Semarang, IDN Times - Di tepian perbukitan Gunungpati, Kota Semarang, deru paddle wheel mengaduk kolam-kolam hijau kebiruan milik Albitec. Di tempat itu, pasokan listrik atau elektrifikasi menjadi hal krusial untuk menjaga aerasi, sirkulasi, pencahayaan, hingga pengeringan spirulina.
Tanpa dukungan energi listrik, siklus pertumbuhan mikroalga Arthrospira platensis atau yang lebih dikenal sebagai spirulina akan mudah terganggu. Pasalnya, organisme tersebut hanya bisa tumbuh optimal jika tiga faktor utama terpenuhi secara konsisten, yakni cahaya, suplai CO₂ dan oksigen, serta kestabilan suhu dan tingkat keasaman (pH), yang kesemuanya ditopang oleh sistem yang bergantung pada tenaga listrik.
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) PT Alga Bioteknologi Indonesia (Albitec) yang berfokus pada budidaya mikroalga spirulina itu membuktikan, dengan dukungan kelistrikan yang tepat, produk lokal Indonesia bisa bersaing di pasar global, bahkan sudah menembus Jepang. Hasilnya lebih dari sekadar efisiensi biaya, melainkan lompatan produktivitas yang terukur dan berkelanjutan.
Untuk diketahui, mereka saat ini mengoperasikan 16 kolam berukuran 25.000 liter per kolam, dengan mesin pengering berkapasitas 20--30 kilogram per lapisan. Dengan dukungan pasokan listrik yang stabil, kapasitas produksi mereka menembus hingga 500 kilogram per bulan. Angka tersebut mengesankan untuk UMKM yang memulai dari nol di lahan seluas 5.000 meter persegi di kawasan nonindustri
Direktur Albitec Semarang, Falasifah, masih ingat betul tantangan awal membangun usaha yang ia rintis sejak tahun 2020.
"Kami di daerah yang infrastruktur listriknya tidak selengkap dan semerata di perkotaan. Apalagi usaha ini bergerak di bidang pertanian," katanya kepada IDN Times, Rabu (22/10/2025).
Keterbatasan infrastruktur kelistrikan itu justru memicu Falasifah untuk berinovasi. Albitec kini mengoperasikan sistem hibrida yang menggabungkan Panel Listrik Tenaga Surya (PLTS), Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB), dan listrik dari PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dengan proporsi seimbang 50:50.
"Sistem hibrida ini bukan tentang persentase tetap, tetapi mereka saling mengisi. Listrik PLN tetap di 50 persen, sebagai jaring pengaman untuk kestabilan. Kalau cuaca bagus ada terik matahari, PLTS yang dominan. Kalau hujan dan angin kencang, PLTB yang mengambil alih," ujar lulusan Biologi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang itu.
Bagi Falasifah yang lahir di Semarang, 9 Maret 1997, elektrifikasi dalam budidaya mikroalga bukan semata tentang modernisasi, melainkan soal efisiensi dan keberlanjutan. Ia menyebutkan, listrik menjadi katalis yang mengubah sistem sederhana menjadi produktif dan terukur, tanpa kehilangan esensi kemandirian dalam pertanian.
"Dalam konteks yang lebih luas, listrik berperan layaknya 'enzim' dalam sistem biologis, tidak tampak, namun menjadi pemicu yang memungkinkan seluruh proses berlangsung efisien, cepat, dan berkelanjutan," tuturnya.