Uparacara HUT ke 52 Korpri di Balaikota Solo. (IDN Times/Larasati Rey)
Setelah berdirinya Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Raja Surakarta Paku Buwana XII mengeluarkan maklumat bahwa Surakarta Hadiningrat mendukung dan berada di belakang pemerintah Republik Indonesia. Selama 10 bulan, Surakarta berstatus sebagai daerah istimewa setingkat provinsi, yang dikenal sebagai Daerah Istimewa Surakarta.
Karena berkembang gerakan antimonarki di Surakarta serta kerusuhan, penculikan, dan pembunuhan pejabat-pejabat Daerah Istimewa Surakarta, pada tanggal 16 Juni 1946 pemerintah membekukan status Daerah Istimewa yang dimiliki Daerah Istimewa Surakarta dan menghilangkan kekuasaan politik Raja Surakarta dan Adipati Surakarta yang berkedudukan di Karaton Surakarta Hadiningrat dan Pura Mangkunegaran Surakarta.
Status Raja Surakarta dan Adipati Pura Mangkunegaran menjadi simbol budaya di tengah masyarakat serta kedudukan keraton dan pura diubah menjadi pusat pengembangan seni dan budaya Jawa.
Surakarta kemudian ditetapkan menjadi tempat kedudukan dari residen, yang memimpin Karesidenan Surakarta dengan wilayah seluas 5.677 km². Karesidenan Surakarta terdiri dari daerah-daerah Kota Praja Surakarta, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sragen, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Klaten, Kabupaten Boyolali.
Setelah Karesidenan Surakarta dihapuskan pada tanggal 4 Juli 1950, Surakarta menjadi kota di bawah administrasi Provinsi Jawa Tengah. Semenjak berlakunya UU Pemerintahan Daerah yang memberikan banyak hak otonomi bagi pemerintahan daerah, Surakarta menjadi daerah berstatus kota otonom.