Semarang, IDN Times - Guru Besar Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Prof. Dr. Ir. Andri Cahyo Kumoro, S.T., M.T., IPU, ASEAN Eng memiliki keyakinan bahwa inovasi sains tidak selalu lahir dari laboratorium canggih, tetapi dari kepekaan terhadap masalah di sekitar.
Gubes Kimia Undip Andri Cahyo, Mendunia Berkat Riset Pangan Hayati

Intinya sih...
Guru Besar Kimia Undip, Prof. Andri Cahyo Kumoro, fokus pada riset pangan hayati.
Beliau berbagi ilmu kepada UMKM untuk meningkatkan inovasi sains di masyarakat.
Keyakinan beliau bahwa inovasi sains bisa lahir dari kepekaan terhadap masalah sekitar.
1. Unggul dalam pemrosesan hasil pertanian
Pandangan itu dipegang teguh oleh ilmuwan yang masuk dalam jajaran 2 persen peneliti paling berpengaruh di dunia tahun 2024–2025 dalam melakukan riset dan menyebarkan ilmunya di masyarakat agar bermanfaat.
Melalui riset tentang pangan fungsional dan bahan biomedik dari sumber hayati Indonesia, Andri menawarkan pendekatan ilmiah yang berakar pada kekayaan alam nusantara. Adapun, orientasinya pada perbaikan kualitas kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.
Sejak bergabung di Undip pada tahun 1998, Andri memang dikenal unggul dalam pemrosesan hasil pertanian, teknologi pengolahan limbah industri, serta pemodelan sistem teknik kimia. Kepiawaiannya mengintegrasikan rekayasa proses dengan potensi alam tropis telah membuka peluang baru dalam pengembangan pangan bernilai kesehatan dan biomaterial yang ramah lingkungan.
Salah satunya saat Andri meneliti senyawa bioaktif daun sambiloto, tanaman khas Asia Tenggara yang kini menjadi dasar banyak penelitian biomedik modern.
2. Manfaatkan bahan alam tropis Indonesia
“Di Malaysia, saya mendapat kesempatan untuk belajar terkait riset ini, dari melakukan pengolahan di awal, desain alat dan penggunaanya, serta teknologi dan metode analisisnya,” ungkap Doktor lulusan University of Malaya, Malaysia itu.
Dari penelitian tersebut, ia memfokuskan diri melakukan riset dengan memanfaatkan bahan alam tropis Indonesia untuk menciptakan pangan fungsional. Adapun, pangan fungsional itu adalah makanan yang tidak hanya bergizi, tetapi juga memiliki kandungan bioaktif yang mendukung kesehatan, seperti antioksidan dan antiinflamasi.
‘’Pangan seharusnya tidak hanya lezat, tetapi juga memberi nilai tambah bagi kesejahteraan masyarakat,’’ ujar peneliti berusia 51 tahun itu.
Selain itu, riset Andri juga berangkat dari keprihatinan terhadap meningkatnya penyakit degeneratif pada usia muda seperti diabetes, hipertensi, dan obesitas yang dipicu pola makan modern dan minimnya asupan serat dan antioksidan. Melalui pendekatan pangan fungsional, produk pangan tidak hanya ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan dasar (karbohidrat, protein, dan lemak), tetapi juga mengandung bioaktif alami yang berfungsi sebagai antioksidan, antiinflamasi, hingga peningkat sistem imun.
3. Kembangkan produk inovasi bersama Infarma
Saat ini Andri tengah mengembangkan produk-produk inovasi bersama tim di Institute of Food and Remedial Biomaterial (Infarma). Produk tersebut antara lain minuman serbuk vitamin alami dari jambu mete, es krim dengan kandungan herbal antioksidan, produk kopi rendah kafein dari biji salak, pemanfaatan biji rambutan sebagai alternatif bahan cokelat kaya lemak nabati yang bisa menjadi peluang ekonomi baru berbasis biodiversitas lokal.
Inovasi ini turut mendukung SDG’s poin 13 (Climate Action) dan 15 (Life on Land) melalui pendekatan Zero Waste dalam pengelolaan residu pertanian, memperkuat ketahanan pangan, dan meningkatkan nilai ekonomi bahan yang sebelumnya tidak digunakan.
Namun, kata Andri, tantangan tetap ada di balik capaian tersebut. Seperti standar uji keamanan produk, regulasi bahan alami, hingga kebiasaan masyarakat yang cenderung memilih fast food. Hal itu menjadi pekerjaan rumah yang harus dihadapi bersama.
‘’Maka itu, pentingnya literasi gizi dan perubahan perilaku konsumsi di kalangan generasi muda,’’ ujarnya.
4. Buktikan riset bisa diterapkan ke UMKM
Hingga saat ini penelitian Andri banyak menjadi rujukan bagi komunitas ilmiah internasional, menginspirasi kolaborasi lintas negara, dan memperkuat posisi Undip sebagai pusat keunggulan dalam riset pangan berbasis hayati.
“Saya meyakini bahwa ilmu pengetahuan harus memiliki arah kebermanfaatan,’’ tuturnya.
Keyakinan itu dibuktikan melalui riset-riset yang dikembangkan agar dapat diterapkan dan diturunkan ke UMKM dan kelompok masyarakat melalui pendampingan, pelatihan, dan hilirisasi produk. Dengan demikian, ilmu tidak hanya berhenti menjadi publikasi, tetapi menjadi ekosistem manfaat.
‘’Itulah pentingnya transfer teknologi agar hasil riset kampus tidak berhenti di jurnal ilmiah, tetapi bisa diimplementasikan dalam produksi pangan lokal yang memenuhi standar kesehatan, halal, dan ramah lingkungan. Prinsip ini sejalan dengan SDG’s poin 8 (Decent Work and Economic Growth) dan 17 (Partnerships for the Goals),’’ tandasnya.