Yang terakhir, Prof. Yulia juga menyimpulkan beberapa faktor sosial yang menjadi penyebab kekurangan iodium bagi warga di Ngargoyoso. Yakni tingkat nasional, tingkat kabupaten, tingkat rumah tangga, pendidikan rendah, dan kemiskinan.
Pemerintah Republik Indonesia berusaha mengatasi kekurangan iodiom. Pada awalnya suntikan iodium yang dilarutkan dalam minyak (Lipiodol) dan juga kapsul iodium namun program tersebut dihentikan karena biaya sangat besar. Menurut Prof. Yulia pada tahun 1997 muncul kampanye nasional garam beriodium dengan mengikuti paradigma iodium kurang + suplemen iodium = iodium cukup.
“Dalam penelitian saya, meskipun sudah menggunakan iodium sesuai paradigma pemerintah namun ternyata masih banyak ditemukan orang kekurangan iodium,” ungkanya.
“Saya mengusulkan agar upaya penanggulangan kekurangan iodium di masa yang akan datang selain menggunakan suplemen iodium juga ditambahi upaya-upaya lain yang dapat dilakukan di masyarakat,” imbuhnya.
Usulan tersebut diantaranya; mencegah erosi dengan tidak memberikan IMB di puncak dan lereng gunung, penyebaran luasan informasi bahan makanan yang dapat memperberat gondok (goitrogenik), memperbaiki kualitas garam mulai dari produksi, distribusi, penyimpanan, pengolahan, hingga dikonsumsi agar iodium tidak hilang.
Selain itu juga memberikan obat cacing setiap enam bulan sekali, membiasakan anak mencuci tangan dan memotong kuku. Sehingga perspektif ekologi penanggulangan kekurangan iodium bisa teratasi.
“Saya usulkan paradigma baru sebagai berikut; iodium kurang + suplemen iodium + upaya lain dalam masyarakat = iodium cukup,” pungkasnya.