Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Wagub DKI Jakarta Rano Karno membuka kegiatan Job Fair Wilayah Jakarta Timur Gelombang I di Tamini Square pada Rabu (26/2/2025). (dok. Humas Pemprov DKI Jakarta)

Intinya sih...

  • Gen Z kesulitan mencari pekerjaan, terutama di Indonesia
  • Alasan Gen Z kesulitan mencari pekerjaan karena minimnya lapangan kerja, kurangnya pengalaman, dan kurangnya ketersediaan informasi tentang dunia kerja
  • Gen Z menginginkan lingkungan kerja yang nyaman, santai, fleksibel, dan mendukung kreativitas

Semarang, IDN Times - Gen Z disebut-sebut kesulitan mencari pekerjaan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada 2024, generasi muda, termasuk Gen Z, masih mendominasi angka pengangguran terbuka di Indonesia. Data BPS ada 9,9 juta anak usia 15–24 tahun di Indonesia yang tidak sekolah, bekerja, maupun melakukan pelatihan alias pengangguran.Secara nasional, angka tersebut mencapai 20,31 persen dari jumlah Gen Z.

Berbagai alasan menjadi penyebab terjadinya fenomena tersebut, mulai dari kesenjangan antara jumlah lapangan pekerjaan dengan pencari kerja hingga kurangnya pengalaman kerja. Namun, bagaimana menurut para Gen Z sendiri? Dan, pekerjaan seperti apa yang kini diidamkan oleh mereka?

1. Gaji penting tapi lingkungan kerja positif adalah idaman Gen Z

Suasana IDN Media HQ (Dok. IDN Media/Herka Pangaribowo)

Alifah, Gen Z asal kabupaten Kulon Progo, DIY, saat ini bekerja sebagai customer service dan digital marketing di sebuah toko pakaian thrift. Ia berpendapat mengapa generasinya saat sulit mencari pekerjaan karena ada beberapa faktor. "Pihak Gen Z sendiri yang kurang bisa bersaing karena setiap tahun menciptakan persaingan tinggi di pasaran kerja, sementara lapangan kerja tidak bertambah secara proporsional," ucapnya saat diwawancarai pada Kamis (2/5/2025). 

Di satu sisi, ia pernah mengalami kesulitan mencari pekerjaan karena dipengaruhi oleh minimnya ketersediaan lapangan pekerjaan yang menjanjikan di daerah tempat tinggalnya."Sebelum mendapatkan pekerjaan yang sekarang, kesulitanku ada di tempat tinggal. Karena jauh dari rumah dan harus kost, tambah biaya. Harus bayar lagi," katanya. 

Hal ini tak jauh berbeda dengan Amalin Dwi Annisa Putri yang kini tengah berkuliah di Universitas Ahmad Dahlan (UAD). Saat diwawancarai (2/5/2025), ia berpendapat ada sejumlah faktor mengapa Gen Z cenderung kesulitan mencari pekerjaan. "Salah satunya adalah ketidaksesuaian antara keterampilan yang dimiliki dengan kebutuhan pasar kerja. Selain itu, banyak Gen Z yang kurang mendapatkan informasi yang cukup tentang dunia kerja sejak dini," ujar dia. 

Ada hal yang membedakan Gen Z dengan generasi sebelumnya dalam memandang pekerjaan impian. Jika generasi sebelumnya memandang status pekerja tetap dan kestabilan, di mata Gen Z justru lebih menarik. Alifah misalnya, ia memiliki rasa penasaran kala mencari pekerjaan baru yang semula belum pernah digelutinya. Menurutnya selain pekerjaan dengan gaji layak, lingkungan yang nyaman plus dapat bekerja dengan sepantaran tak kalah penting.

Menurutnya, ini menjadikannya lebih nyaman dan merasa santai saat bekerja.Persoalan ini turut diamini oleh Amalin. "Pekerjaan impian saya adalah yang memiliki suasana kerja yang santai, tidak terburu-buru oleh tekanan atasan, namun tetap profesional. Saya suka lingkungan kerja yang suportif, penuh kerja sama tim, dan memberikan ruang bagi karyawan untuk berkembang." Amalin bahkan mengungkapkan jika teman kantor yang positif adalah impiannya. Ini karena bekerja bersama orang orang yang positif bisa menjadi penyemangat tersendiri.

