikan pelajaran berharga: solusi yang paling efektif justru yang paling dekat dengan masyarakat, dengan edukasi, partisipasi, dan insentif ekonomi langsung.
Tanpa pendekatan holistik tersebut, risiko program gagal atau menghasilkan pencemaran lingkungan baru sangat tinggi. Dan yang menanggung akibatnya bukan para pembuat kebijakan, melainkan masyarakat biasa yang harus menghirup udara yang tercemar dan meminum air terkontaminasi mikroplastik.
Indonesia tidak harus memilih salah satu karena membutuhkan keduanya: teknologi modern dan gerakan berbasis komunitas. Akan tetapi, urutan yang benar adalah memperkuat hulu terlebih dahulu, baru kemudian mengoptimalkan di sisi hilir. Kisah kontras antara PLTSa yang tersendat di 10 lokasi dan program bank sampah yang melesat memberikan pelajaran berharga: solusi yang paling efektif justru yang paling dekat dengan masyarakat, dengan edukasi, partisipasi, dan insentif ekonomi langsung.
Tanpa pendekatan holistik tersebut, risiko program gagal atau menghasilkan pencemaran lingkungan baru sangat tinggi. Dan yang menanggung akibatnya bukan para pembuat kebijakan, melainkan masyarakat biasa yang harus menghirup udara yang tercemar dan meminum air terkontaminasi mikroplastik.