Salah satu tudingan sulitnya Gen Z mendapat pekerjaan yakni mereka yang cenderung pilih-pilih pekerjaan. Serly (21), Gen Z asal Kota Bandar Lampung tak sependapat dengan stampel negatif tersebut. Ia mencontohkan dirinya sendiri dan teman-teman sekitar, cenderung berminat bekerja dibanding melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.Namun diakui, usai menamatkan pendidikan SMA sejak 2022 hingga saat ini beberapa perusahaan telah disinggahinya mulai dari bergerak di bidang ritel, makanan dan minuman, hingga teknologi informasi.

Alasannya, demi mencari pengalaman kerja, lingkungan pekerjaan yang aman dan nyaman, jenjang karier, hingga menjaring pendapatan atau gaji yang lebih tinggi."Saya pribadi banyak milih kerja di perusahaan, karena ada gaji tetap tiap bulan, dapat benefit kaya BPJS, terus jenjang karier juga lebih jelas. Apalagi kalau perusahaannya udah dikenal, biasanya sistem kerjanya lebih terstruktur jadi enak buat belajar," katanya, Jumat (2/5/2025).

Tak hanya sekadar bekerja, Serly juga memprioritaskan sejumlah faktor saat memilih pekerjaan. Misalnya, lingkungan pekerjaan nyaman hingga jauh dari kata toxic hingga manajemen yang memberikan kesempatan pekerjanya untuk lebih berkembang."Jadi jangan sampe kerja menguasai hidup, jam kerjanya harus reasonable. Terutama gaji sih penting, tapi kalau tempat kerjanya bikin stres, biasanya cepet bikin gak betah," lanjut dia.

Bagi Kelvin Gen Z asal Medan, Sumatera Utara kenyamanan kerja menjadi salah satu hal yang dicarinya. Kenyamanan dalam bekerja menurutnya linier dengan produktivitas. Bekerja di lingkungan yang tak nyaman menurutnya hasil menjadi tidak maksimal dan justru memicu lelah dan stress."Yang saya lihat, banyak anak muda termasuk saya cenderung enggan mencari pekerjaan yang tidak sesuai passion. Karena kita sendiri memilih untuk memprioritaskan hal yang membuat diri nyaman," sebutnya.

Tak dapat dipungkiri oleh Kelvin bahwa dirinya juga enggan mencari pekerjaan karena fenomena perusahaan yang sering memberi tugas ganda. Hal ini baginya menjadi duri dalam daging yang berakibat oleh tidak nyamannya para pekerja."Beban kerja ganda membuat para pekerja merasa tidak nyaman. Dan tidak sedikit perusahaan yang menerapkan hal semacam itu. Pada akhirnya alasan inilah yang membuat banyak anak muda memilih enggan bekerja di perusahaan yang membosankan," katanya.

2. Lebih suka tipe pekerjaan freelance atau punya usaha sendiri yang lebih fleksibel

Ilustrasi bekerja (pexels.com/Plann)

Bagi Kelvin banyak regulasi di perusahaan yang tidak masuk akal. Itulah yang membuat banyak Gen Z termasuk dirinya lebih menyukai tipe-tipe pekerjaan yang fleksibel namun tetap bisa mengembangkan bakat dan kreativitas."Saya lebih memprioritaskan pekerjaan yang sesuai dengan passion. Di mana suatu pekerjaan harus bisa mensupport kreativitas dan inovasi. Hal ini banyak ditemukan di start up," kata Kelvin.

Dirinya sendiri sampai saat ini setelah 2 tahun menggandeng gelar sarjana, merasa cukup nyaman menjadi pekerja freelance. Ia tidak memiliki pekerjaan tetap, hanya menawarkan jasa fotografi saja. Ia juga mengaku jika sepi orderan maka terpaksa menganggur."Kriteria pekerjaan yang ideal bagi saya adalah start up. Tipe pekerjaan seperti ini lebih fleksibel daripada perusahan korporat. Selain itu tipe pekerjaan seperti freelance juga menarik. Karena freelance bisa dikerjakan di mana saja dan sambil ngapain aja," akunya.

Hal itu diamini Serly, Gen Z menurut Serly pada umumnya tetep memiliki standar khusus melamar atau menerima suatu pekerjaan di perusahaan. Terutama mengedepankan sistem pekerjaan yang fleksibel atau tak terlalu kaku seperti pada sektor formal."Boleh lah sesekali WFH, jadi bos atau atasannya itu kalau bisa yang ngerti work-life balance, bukan yang minta lembur terus. Terpenting lagi, lingkungan kerjanya enak, gak banyak drama," kata warga Kelurahan Labuhan Dalam tersebut.

Pradika Gen Z lainnya mengaku menghindari tipe pekerjaan yang mengekang. Itu sebabnya daripada menganggur ia berusaha mencoba mendirikan usaha sendiri. Hal ini karena didasari oleh banyak manfaat baginya pribadi jika punya usaha."Mengapa buka usaha sendiri, karena memang berawal dari tidak tahu mau ngapain. Itu menjadi salah satu mengapa usaha ini dibuka bareng pasangan," aku Pradika.

Pradika mendirikan usaha kecil-kecilan seperti menawarkan jasa merangkai bunga. Dari sini ia bisa mendapat pundi-pundi penghasilan."Kelebihannya kita fleksibel, tidak diatur, lebih tenang dalam melakukan kegiatan lainnya. Bisa juga jika nanti mau meneruskan kuliah S2. Dibanding dengan karyawan, kita tidak tahu liburnya kapan. Kalau saya lebih bisa mengatur libur saya sendiri," pungkasnya.

Bima (21) adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi semester 6 yang bekerja freelance di salah satu perusahaan wedding organizer di Surabaya selama kurang lebih tiga tahun. Ia juga tengah menjalankan bisnis barunya yang bergerak di bidang fotografi. Bima mengatakan alasannya menjadi freelancer adalah karena sejalan dengan prodi kuliah yang ia tekuni sehingga ia ingin lebih mengasah hobi dan bakatnya dengan tuntutan kerja yang cukup berat.

Selain itu, waktu kerja yang fleksibel serta pendapatan yang diterima juga bisa untuk menopang kebutuhan dan keinginannya.“Dana dari freelance untuk tanggungan cicilan motor dan biaya sehari-hari karena tidak ada supply (dari keluarga), jadi memang harus dicukup-cukupkan. Kalau untuk keinginan, pemasukan dari freelance bisa diatur dengan mengerem keinginan. Tapi kalau kebutuhan ya dicukup-cukupkan," kata Bima.

Sedangkan Lea (21) memiliki alasan lain untuk bekerja sebagai freelance. Mahasiswa yang bekerja sebagai crew di salah satu wedding organizer di Jawa Timur ini bertujuan untuk menambah uang saku dan tabungan. Ia juga ingin melakukan hal-hal yang bisa ia lakukan selama di kuliah rantau seperti menambah teman dan lebih mengenal dunia kerja yang sebenarnya.Menjalani kehidupan di dunia kerja sudah semestinya mendapatkan banyak ilmu dan tantangan baru.

Pekerja Gen Z di Kota Mataram, Erawati mengatakan bahwa anak muda yang baru lulus kuliah bukan enggan mencari kerja. Tetapi memang pada sekarang ini sangat susah mendapatkan pekerjaan."Gen Z bukan enggan cari kerja. Tapi susah dapat kerja. Kalau aku pribadi dari sebelum wisuda sudah mecoba ngelamar beberapa pekerjaan. Dan alhamdulillah sebelum wisuda sudah keterima," kata Erawati saat berbincang dengan IDN Times, Sabtu (3/5/2025).

Dia mengatakan bahwa Gen Z memang lebih suka kerja dari luar kantor atau work from anywhere (WFA) ketimbang kerja dari kantor atau work from office (WFO). Namun, ada juga Gen Z yang suka kerja di kantor. "Kalau aku emang dari dulu gak mau kerja di kantor karena pengennya di lapangan. Ada juga temenku yang kerjaannya kantoran, oke-oke aja. Semua tergantung individu. Gak bisa mengatakan Gen Z gak bisa kerja di kantor," katanya.Dia mengatakan bekerja di perusahaan jelas menjadi opsi pertama Gen Z. Tetapi pasti ada side job menjadi frelancer atau usaha lainnya. "Lihat dari temen-temanku gak ada yang bekerja di satu posisi. Pasti ada aja side job-nya," tutur Wati.

Catatan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jateng sejumlah pelamar kerja dari kalangan Gen Z tidak menyukai pola kerja formal di kantor-kantor perusahaan, dinas pemerintah maupun pabrik. Berdasarkan pendataan yang dilakukan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jawa Tengah dan BPS diketahui sebagian besar Gen Z lebih tertarik mencari lowongan kerja di sejumlah sektor UMKM. 

Bahkan, ketika proses wawancara kerja dilakukan pada acara job fair, tak sedikit pelamar dari Gen Z yang mengaku tertarik mengerjakan konten medsos, belajar berwirausaha dan punya kerjaan sampingan sebagai Youtuber. Mereka justru suka ke bidang-bidang pekerjaan yang tidak mengikat atau sering disebut kerja bebas. Seperti minatnya jadi Youtuber, wirausaha dan kerja di bidang UMKM. 

 

3. Mentalitas dan motivasi Gen Z sering dikeluhkan oleh pencari kerja

Ilustrasi pekerja buruh pabrik. (IDN Times/M. Tarmizi Murdianto)

Salah satu kesulitan yang dialami perusahaan merekrut dan mempekerjakan Gen Z yakni kurangnya antusiasme juga motivasi bekerja mereka, selain itu beberapa ada penilaian negatif terhadap mentalitas Gen Z yang disebut kurang strugle dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya. Salah satu perekrut di perusahaan multinasional, Setia, menyebut bahwa anak muda sekarang memang berbeda dalam mencari pekerjaan yang mereka inginkan. Ketika dari tahap awal melamar saja, GenZ tidak sedikit yang acuh tak acuh ketika harus berhubungan dengan tim yang merekrutnya.Padahal, seharusnya ketika mereka melamar pekerjaan harus mau lebih aktif sehingga perekrut pun tertarik untuk memberikan tawaran pekerjaan yang sesuai.

"Mereka kaya mau gak mau aja kerja gitu. Jadi itu sering dipertimbangkan," kata dia.Selain itu, ketika sudah bekerja anak muda sekarang banyak yang langsung fokus pada berapa gaji yang didapat, padahal seharusnya mereka fokus juga untuk mencari ilmu di awal kerjanya. Sebab, dunia pendidikan dan pekerjaan yang sebenarnya sering kali berbeda."Pas kerja motivasinya ini kurang dan tidak bisa mengikuti alur perusahaannya. Sehingga banyak perusahaan suka protes ketika merekrut anak muda sekarang," kata dia.

Sedangkan, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Tengah, Frans Kongi juga mengutarakan bahwa di zaman yang serba cepat seperti sekarang telah membentuk mentalitas Gen Z yang berbeda jauh dengan mentalitas generasi Millennial maupun Baby Boomer. Frans bilang Gen Z tidak memiliki daya juang yang tinggi ketika melamar kerja maupun saat bekerja di pabrik-pabrik.

Para pekerja kalangan Gen Z cenderung cepat bosan dan kurang ulet menekuni pekerjaannya. Gaya kerja para Gen Z juga dikeluhkan para pemilik pabrik karena tak sedikit yang tidak betah bekerja berlama-lama karena cepat bosan mengerjakan suatu bidang pekerjaan. 

"Jujur memang ada kawan-kawan pemilik pabrik yang mengeluhkan gaya kerja anak-anak zaman sekarang, Mas. Anak sekarang kalau kerja dua bulan sudah bosan, pilih resign. Jadi mentalitas mereka sangat berbeda dengan era kita dulu. Kami merasa gaya hidup anak-anak sekarang yang sering nongkrong ke kafe-kafe, kehidupannya serba mudah, mungkin ini yang bikin mereka susah bekerja di sektor formal," bebernya. 

Kendati demikian, pihaknya menyarankan kepada para pekerja dari Gen Z agar menempa mental, daya juang mereka supaya siap menghadapi beban kerja di sektor industri. Dirinya pun tak menyalahkan perusahaan yang memilih menahan ijazah karyawannya dengan maksud agar tidak cepat keluar resign. "Ya kalau dikit-dikit bosan terus resign, keluar dari pekerjaannya mana bisa kita menjaga kondusifitas karyawan," keluhnya. 

4. Upaya Pemerintah Daerah gencarkan informasi lowongan kerja melalui berbagai platform

loker freelance (freepik.com/rawpixel.com)

Upaya memberikan informasi lowongan pekerjaan dilakukan pemerintah untuk mengurangi angka pengangguran termasuk di kalangan Gen Z. Seperti yang dilakukan oleh Pemprov Jawa Tengah. Ardi Nugroho, Kepala Seksi Penempatan Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Disnakertrans Jawa Tengah mengatakan tercatat jumlah informasi loker pada tiga tahun terakhir mengalami peningkatan. Yaitu tahun 2022 silam tersedia informasi loker sebanyak 322 ribu lebih, tahun 2023 sebanyak 323 ribu lebih dan tahun 2024 kemarin ada sebanyak 323 ribu informasi loker.

Sedangkan sejak Januari-Maret 2025, total pelamar kerja wilayah Jateng ada sebanyak 32.014 orang. Dengan jumlah lowongan kerja sebanyak 54.981. Adapun jumlah lowongan kerja dengan penempatan kerja dalam negeri sebanyak 26.976 loker atau 84,26 persen. Dan sisanya 14,361 loker penempatan luar negeri. "Itu tersebar di 30 kabupaten kota. Soalnya ada beberapa daerah belum laporkan informasi loker karena tidak punya kawasan industri. Nah untuk peluang kerja yang sering tersedia ya di Kawasan Industri Kendal, Kawasan Industri Batang, Kawasan Industri Semarang, Kawasan Industri Jepara," paparnya. 

Namun adanya ribuan informasi loker yang disediakan Disnakertrans tersebut nyatanya tidak sebanding dengan animo masyarakat. Ardi menyebut meski serapan tenaga kerja pada setiap ajang job fair berkisar 70 persen, akan tetapi antusiasme masyarakat dalam mengakses informasi lowongan kerja tergolong kurang maksimal. "Antusiasme masyarakat (berburu pekerjaan di job fair) belum optimal. Khususnya ketika pabrik-pabrik garmen, tekstil, tas, alas kaki kalau saat buka loker kuotanya bisa 100 orang. Tapi yang terdaftar hanya 50 pelamar. Nah, karena itulah setiap ajang job fair yang kami adakan, pelamar kerja yang tersetap ke perusahaan biasanya hanya sepertiga sampai seperempat dari total loker yang tersedia. Jumlah sepertiga pelamar yang terserap itu sudah bagus banget," akunya. 

Lebih lanjut, ia beralasan kurangnya minat masyarakat dalam berburu pekerjaan di acara job fair karena informasi loker kini sangat banyak tersedia pada semua platform. Mulai kampus, perusahaan swasta, fakultas sampai medsos juga menyebarluaskan informasi loker yang dapat diakses dengan mudah. "Layanan job portal kan sekarang semakin banyak. Info loker dari pihak swasta juga ada. Job fair di kampus-kampus ada. Artinya fasilitas untuk sumber lowongan kerja itu distribusinya banyak sekali. Kalau zaman dulu kan sangat terbatas. Jadi zamannya memang udah berubah, minat generasi pencari kerjanya juga berubah total, maka infonya bisa nyari kemana-mana," terangnya. 

Upaya lain yakni Pemprov Jateng menggelar Education and Job Fair  di Hall Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT), Kota Semarang, Senin 14 April 2025 yang menawarkan peluang pekerjaan pada 10 perusahaan asal China dan peluang pendidikan di 39 universitas. Kegiatan pameran pendidikan dan bursa kerja diselenggarakan oleh Lembaga Pendidikan (LP) Ma'arif Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Tengah, Belt and Road Chinese Center (BRCC).

Terkait angka pengangguran khususnya di kelompok usia generasi Z atau Gen Z, Plh Kepala Dinas Tenaga Kerja (Kadisnaker) Provinsi Lampung, Yuri Agustina Primasari mengatakan, pemerintah daerah sangat mendukung pemberdayaan tenaga kerja para Gen Z melalui berbagai program dan kebijakan. Di antaranya ialah memberikan dan memfasilitasi pelatihan vokasi berbasis kompetensi hingga dalam bentuk soft skill, serta melaksanakan program pemagangan membantu Gen Z memperoleh pengalaman kerja di berbagai perusahaan."Kami terus berupaya meningkatkan daya saing tenaga kerja Lampung terutama Gen Z, sehingga mereka diharapkan memiliki kemampuan dalam membangun usaha baru yang kompetitif sesuai sengan perkembangan saat ini," katanya.

Pemprov Lampung juga terus berupaya membuka lapangan pekerjaan baru melalui kesempatan investasi bagi pengusaha maupun mendorong pertumbuhan UMKM. Melalui program pelatihan, pendampingan, dan akses ke sumber daya keuangan, itu akan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pelaku UMKM termasuk para Gen Z.Selain itu, pemerintah daerah berupaya meningkatkan kualitas produk dan layanan, memotivasi dan memberikan dorongan bagi UMKM untuk bersaing secara lebih efektif."Melalui cara-cara ini, kami yakin bisa menciptakan gelombang inovasi dan kreativitas, mengangkat daya saing lokal yang menciptakan fondasi kuat bagi perkembangan UMKM. Hal ini akan berdampak pada penyerapan tenaga kerja lokal pula," ucap Yuri.

Plh Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) NTB I Gede Putu Aryadi mengungkapkan penyebab masih banyaknya lulusan SMK dan PT yang menganggur. Dia mengatakan penyebabnya karena belum adanya link and match antara lembaga pendidikan dengan dunia usaha dan dunia industri (DUDI) atau pasar kerja. Dia mengatakan anak-anak muda lulusan SMK sebenarnya sudah punya basic skill yang bagus.

Tugas dinas terkait yang menangani masalah pendidikan bagaimana menciptakan link and match dengan DUDI."Itu harus dilakukan, semua sektor harus bergerak melakukan upskilling. Lembaga pendidikan itu melakukan pendekatan kerja sama dengan dunia industri. Sehingga ke depan ini bisa menjadi solusi mengatasi pengangguran," ujarnya.

Untuk itu, kata Aryadi, Pemprov NTB akan merevitalisasi Balai Latihan Kerja (BLK) menjadi skill center. BLK sudah diminta melakukan pemetaan lulusan dari lembaga pendidikan yang menganggur. Mana yang harus diberikan skill dari awal dan upskilling atau peningkatan skill."Kalau skilling dari awal cenderung dia menjadi pekerja mandiri karena mungkin latar belakang pendidikannya kurang. Tapi kalau yang sudah punya background pendidikan formal yang bagus seperti SMK. Dia sudah punya skill dasar, tinggal upskilling apa yang kurang," kata Aryadi.

5. Ketidakseimbangan antara supply dan demand pekerjaan hingga Gen Z yang selektif

Ilustrasi meja kerja (Pexels.com/cottonbro studio)

Sementara itu terkait fenomena Gen Z yang susah mendapat pekerjaan, Dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Universitas Gadjah Mada (PSdK UGM), Dian Fatmawati, menilai ketidakseimbangan antara supply and demand pekerjaan menjadi salah satu penyebab meningkatnya angka pengangguran di kalangan Gen Z. Selain itu, kesadaran Gen Z terhadap pentingnya pekerjaan layak juga membuat mereka lebih selektif dalam mencari kerja.

Dian menjelaskan, saat ini jumlah penduduk usia produktif (15–64 tahun) di Indonesia mencapai sekitar 65 persen. Kondisi ini membuat kebutuhan terhadap lapangan pekerjaan sangat tinggi.“Di sisi lain pertumbuhan pekerjaan (lapangan pekerjaan) opportunity di Indonesia tidak secepat demandnya. Sehingga supply dan demand tidak cocok, banyaklah terjadi pengangguran,” ungkap Dian, Minggu (4/5/2025).

Dian menambahkan, persoalan ketidakseimbangan pertumbuhan lapangan pekerjaan bukan hal baru. Ia mengutip riset Asian Development Bank (ADB) pada 2016 yang menunjukkan bahwa pertumbuhan lapangan kerja di Indonesia lebih lambat dibanding permintaan tenaga kerja. “Secara populasi kurang berimbang supply demand, menyebabkan pengangguran tinggi. Kondisi demografis populasi usia produktif lagi banyak, kompetisi semakin meningkat untuk mendapatkan pekerjaan,” ujar Dian.

Dian menjelaskan bahwa Gen Z saat ini lebih kritis dalam memandang dunia kerja. Mereka punya ekspektasi terhadap pekerjaan yang layak dan peduli terhadap isu seperti kesehatan mental.“Sudah ada imajinasi gambaran pekerjaan layak, pekerjaan ideal seperti apa. Itu yang membuat mereka lebih picky (pemilih) pekerjaan gini-gini, kondisi gini,” ujarnya.Namun, menurut Dian, masih banyak pekerjaan di Indonesia yang belum memenuhi standar layak kerja.

Sebagai negara berkembang, struktur ketenagakerjaan di Indonesia masih menyisakan banyak persoalan. “Pas di dunia nyata mereka tertohok kondisi kenyataan. Gak sesuai bayangan yang mereka pelajari selama ini, tentang kerja layak. Sehingga mungkin lebih banyak angka pengangguran,” kata Dian. Dian juga menyebut Gen Z yang berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi lebih baik cenderung berani menunda bekerja. “Beda kondisi yang dari menengah bawah, akan lebih tidak picky,” ucap Dian.

Saat disinggung soal kondisi perekonomian yang tengah sulit, Dian menilai Gen Z kemungkinan besar akan mulai bersikap lebih realistis, terutama bagi mereka yang baru lulus dari dunia pendidikan. “Saya menduga pilihan tepat sedikit realistis dengan kondisi sekarang. Terjun ke labour market lebih cepat sebenarnya lebih menguntungkan. Pengalaman kerja lebih banyak, kemudian bisa dapat pelatihan dari tempat kerja, koneksi, dan yang lainnya. Dari skill bertambahm gambaran kerja lebih ideal, mungkin bisa didapat setelah itu,” ujar Dian.  

Dian juga menyoroti pentingnya membangun koneksi dalam mencari pekerjaan di Indonesia. Ia mendorong pemerintah untuk menghadirkan kebijakan yang mendukung peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). “Terkait juga dengan PHK. Peraturan terkait PHK itu, kemarin di awal 2025 cukup masif, pemerintah harus lebih ketat mengatur tentang PHK, sehingga tingkat pengangguran bisa dikontrol. Gen Z isu job quality, kualitas pekerjaan di Indonesia, masih seputar gaji layak, mungkin jam kerja, isu kesehatan mental bisa difasilitasi, diwadahi juga,” ucap Dian.

Dosen Sosiologi Pembangunan Universitas Negeri Surabaya menyampaikan bahwa alasan Gen Z tertarik dengan freelance ini karena struktur ekonomi dan nilai generasi sudah berbeda dari satu waktu ke waktu yang sekarang. Freelance merupakan salah satu bentuk gig economy, yakni sistem yang berbasis jangka pendek.

Hal tersebut berarti sistem kerja freelance berdasarkan on demand dengan platform digital, tetapi Gen Z dapat melihat itu sebagai salah satu yang dapat secara instan dicapai saat ini. “Kalau kita lihat Indonesia pasca pandemi itu sudah memperlihatkan bahwa agak berkurang nih pekerjaan tetap. Banyak lulusan yang sulit menembus pekerjaan formal karena persaingan banyak, minimnya posisi yang ditawarkan, dan banyak faktor hal lain yang membuat gen z akhirnya yang awalnya digital native, terbiasa dengan sesuatu yang fleksibel. Kreatif, ingin merdeka, tidak mau terkungkung dengan sesuatu yang bersifat konvensional, akhirnya memilih pekerjaan freelance ini sebagai salah satu pekerjaan mereka daripada mereka nganggur,” ujar Eufrasia.

6. Pola asuh orangtua pengaruhi gaya kerja Gen Z

ilustrasi membuat konten (Pexels.com/Ron Lach)

Psikolog Pendidikan, Dr. Cicilia Tanti Utami, MA, Psikolog mengatakan, pada saat Gen Z lahir di rentang tahun 1997-2012, teknologi berkembang dengan pesat. Akhirnya, salah satu ciri dari Gen Z adalah orang yang adaptif karena sejak mereka lahir perubahan begitu pesat.“Misalnya, dulu belum mengenal handphone, internet, komputer, lalu pada era Gen Z lahir teknologi itu berkembang. Maka, mereka tumbuh menjadi individu yang bebas dan tidak mau terikat, bergerak dengan bebas dan fleksibel, karena dunia saat mereka lahir seperti itu,” ungkapnya saat dihubungi, Sabtu (3/5/2025).

Hal itu dibawa saat mereka memasuki dunia kerja sebagaimana saat bekerja mereka bertemu dengan pimpinan di kantor dari generasi X atau milenial yang masih menggunakan pola lama. Seperti, bekerja di kantor, ada aturan yang jelas, dan harus terikat.Menurut dosen Fakultas Psikolog Unika Soegijapranata Semarang itu, tradisi dan budaya kerja seperti itu susah untuk diikuti oleh anak-anak Gen Z.

"Akhirnya, mereka tidak nyaman, bosan atau tidak betah, dan memilih keluar. Menurut mereka lebih baik menganggur daripada bekerja di bawah tekanan," ujarnya. Selanjutnya, faktor lain yang memengaruhi banyak Gen Z yang ‘menganggur’ –dalam arti tidak bekerja di perusahaan– adalah pola asuh orangtua.

Orangtua Gen Z yang merupakan generasi X dan milenial sebagaimana lahir di tahun 1970-1980-an itu hidup di zaman yang berbeda."Pada saat generasi X dan milenial beranjak dewasa dan hidup di Indonesia, mereka masih banyak dituntut bekerja keras, teknologi belum berkembang pesat seperti sekarang. Apa yang mereka alami itu, tidak ingin dialami oleh anaknya. Lalu, mereka berpikir dulu sayang senggara, maka anak saya jangan sampai sengsara," jelas Cicilia.Sehingga, lanjut dia, dalam pengasuhan mereka (orangtua Gen Z) memberikan fasilitas yang mencukupi kepada anaknya. Upaya ini justru menjadi tidak baik bagi anak mereka (Gen Z). Akibatnya, Gen Z sering disebut sebagai generasi stroberi.

"Ini karena pola pengasuhan orangtua yang tidak mereka sadari membuat sang anak mentalnya lemah karena semua terpenuhi, tidak perlu perjuangan, semua disediakan. Maka, dalam hal bekerja di sebuah organisasi mereka tidak terbiasa untuk banting tulang dalam mendapatkan sesuatu karena sudah terpenuhi," terang Cicilia.Sehingga, lanjut dia, ketika kini tinggi angka pengangguran Gen Z kesalahan tidak hanya dari mereka, tetapi juga orangtua.

Orangtua dalam pola pengasuhan lupa untuk memberikan edukasi bahwa hidup harus berjuang dulu.Kendati demikian, sisi positif anak-anak Gen Z, yaitu kreatif dan cerdas. Meskipun, pekerjaan yang dipilih jauh dari perusahaan atau abdi negara, mereka memilih pekerjaan yang kreatif dan bebas."Sehingga, mereka suka dengan pekerjaan menjadi freelancer, konten kreator, wirausaha, yang intinya mereka mengatur dirinya sendiri dan dapat uang banyak dari kreativitas, daripada berhubungan dengan organisasi," tandasnya.

 

Grafis liputan kolaboras Gen Z susah dapat kerja. (IDN Times/Aditya Pratama)

Artikel kolaborasi IDN Times ditulis oleh: Herlambang Jati Kusuma (Jogja), Dyar Ayu (Jogja), Eko Agus Herianto (Sumut), Tama Wiguna (Lampung), Debbie Sutrisno (Jabar), Zefanya Azzahra Sapna Klarisa (Jatim), Fariz Fardianto (Jateng), Anggun Puspitoningrum (Jateng)

Editorial Team